Bundo Kanduang, Bukti Menghormati Perempuan Dapat Harmoniskan Kehidupan

Bundo Kanduang, Bukti Menghormati Perempuan Dapat Harmoniskan Kehidupan
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbung untuk Melambung

Kebudayaan Suku Minangkabau yang mayoritas mendiami Provinsi Sumatera Barat memiliki banyak elemen yang cukup dikenal di seluruh negeri. Selain nasi padang, tradisi marandang (membuat rendang) yang bisa dilakukan hingga seharian, ataupun merantau untuk berdagang, ada keunikan lain yang cukup menjadi perhatian yaitu garis keturunan berdasar pada ibu. Ini yang membedakan Suku Minangkabau dari suku-suku lain yang ada di Indonesia, bahkan di dunia.

Kelompok masyarakat yang menganut sistem matrilineal memang tidaklah banyak. Diantaranya ada suku Iroquois di Amerika, Garo di India, juga Masuo di Tiongkok. Semua memiliki ketentuan masing-masing, dengan persamaan mendasar yakni garis keturunan seseorang dilihat dari ibunya. Biasanya kelompok yang menganut sistem ini bukan hanya mengistimewakan garis keturunan dari ibu saja, namun juga memperlakukan perempuan dengan berbeda. Bisa dengan menjadikan perempuan sebagai pemimpin kelompok tersebut, atau bisa juga dengan memberi peran strategis yang berhubungan dengan keberlangsungan kehidupan bersama seperti penanggung jawab harta pusaka. Hal yang jelas adalah suara perempuan lebih didengar, bahkan sering menjadi penentu keputusan.

Dalam budaya Minangkabau, masyarakat mengenal Bundo Kanduang sebagai sosok perempuan yang dihormati karena memiliki kedudukan yang istimewa. Jika dari bahasanya saja, Bundo Kanduang didefinisikan sebagai sosok perempuan yang telah menikah, namun berdasarkan sejarahnya Bundo Kanduang diperuntukkan bagi perempuan yang dituakan dalam suatu suku di Minangkabau.

Keberadaannya menjadi lambang kaum yang akan menentukan harkat dan martabat kaum. Sehingga dapat dikatakan Bundo Kanduang merupakan suri tauladan dengan sifat yang lemah lembut mengayomi namun juga berkemauan keras mewakili kaumnya. Ia berpengetahuan luas dan bijaksana sehingga mampu menyelesaikan berbagai perkara. Sosok ideal tersebut juga diistilahkan dengan limpapeh rumah gadang, yang berarti tiang besar penyangga rumah gadang, berkat fungsi esensialnya dalam keberlangsungan kehidupan dalam rumah beserta seluruh penghuninya.

Dengan tanggung jawab penting itu, para perempuan Minang dididik untuk memiliki budi pekerti yang baik, dapat menempatkan diri dengan menjunjung kato nan ampek (kata yang empat), serta senantiasa bermanfaat bagi masyarakat luas karena memegang prinsip capek kaki ringan tangan (cepat kaki ringan tangan). Sejak awal memang ditanamkan bahwa perempuan adalah sosok berdaya yang memiliki wewenang dalam rumah gadang, bertanggung jawab pada kehidupan seluruh keluarga dan harta pusaka. Sehingga tidak heran perempuan Minang tumbuh menjadi sosok yang tangguh, gigih, dan percaya diri.

Jika kita mundur dan melihat lebih luas, fungsi yang dijalankan Bundo Kanduang ini tidak jauh berbeda dengan persepsi kita di Indonesia tentang perempuan. Mengurus kehidupan dalam rumah, termasuk urusan makan, pendidikan, hingga harta yang dijaga dan akan diturunkan kelak. Memperhatikan secara mendetail kualitas kehidupan dalam rumah sekaligus memelihara harta yang ada agar digunakan sebagaimana mestinya. Ia bertanggung jawab lebih pada perkara dalam rumah sekaligus berperan dengan memberi manfaat di luar rumah.

Banyaknya perkara yang diurus oleh Bundo Kanduang ini selaras dengan pandangan tentang perempuan yang multitasking. Apa yang membedakannya adalah pada bagaimana masyarakat memperlakukan perempuan itu sendiri. Perempuan di Minangkabau mendapat pengakuan dan penghormatan atas kehadiran dan apa yang ia lakukan. Pendapatnya penting, tanggapannya menentukan keputusan kehidupan kelompoknya. Bukan menjadi pihak inferior yang hanya mengerjakan banyak hal sesuai arahan, namun menjadi pihak yang berdaya dan penting kedudukannya.

Garis keturunan yang berdasar pada ibu memang menjadikan perempuan Minang lebih mendominasi. Baik untuk urusan domestik maupun publik. Ia menjadi sosok bijaksana yang paling banyak tahu, menjadi wakil kaumnya di luar dan menjadi yang paling didengar di dalam. Kesetaraan dijalankan dengan pembagian tugas oleh pihak-pihak yang menjalankan porsinya masing-masing. Kehidupan berjalan dengan harmonis, perlakuan dan penghargaan diberikan pada tempatnya masing-masing.Pihak-pihak mendapatkan keleluasaan dalam menentukan dan menjalankan bagiannya dalam masyarakat.

Pelajaran penting yang bisa kita petik dari sini adalah bahwa perempuan yang diperlakukan dengan baik dapat menjalankan kehidupan yang lebih baik dan berkontribusi dengan lebih baik pula dalam masyarakat. Karena faktanya, melakukan banyak fungsi tersebut mampu dilakukan dengan seimbang oleh seorang perempuan, Bundo Kanduang, saat lingkungan dan masyarakatnya mendukung. Keharmonisan yang melegakan bisa tercipta dengan cara demikian.

Banyak yang bisa kita pelajari, banyak juga yang bisa kita perbaiki. Salah satu tugas besar kita sebagai generasi saat ini adalah untuk menghidupkan kembali semangat Bundo Kanduang dalam kehidupan sehari-hari. Perempuan yang menjunjung tinggi budi pekerti, laki-laki yang bisa memperlakukan perempuan dengan hormat. Praktik penerapan Bundo Kanduang ini bisa kita mulai dari lingkup keluarga, dengan mengenalkan kebudayaan Minangkabau melalui berbagai kisah yang ada. Dari sekolah pengajaran muatan lokal atau biasa disebut pelajaran Budaya Alam Minangkabau. Bisa dicontoh dari penerbitan buku tentang Inyiak Balang, yang mengenalkan tokoh kepercayaan Masyarakat Minangkabau yang dilambangkan dengan harimau sumatera.

Catatannya adalah pengajaran kebudayaan harus mengacu pada referensi yang tepat, oleh para ahlinya, untuk menghindari kekeliruan. Karena pengajaran kebudayaan dan sejarah ini rentan dengan banyak bias, jadi kita harus lebih berhati-hati. Berbagai lembaga masyarakat juga bisa berkontribusi dalam melestarikan kebudayaan lengkap dengan bahasa dan kebiasaannya. Berbagai aktivitas yang diupayakan tersebtu hendaknya dapat menyampaikan berbagai prinsip kehidupan yang baik. Serta, nilai-nilai kebudayaan baik seperti ini hendaknya bisa menjadi jati diri dan diteruskan hingga generasi-generasi mendatang nanti.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

NU
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini