Tradisi Menginjak Api, Sebuah Tradisi Unik Dari Nusa Penida

Tradisi Menginjak Api, Sebuah Tradisi Unik Dari Nusa Penida
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasinal2023 #IndonesiaMelumbungUntukMelambung

Kentongan berbunyi pada pukul 02.00 dini hari. Warga Desa Pundukaha Kaja berbondong-bondong mendatangi sumber suara dengan setelan busana persembahyangan lengkap dengan sarana persembahan seperti gebogan (sesajen), bunga, dan dupa.

Suara genta beradu dengan gamelan mengiringi mantra-mantra yang dirapalkan oleh pemangku (orang suci) setempat. Melalui serangkaian upacara, setumpuk kayu yang sudah disiapkan sebelumnya disucikan kemudian dibakar hingga menimbulkan kobaran api besar dan tinggi yang di sebut dengan "Sanghyang Api"

Tradisi unik yang terdapat di Banjar Pundukaha Kaja, Desa Bunga Mekar, Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Provinsi Bali yang disebut oleh masyarakat setempat dengan Nyejek Api yang apabila diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia disebut dengan menginjak api.

Seperti namanya, tradisi Nyejek Api dilakukan dengan menginjak api yang tengah berkobar oleh warga lelaki yang berusia 18 sampai 30 tahun di daerah setempat. Mendengar hal ini tentu menimbulkan ketakutan karena api merupakan elemen berbahaya yang dapat menimbulkan kecelakaan dan melukai.

Disitulah letak uniknya tradisi ini, meskipun mereka yang ikut menginjak api dalam keadaan sadar (tidak kesurupan) tetapi tidak ada rasa sakit yang dirasakan. Menurut pengakuan warga setempat asal dilakukan dengan perasaan tulus, ikhlas dan suci sebagai bentuk yadnya maka api tersebut tidak akan membahayakan.

Warga setempat mengaku, pernah kejadian seseorang yang ikut atau menonton tradisi Nyejek Api mengalami luka bakar karena terkena api. Setelah ditelusuri ternyata mereka yang mengalami kecelakaan datang dengan niat yang tidak suci, melakukan tradisi dengan tidak sungguh-sungguh dan berkata hal-hal yang tidak pantas. Hal ini menunjukkan bahwa tradisi ini begitu sakral dan sangat suci.

Sejak api dinyalakan, para warga lelaki yang akan ikut serta diberikan tirta (air suci) kemudian dimulaihlah tradisi menginjak api yang diiringi dengan gamelan energik dari penabuh desa setempat. Para peserta ini akan menginjak api hingga padam dan tersisa arang. Apabila api sudah padam sepenuhnya, warga baik laki laki maupun perempuan bersama sama akan melakukan persembahyangan yang dipimpin oleh orang suci setempat.

Rangkaian tradisi ini tidak sampai disitu, selama 1 hari dari pukul 06.00 Wita - 16-00 Wita warga Desa Pundukaha Kaja akan melakukan nyepi selayaknya nyepi masyarakat Bali dengan berdiam diri di rumah masing masing.

Sebagai penanda berakhirnya nyepi, dilaksakan Nyejek Api oleh anak-anak kecil yang berusia 8-15 tahun pada sore hari yang bertujuan sebagai pelestarian tradisi bagi generasi muda serta hiburan bagi masyarakat.

Filosofi tradisi ini dilaksanakan untuk menetralisir pengaruh pengaruh negatif di sekitaran wilayah desa dan menyucikan desa. Api sebagai simbol suci dalam agama Hindu menjadi elemen yang dapat membersihkan berhala-berhala untuk mengembalikan kesucian alam semesta.

Tradisi ini dilaksanakan setahun sekali, yakni pada bulan purnama kesembilan yang biasanya jatuh pada bulan Februari hingga Maret. Bertempat di depan Pura Kepah, Banjar Pundukaha Kaja.

Tradisi Nyejek Api sudah dilakukan secara turun temurun, namun warga tidak tahu pasti kapan tepatnya tradisi ini mulai dilaksanakan. Pada saat covid-19 pun tradisi ini tetap berlangsung, namun dibatasi pesertanya.

Menurut kepercayaan warga, apabila sebuah tradisi tidak dilaksanakan akan menimbulkan hal yang tidak baik bagi keberlangsungan warga di Desa Pundukaha Kaja. Sehingga demi menjaga keseimbangan alam secara sekala niskala yang artinya keseimbangan alam terlihat dan tak terlihat dalam kepercayaan hindu di Bali.

Menariknya tradisi Nyejek Api tidak hanya sebagai tradisi yang sifatnya spiritual bagi warga Desa Pundukaha Kaja saja, tetapi masyarakat yang berada di sekitaran wilayah Nusa Penida juga turut tertarik untuk ikut menyaksikan tradisi ini secara langsung meskipun harus datang dini hari.

Selain itu, majunya pariwisata di Nusa Penida menjadikan tradisi ini sebagai daya tarik wisata budaya bagi wisatawan asing yang tak jarang ikut menyaksikan. Oleh sebab itu, kelestarian tradisi ini perlu dijaga eksistensinya oleh generasi muda sebagai salah satu bentuk warisan budaya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

NM
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini