Budaya Marsiadapari Semakin Asing: Bukti Tergerusnya Solidaritas Sosial Masyarakat Toba?

Budaya Marsiadapari Semakin Asing: Bukti Tergerusnya Solidaritas Sosial Masyarakat Toba?
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbung untuk Melambung

"Merawat Bumi, Merawat Kebudayaan"

begitulah tema yang diusung oleh Pekan kebudayaan Nasional 2023 kali ini. Sejujurnya saya sangat tertarik dengan tema yang diangkat dalam Pekan Kebudayaan Nasional kali ini.

Mengapa? Budaya dengan perkembangan zaman seolah-olah adalah dua hal yang tidak mungkin bersatu. Orang-orang boleh bicara bahwa kita harus melestarikan budaya di tengah perkembangan zaman, tetapi nyatanya sebagian besar generasi muda menganggap budaya sebagai hal yang usang.

Meskipun tidak semuanya, tetapi kebanyakan anak muda tidak peduli dengan budaya mereka sendiri. Itulah mengapa event Pekan Kebudayaan Nasional ini sangat penting dalam membangun kepedulian generasi muda Indonesia terhadap budayanya sendiri, karena kalau bukan kita, siapa lagi?

Salah satu budaya yang diangkat dalam pekan kebudayaan kali ini adalah budaya gotong royong yang dibawakan dalam konsep lumbung padi. Berbicara mengenai budaya gotong royong, pikiran saya selalu flashback ke sembilan tahun yang lalu. Saat itu, saya masih berusia 12 tahun yang sedang duduk di bangku kelas 6 SD.

Di usia itu, saya dan teman-teman sejawat di desa saya tidak lagi menghabiskan waktu hanya dengan bermain setelah pulang sekolah. Kami telah diajari untuk mandiri dan membantu orang tua di sawah.

Apa saja yang dapat dilakukan, mengembalakan kerbau, menanam, menyiangi, memupuk hingga memanen padi. Kebetulan di daerahku memang padi menjadi komoditas unggulan, walaupun bukan satu-satunya.

Penulis 9 Tahun lalu bersama kakaksedang membantu orang tuaFoto: Hotdi Gultom
info gambar

Mungkin kalian akan bertanya, apa hubungan membantu orang tua dengan budaya gotong royong?. Izinkan saya menjelaskan.

Dalam kegiatan membantu orang tua tersebutlah saya diperkenalkan dengan keindahan budaya gotong royong Masyarakat Toba yang diwujudkan melalui marsiadapari. Marsiadapari berasal dari kata mar-sialap-ari yang berarti:

Kita berikan dulu tenaga dan bantuan kita kepada orang lain baru kemudian kita minta dia membantu kita. Maknanya yang sangat dalam, tanam dulu baru petik kemudian.

Tujuan dari marsiadapari adalah meringankan sebuah pekerjaan yang berat dengan memikulnya secara bersama-sama.

Sisolisoli do uhum, siadapari do gogo,” begitulah hukum dasar marsiadapari yang jika dibahasa indonesiakan bermakna "kau beri maka kau akan diberi".

Hal ini berlaku untuk sikap, tenaga dan juga materi. Budaya ini sebenarnya memang sudah cukup asing bagi Masyarakat Toba saat ini, tetapi tidak dengan masyarakat desa saya sembilan tahun yang lalu.

Baca Juga: Melihat Arsitektur Rumah Apung yang Kini Terancam Punah

Saya masih ingat dengan jelas bahwa di desa saya, Desa Lumban Huala, Kecamatan Parmaksian, Kabupaten Toba saat itu belum memiliki mesin pertanian yang memadai sehingga hampir semua aktivitas bertani masih dikerjakan secara konvensional.

Konvensional dalam pertanian maka akan identik dengan mengandalkan tenaga. Hal ini ada kaitannya dengan banyaknya jumlah anak yang umum dimiliki oleh sebuah keluarga.

Alasannya adalah banyak orang tua beranggapan jika memiliki banyak anak akan memudahkan pengelolaan sumber daya, seperti sawah, kebun, ternak dan lain-lain. Semakin banyak anak semakin banyak tenaga yang dapat diandalkan.

Marsiadapari Foto: Merdeka.com
info gambar

Buat keluarga usia muda ataupun anak saat itu dapat mengelola sawah miliknya, tetapi tidak dengan ompung Tigor. Ompung tigor memiliki dua anak dan empat cucu yang tinggal di kota. Artinya, semua aset sawah dan kebun yang dimiliki Ompung Tigor dikelolanya sendiri.

Dengan pertanian yang masih konvensional, kelompok masyarakat seperti Ompung Tigor biasanya akan kesulitan dalam mengelola sawahnya. Hal tersebut dikarenakan tenaganya yang tidak sekuat dia di masa mudanya dulu dan kepemilikan sawah yang luas.

Jika kalian berpikir bahwa hal tersebut bukanlah masalah karena Kakek Tigor masih dapat mengupah orang lain, maka kalian salah. Sistem bertani di desa saya adalah serempak, artinya saat musim tanam, maka semua keluarga memiliki urusan sawah masing, sehingga tidak ada tenaga kerja yang dapat digaji.

Biasanya tenaga kerja berasal dari luar desa, tetapi dengan upah yang lebih mahal lagi sehingga akan berdampak pada naiknya modal produksi. Lantas, bagaimana cara Kakek Tigor mengelola sawahnya?.

Marsiadapari

Kakek Tigor akhirnya dapat mengelola sawah yang dimilikinya dengan meluangkan waktu untuk membantu di sawah masyarakat lain terlebih dahulu, kemudian orang yang dibantu oleh Kakek Tigor akan meluangkan waktunya juga untuk membantu Kakek Tigor di lain hari.

Meskipun tenaga yang disumbangkan oleh Kakek Tigor dengan petani yang lebih muda tidak sama, tetapi tidak ada yang mempermasalahkan hal tersebut. Karena bagi mereka yang penting adalah gotong royong yang diselingi dengan membantu orang yang membutuhkan bantuan.

Marsiadapari saat musim bertanamFoto: Klik Warta
info gambar

Meskipun lebih banyak dikenal dalam bidang pertanian, nyatanya praktik marsiadapari tidak sesempit itu. Marsiadapari ada dalam semua bidang kegiatan orang Batak, seperti mendirikan rumah, kemalangan, pesta dan lain sebagainya. Dan istimewanya marsiadapari tidak mengenal batasan kelas ekonomi.

Baik miskin atau kaya, kuat atau lemah, semua akan saling bahu-membahu untuk meringankan beban anggota kumpulannya.

Hal tersebutlah yang mengilhami populernya ungkapan “Tampakna do tajomna, rim ni tahi do gogona”. Yang berat terasa ringan, semua senang dan bersemangat memberikan bantuan. Sebab, mereka sadar suatu mereka saat pasti membutuhkan perlakuan seperti itu.

Baca Juga: Rumah Pohon bagi Suku Korowai, Benarkah untuk Lindungi dari Zombie?

Namun, hal yang sangat dikhawatirkan penulis adalah tergerusnya budaya marsiadapari akibat perkembangan teknologi. Berdasarkan pengalaman dan observasi penulis secara langsung, pelaksanaan marsiadapari tidak lagi seintens dulu yang hampir di setiap bidang kehidupan.

Misalnya, marsiadapari di ladang sudah sangat berkurang karena adanya traktor atau jetor serta mesin panen rontok padi dan tenaga kerja yang melimpah dengan upah lebih murah.

Saat ini marak inovasi yang dianggap dapat meningkatkan kualitas pertanian di Indonesia.

Tentu tidak ada yang salah dengan hal tersebut, tetapi di balik beberapa manfaat yang terjadi akibat mesin tani yang telah berkembang ada beberapa dampak negatif yang telah terjadi akibat keinstanan yang terjadi, seperti pergeseran solidaritas sosial.

Di masyarakat sekarang kita bisa melihat kenyataan, sistem tata nilai yang memudar sangat dipengaruhi oleh pengaruh mekanisme perubahan dalam masyarakat juga.

Masyarakat kita lebih menghargai orang yang tidak ikut bergotong-royong akan tetapi ia memberikan uang ataupun nilai pengganti dari kerja sosialnya tersebut daripada orang yang sudah dengan niat hati dan iklas diri merelakan waktunya untuk ikut serta bersama-sama bergotong royong.

Padahal budaya gotong royong seperti marsiadapari adalah tentang proses mengerjakan suatu hal secara bersama-sama. Proses tersebutlah yang dapat mempererat hubungan sosial dalam sebuah kelompok.

#GenerasiMudaPeduliBudaya

Sumber Referensi

  • https://nasional.kompas.com/read/2008/11/26/17323361/~Oase~Cakrawala
  • https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/pembukaan-pekan-kebudayaan-nasional-2023/#:~:text=Pekan%20Kebudayaan%20Nasional%202023%20resmi%20dibuka.&text=Jakarta%2C%2020%20Oktober%202023%20%E2%80%93%20Setelah,malam%20(20%2F10).

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

HG
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini