Mengenal Lembaga Pendidikan Sunda

Mengenal Lembaga Pendidikan Sunda
info gambar utama

(#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbung untuk Melambung)

Nusantara terkenal dengan sumber daya alam melimpah dan keberanekaragaman suku bangsa, banyak orang menilai tanah Nusantara memiliki peradaban menoton dan hanya terdapati Kerajaan-kerajaan saja. Penilain itu tidak sepenuhnya salah namun ketika kita terus menelusur jejak nenek moyang nusantara khususnya Bangsa Sunda, ada banyak sekali hal yang wajib dipelajari dan salah-satunya adalah sistem pendidikan yang sudah berdiri sejak abad ke-8. Lembaga pendidikan ini diberi nama “Bagala Asih Panyipuhan”.

Kebudayaan Sebagai Alat Penyelamat Kehidupan (survival kit)

Kebudayaan pertama kali didefinisikan pada tahun 1871 oleh E.B. Taylor, lebih dari seratus tahun lalu dalam bukunya primitive culture. Di mana kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan yang mencakup; pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat serta kebiasaan manusia dalam memperoleh pengetahuan melewati fenomena hidup. Dan ada ratusan denitif kebudayaan yang dihasilkan lebih kurang tiga perempat abad.

Manusia dalam kehidupannya memiliki banyak sekali kebutuhan, untuk mencukupi hal tersebut haruslah ada penalaran yang dititikberatkan pada nilai-nilai adat dan tradisi agar kemudian tetap terhubung pada daya cipta sebagai dasar dari metode berpikir pada masa itu. Kebudayaan menceriminkan tanggapan manusia untuk melakukan berbagai tindakan dalam rangka memenuhi semua kebutuhan hidupnya. Manusia sangat berbeda dengan binatang bukan tentang banyaknya kebutuhan namun juga dalam upayanya memenuhi kebutuhan, kebutuhannya dalam berpengetahuan inilah yang menimbulkan konsep pendidikan sebagai sarana berbagi pengetahuan hidup.

Kebudayaanlah dalam konteks ini bisa dijadikan garis pemisah antara manusia dan binatang. Ada lima hal yang dapat diidentifikasikan menjadi kebutuhan manusia yakni; fisiologi, rasa aman, afiliasi, harga diri dan pengembangan potensi. Binatang hanya cukup memerlukan dua hal saja dan terpusat pada kebutuhan fisiologi dan rasa aman serta memenuhinya dengan instinktif, sedangkan manusia tidak memiliki kemampuan bertindak secara otomatis sehingga dia berpaling pada kebudayaan yang mengajarkan cara hidup.

Kerajaan Sumedang Larang Mendirikan Lembaga Pendidikan

Jarum sejarah tidak akan pernah membohongi masa depan, dari abad SM banyak dari para filsuf Yunani kuno telah mendirikan sistem pendidikan yang sangat baik, banyak dari para murid filsuf tersebut menjadi seorang tokoh yang terkemuka di dunia, dan salah satunya ialah Alexander Agung murid dari filsuf yang seringkali menjabarkan konsep teologi dengan kalimat yang sederhana, ia bernama Aris Toteles. Filsuf ini berhasil mendidik muridnya menjadi tokoh dunia dengan sistem pendidikan yang dirinya uraikan, maka pendidikan bisa menjadi sebuah tonggak manusia agar dapat menjadi pribadi yang sejahtera sebagaimana pendapat bapak pendidikan republik Indonesia yaitu; Ki Hajar Dewantara. “Pendidikan harusnya memerdekakan manusia, menghasilkan manusia yang selamat dan bahagia”.

Kerajaan Sumedang Larang beridiri pada tahun 721 M, didirikan oleh Prabu Tadjimalela dengan segala ilmu pengetahuannya, Sumedang Larang bercirikan pada filosfis dari pengalaman Prabu Tadjimalela, yang di mana ketika dirinya selesai melakukan meditasi dan membuka kedua matanya, ia melihat ada garis indah melengkum berwarna-warni, dengan serentak Tadjimalela berucap “Insun medal insun madangan” artinya adalah saya lahir untuk menerangi. Maka asal kata Sumedang Larang berasal dari peryataan beliau di atas yang pada akhirnya berubah pengucapan menjadi Sunmadang lalu berubah kembalii menjadi Sumedang.

Awal berdirinya kerajaan Sumedang Larang tidak langsung melakukan ekpansi peluasan wilayah, melainkan membuka dan mendirikan lemabaga pendidikan yang diberi nama Bagala Asih Panyipuhan. Hasrat kerajaan ini bukan semata-mata ingin mendapatkan kekuasaan saja tapi Sumedang Larang ingin membentuk dan menumbuhkan jiwa kepemimpinan melewati suatu perhimpunan agar kemudian bisa menciptakan kaderisasi negarawan yang bernama Resi.

Bagala Asih Panyipuhan

Resi Agung Bima Raksa merupakan pendiri dari lembaga pendidikan Bagala Asih Panyipuhan, dia juga seorang kakek dari Prabu Tadjimalela, Resi Bima berasal dari kerajaan Galuh Pakuan kendati Sumedang erat kaitannya dengan kerajaan Galuh, dirinya pada akhirnya mengabdikan diri pada kerajaan cucunya dan hasil dedikasi itulah tercipta Bagala Asih Panyipuhan. Bagusnya di sini Sumedang membuka dengan luas dan kepada kerajaan mana saja yang mau dan mampu mengenyam pendidikan menjadi seorang negarawan dipersilahkan belajar di Bagala Asih Panyipuhan,hampir seantero kerajaan yang ada di Nusantara belajar menjadi seorang negarawan (Resi) di lembaga pendidikan Resi Bima.

Lembaga pendidikan ini befokus pada pengembangan diri (Spiritual) juga diajarkan bagaimana caranya berhitung mengunakan rumus matematik pada zaman itu. Ada sebuah pengetahuan tentang perhitungan zaman, masa, dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan benda-benda langit. Ilmu tersebut dikenal dengan “Kala Cakra” dalam ilmu pengetahuan kala cakra bukan hanya belajar berkenaan kosmologi saja, tapi juga merangkap dengan ilmu psikologis, karena kala cakra juga bisa dijadikan bahan mengenali jati diri melewati hitung-hitungannya yang ikonik.

Tidak semua orang dapat diterima di Bagala Asih Panyipuhan, terdapat kriteria penerimaan yang absolut. Kriteria ini mengambil dari tanggal lahir seorang anak, katakanlah bahwa anak itu lahir di hari jum’at sebelum jam 12 siang. Seorang yang telah memahami dan menguasi kala cakra akan menghitung dengan rumus-rumusnya, dan jika hasil yang keluar ternyata berunsur api maka tidak bisa menjadi seorang resi, karena resi harus lahir pada unsur air yang bergelar nantinya “Sanghyang”. Di Sumedang ada 33 pasal yang tidak boleh ditulis dan disebarkan pada sembarang orang menurut Papakeum (aturan adat) karena 11 pasal diantaranya adalah pedoman para resi yang hanya diajarkan ke para Sastri (siswa) di majelis ka-Resian bagala asih panyipuhan.

Salah satu artefak bagala asih panyipuhan tertera pada sebatang pohon atau kulit. Artefak itu berjudul “Tuhu di Sang hyang Hawu” isi artefaknya seperti ini: wit tisti parama sastra agemaning resi, hurip pinaring purna ing sri maha budi sangkan paraning dumadhi, bagja teja sulaksana margana punya darana inya tinapa di sarira puhit diri ning darani, galih haning rasa hirang ngalingga rasa purusha, amituhu sang hyang bayu di lapangan sabda hedap, pinanggih titis sang suci, werti gandha marma ghati, sunda si ijuna jati.

Yang artinya: permulaan bahasa luhur yang dituturkn bahasa baik sebagai ajaran hidup para resi, pokok ajaran kebajikan harus diwariskan utamanya pada para murid. Hidup sempurna dengan tata-titi budipekerti agar mencapai kemuliaan diri selamat dengan cahaya pengetahuan sejati dan memusatkan rasa dalam laku tanpa melatih diri eling dan waspada, jernih hati dan tenang dalam laku semedi (sembahyang) memperhatikan keluar masuknya napas, menghayati ucapan serta tindakan untuk menemukan hakekat suci dari patuah ajaran welas asih dan ma’rifat kepada tuhan.

Cukup sekian pembahasan tentang lembaga pendidikan di tatar Sunda, terimakasih.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

MN
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini