Menjaga Pandangan Hidup Orang Jawa di Tengah Gempuran Modernisasi

Menjaga Pandangan Hidup Orang Jawa di Tengah Gempuran Modernisasi
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbung untuk Melambung

Melestarikan kebudayaan di tengah gempuran modernisasi, ini yang sering digembar-gemborkan oleh para negarawan, institusi pemerintah dan pemerhati budaya.

Banyak orang masih mengartikan melestarikan kebudayaan berupa menghadirkan pentas seni, merestorasi bangunan bersejarah, menyajikan kuliner dan juga mengadakan perayaan dari suatu daerah semisal di Jawa Tengah ada sekatenan, grebek mulud, dan lainnya.

Kebudayaan ternyata tidak hanya yang bentuknya benda, kesenian atau pagelaran, tapi juga tingkah laku yang menjadi kebiasaan dari suatu daerah, salah-satu di Indonesia diantaranya pandangan hidup orang Jawa.

Pandangan hidup orang Jawa ini dapat berupa adab, norma atau aturan berdasarkan nilai-nilai budaya. Aturan agama juga terselip dalam pandangan hidup kebudayaan Jawa.

Aksi nyata dari pandangan hidup sering kali digunakan dalam pergaulan antar pribadi, antar tetangga, dan antar kaum bahkan dalam organisasi.

Walaupun saya terlahir di Jakarta tidak terlahir di Jawa, orang tua saat saya usia sekolah menanamkan pandangan hidup orang Jawa.

Apa saja pandangan hidup orang Jawa yang masih saya praktekkan sehari-hari ?

1. Menahan Diri dari “Saru”

Budaya Jawa memandang pengertian "Saru" mengenai hal-hal yang tabu untuk dilakukan atau diucapkan.

Saya ingat sekali, Ibu mengingatkan untuk tidak berbicara yang berhubungan dengan alat kelamin dan seksual di muka umum, pantangan dan tidak boleh.

Para sesepuh Jawa amat menyadari bahwa alat kelamin adalah tanda yang menunjukkan perbedaan antara laki-laki atau perempuan. Tetapi, penyebutan alat kelamin bukan sesuatu yang pantas untuk diperbincangkan atau dijadikan bahan guyonan di muka umum.

Contoh Saru lainnya, ketika sebuah hajatan selesai tapi didepan kita masih terdapat kumpulan makanan ringan, untuk orang Jawa tidak boleh untuk dibawa pulang. Biarkan saja ditempatnya, kecuali yang punya acara memberikan dengan tangannya.

Saru juga termasuk ketika pria menyentuh tubuh wanita yang bukan keluarganya, bercanda meminta traktir, dan bagi perempuan tidak diperkenankan duduk mengangkang sehingga aurat terkuak.

2. Menjaga Diri dari “Ora Elok”

Selain “Saru” ada “Ora Elok”, merupakan istilah Jawa yang mengartikan perbuatan yang dilakukan tidak etis, tidak baik, dan tidak bagus. Ora elok memberikan ketegasan, karena selain berisi pantangan juga berisi apa yang akan terjadi bila kita melakukannya (mitos).

Berbagai contoh 'Ora Elok' diantaranya ; 'Ora elok dolanan beras, engko tangane kithing' (Tidak baik bermain beras, nanti jari tangannya bertumpang tindih). Maksud dari pernyataan ini agar jangan bermain-main dengan makanan agar tidak terbuang (mubazir).

Ada juga ‘Nglungguhi bantal, engko wudunen’ (Menduduki bantal, nanti bisa bisulan). Maksud dari larangan ini adalah edukasi kesehatan karena celana yang kita gunakan bisa jadi kotor terdapat bakteri / virus yang dapat menyebarkan penyakit ke bantal yang nantinya digunakan untuk tidur.

Kemudian 'Ora elok ngidoni sumur, mengko lambene guwing (Tidak baik meludahi sumur, nanti bibirnya sumbing), quote Jawa ini dapat diartikan apabila kita meludah ke sumur akan dapat menyebarkan penyakit karena airnya kita gunakan untuk minum oleh orang banyak.

3. Memahami “Nerimo ing Pandume Gusti

Nrimo dapat diartikan menerima, bisa juga menerima apa adanya. Nerimo ing pandume Gusti memiliki pengertian menerima apa yang sudah diberikan Tuhan.

Sejujurnya saya pernah terpeleset diwaktu yang lalu (2015) tidak menerima (protes) atas insentif yang diberikan tempat kerja. Tapi dengan berjalannya waktu, dan mengingat pesan orang tua yang berasal dari Jawa, Saya pun mempraktekkan ajaran hidup budaya Jawa ini.

Saya ingat sekali, pada saat keluarga Kami masih dalam kondisi yang sulit, ketika mendapati Ibu hanya memasak tempe untuk lauh Kami makan, Bapak meminta kepada anak-anaknya tidak menuntut lebih.

Kami pun memakan nasi dengan lauk tempe dan tidak minta macam-macam. Ada rasa Bahagia walaupun makan seadanya. “mangan ora mangan sing penting kumpul”.

Ada ajaran dalam kearifan lokal ini yakni dalam menghadapi problem dan tantangan hidup orang Jawa sebaiknya menerima atas jalan hidup yang telah digariskan Tuhan.

Menerima bukan berarti kita pasrah, melainkan legowo (menerima dan serahkan kepada Tuhan). Akan ada hikmah dari setiap kejadian yang Kita alami. Apa yang terjadi bisa menjadi pembelajaran untuk Kita di kemudian hari.

Karakteristik budaya Jawa ini menonjolkan sifat masyarakat Jawa yang percaya pada Tuhan Yang Maha Esa sebagai Sangkan Paraning Dumadi dengan segala sifat dan kebesaran-Nya,

4. Menyalakan “Migunani Tumraping liyan

Quote Jawa ini juga bisa dimaknai Kita sebagai manusia dapat berguna bagi orang lain. Orang Jawa diharapkan dalam kehidupan sehari-hari harus saling tolong menolong, saling membantu jika ada orang lain yang sedang dalam keadaan susah tanpa mengharap imbalan.

Orang tua saya mengajarkan bahwa orang Jawa diharapkan mengedepankan kebersamaan dengan gotong royong daripada mesti hidup enak sendiri.

Ibu saat ini tinggal dirumah Saya, beliau mencontohkan bagaimana dirinya tidak hitungan kepada tetangga di komplek tempat saya tinggal.

Bila ada tetangga yang sedang mengadakan hajatan, acara atau kegiatan kumpul keluarga, Beliau meminta Saya untuk meminjamkan tiker, piring plastik dan apapun yang dibutuhkan tetangga.

Hasil penghitungan Gerakan RSKO Peduli
info gambar

Ibu juga sangat mendukung atas gerakan sosial yang Saya dan teman-teman RSKO Jakarta jalani yakni Gerakan RSKO Peduli yang telah berjalan 11 tahun.

5. Menjalankan "Toto Kromo"

Ada sebuah Quote tentang Jogja "Selalu ada yang tersisa dari Jogja untukmu. Rindu dan candu.". Quote ini menunjukan bahwa suasana di Jogja yang bikin kangen, salah-satunya Toto Kromo orang Jogja.

Toto kromo bagi masyarakat Jawa tentang jiwa dan raga, yaitu tentang jiwa santun (sopan santun) dan juga tenggang roso jasad (rogo).

Almarhum Bapak merupakan kelahiran Jogjakarta. Ada didikan Bapak yang terus Saya lakukan sampai saat ini, apabila Saya melewati seseorang atau sekumpulan orang di gang maka tundukkan kepala, badan agak sedikit membungkuk dengan bahu kanan lebih rendah dari bahu kiri, tangan kanan lurus kebawah dengan jari terbuka sambil mengucap permisi Pak / Bu.

Tegur sapa walaupun tidak bersuara dengan melempar senyum sambil menganggukkan kepala dengan seseorang yang berpapasan dengan kita. Jangan cuek saja, apalagi teman satu tempat kerja.

***

Eksistensi pandangan hidup orang Jawa di era globalisasi ibarat di persimpangan jalan. Dalam berbagai tingkah laku kebiasaan-kebiasaan orang Jawa diperantauan mulai memudar.

Ada saja keturunan Jawa yang meninggalkan kebiasaan budayanya dan menjalankan kebiasaan modern yang lebih praktis. Tapi Saya masih terus berusaha menjalankan ajaran Bapak dan Ibu sebagai orang keturunan Jawa.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AM
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini