Belajar Filosofi Kehidupan Melalui Kesenian (Cianjur Budayanya Subur)

Belajar Filosofi Kehidupan Melalui Kesenian (Cianjur Budayanya Subur)
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbung untuk Melambung

Indonesia menjadi Kiblat Kebudayaan bagi negara-negara di dunia. Hal ini bisa dibuktikan dengan kesenian tradisional yang beragam di setiap daerah. Begitupun dengan kebudayaan yang lahir di daerah Cianjur Jawa Barat seolah tak ada habisnya hidup di daerah yang kaya dengan sejarah ini.

Kebudayaan memiliki keterkaitan dengan latar belakang daerah asal. Cianjur dengan mayoritas penduduk bermata pencaharian sebagai petani. Selain itu, Cianjur juga merupakan daerah dengan suasana kota yang agamis. Tidak heran, Cianjur termashur dengan pasokan padi “Pandan Wangi” serta terkenal dengan julukan kota santri “Gerbang Marhamah”. Oleh karenanya setiap budaya di Cianjur memiliki nilai-nilai hidup dan sejalan dengan ajaran Agama Islam.

Cianjur memiliki keberagaman budaya yang mengagumkan. Hampir setiap daerah di Cianjur memiliki kebudayaan dalam bentuk dan jenis yang berbeda-beda. Dari setiap budaya yang ada selalu terkandung estetika, nilai, dan keunikan. Hal ini perlu dihargai sebagai salah satu aset kekayaan Pemerintah Daerah. Pemerintah Cianjur memiliki pondasi budaya di daerahnya. Pondasi itu berupa semboyan yakni “Tujuh Pilar Kebudayaan Cianjur”.

Adapun ketujuh pilar tersebut yakni Ngaos atau membaca, Mamaos atau mengaji dan menyanyi, Maenpo atau pencak silat, Tatanen atau bertani, Tangginas atau aktif kreatif, Someah atau ramah baik hati, dan Sauyunan bersatu hidup rukun.

Salah satu bentuk dari budaya adalah seni dan tradisi. Beberapa kesenian tersebut di antaranya kesenian rengkong (seni mengangkut padi), kesenian mengarak posong (panen belut sawah), bangkong reang (suara calung menyerupai katak sawah) dan masih banyak kebudayaan yang unik lainnya.

Kesenian Rengkong adalah kesenian yang bermula dari panen padi dari gunung Gombong yang akan dibawa ke permukiman dan disimpan di lumbung padi. Dikarenakan pencipta ingin memasukan unsur seni, maka hasil panen padi itu dipikul dengan bambu. Pikulan diberi beban berat padi kurang lebih 20-25 kilogram lalu diikat dengan ijuk.

Cara membawanya dengan menggoyang-goyangkan pikulan sehingga memunculkan suara yang dihasilkan dari gesekan antara tali ijuk dan batang pikulan. Suara yang dihasilkan menyerupai suara burung Rangkong. Oleh karena itu, kesenian tradisional tersebut dinamai “Rengkong”.

Gambar 1. Kesenian Rengkong Cianjur

Kesenian ini sering dipentaskan dalam berbagai acara seperti, acara hari ulang tahun Republik Indonesia, hari ulang tahun daerah, acara sekolah, acara hajatan, dan acara pentas budaya. Mulai dari tampil di Desa, Kecamatan, Kabupaten hingga Nasional seperti pentas di Cianjur, Sukabumi, Bandung, Bogor, Karawang, Purwakarta, Jakarta, dan daerah Jawa Barat lainnya.

Alat dan bahan yang digunakan untuk bermain Kesenian Rengkong yaitu bambu kering 2 - 2.5 meter, sunduk, tali ijuk, padi, pohon beringin, pohon hanjuang, bendera merah putih, umbul-umbul. Kostum yang dipakai adalah baju dan celana pangsi hitam, ikat kepala, topi (dudukuy), sarung, sendal karet hitam dan tidak diperbolehkan sendal berwarna merah karena itu salah satu warna bendera Indonesia.

Pemilihan bambu kering dan lurus ternyata memiliki makna bahwa setiap manusia harus berada pada jalan yang lurus yaitu jalan yang diRidhai oleh Tuhan Yang Maha Esa. Penggunaan pohon beringin (caringin) memiliki makna tersendiri yakni mengacu pada pemerintahan sebagai tempat perlindungan (pangiuhan) masyarakat. Pohon hanjuang memiliki makna ciri atau batas. Dalam hal ini pohon hanjuang menunjukkan bahwa Kesenian Rengkong ini adalah milik kampung Kandang Sapi Desa Cisarandi Kecamatan Warungkondang Cianjur. Kesenian Rengkong didominasi oleh penggunaan warna merah putih memiliki pemaknaan rasa cinta nasionalisme dan semangat membara. Dominasi warna hitam dalam Kesenian Rengkong memiliki makna kegagahan (sieup). Suara Kesenian Rengkong memiliki pemaknaan bahwa setiap manusia harus saling bersuara dalam artian saling mengajak, menasehati, menyerukan kebaikan (saling ngageuingkeun, ngelingan).

Jumlah pemain inti dalam Kesenian Rengkong dari dulu hingga sekarang yaitu tetap 6 orang. Memiliki makna dan kaitan dengan agama tepatnya 6 rukun iman (iman kepada Allah Swt, iman kepada Malaikat, iman kepada kitab-kitab Allah, iman kepada para Rasul, Iman kepada hari kiamat dan iman kepada qada qadar). Padi tersebut dikaitkan pada pikulan menggunakan tali ijuk. Tali ijuk memiliki pemaknaan agar sesama manusia harus terus saling merekatkan persaudaraan dalam hidupnya.

Dengan seiring perkembangan zaman, kesenian ini sering dikolaborasikan dengan kesenian lain terutama seni tari. Biasanya Kesenian Rengkong sering divariasikan dengan tari potong padi yang dipentaskan oleh kaum ibu ataupun dengan Tari Dewi Sri Ngacleuk Leuit.

Hubungan dengan kedua tari tersebut hanya sebagai penambah ramai dan bagian dari variasi. Dari segi sejarah, kolaborasi kesenian tersebut masih berada dalam satu lingkup kegiatan bertani. Oleh karena itu tidak heran jika Kesenian Rengkong juga menyentuh kaitannya dengan Dewi Sri (Dewi Padi). Mulai dari ketika ingin melakukan panen padi harus dengan rasa hormat serta ketika selesai panen harus dengan rasa syukur.

Kesenian tradisional di Cianjur ini begitu beragam akan tetapi pada kenyataannya kurang mendapat perhatian. Jarang sekali ditemui generasi muda yang mau mempertahankan identitas budaya daerah. Merasa malu untuk mengakui jika kesenian tradisional adalah budayanya sendiri.

Hal ini diungkapkan oleh Satya (2011: 178) globalisasi mengakibatkan banyaknya budaya yang masuk dan menyebabkan berbagai masalah di negeri ini, misalnya menurunnya rasa cinta budaya dan nasionalisme generasi muda. Anak muda generasi penerus bangsa harus bisa mempertahankan kelestarian budaya daerahnya masing-masing untuk memperkuat identitas sebagai orang Indonesia.

Menurut majalah Tempo (25 Agustus 2016) tiga ratus seni tradisional Jawa Barat terancam punah. Globalisasi belum mampu dimanfaatkan sebagai salah satu alternatif dalam menjembatani eksistensi budaya lokal di zaman yang semakin milenial. Seperti minimnya media elektronik yang mau menyiarkan tradisi-tradisi yang sebetulnya bisa menjadi media hiburan masyarakat.

Gambar 2. Aplikasi Kesenian Rengkong Cianjur

Upaya yang dilakukan penulis adalah meneliti kesenian rengkong berdasarkan kajian semiotik atau pemaknaan dan merevitalisasinya ke dalam sebuah buku pengayaan dan buku referensi berbentuk aplikasi yang bisa diunduh dari google playstore dan bisa disimpan di telepon seluler sebagai media penambah pengetahuan dan pendidikan karakter bagi pembaca secara umum maupun bagi para peserta didik di sekolah sebagai generasi muda penerus bangsa. Aplikasi ini telah digunakan sebagai media belajar siswa dalam pembelejaran sastra berbasis budaya lokal. Generasi muda bisa belajar secara kontekstual dan mendapatkan nilai karakter dan hikmah untuk menjaga budayanya sekitar.

Daftar Pustaka

Satya, Dyah. 2011. “Penurunan Rasa Cinta Budaya dan Nasionalisme Generasi Muda akibat Globalisasi”. Dalam Jurnal Sosial Humaniora [Online], Volume 4, (2), 9 halaman. Tersedia: https://.its.ac.id/index.php/jsh/article/view/632/354 [22 Januari 2018]

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

MM
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini