Gerakan Zero Plastic: Menggugah Kesadaran Atau Sekedar Tren Pasar?

Gerakan Zero Plastic: Menggugah Kesadaran Atau Sekedar Tren Pasar?
info gambar utama

Kawan GNFI pernah melihat tetangga, teman, keluarga, sahabat atau bahkan pasangan yang setiap berbelanja tidak pernah menggunakan plastik? Atau setiap membeli makanan tidak pernah dibungkus dengan styrofoam dan kotak bungkusan restoran? Bahkan tidak pernah membeli minuman kemasan dari supermarket atau kaki lima karena packaging minumannya menggunakan kemasan plastik dan tidak dapat digunakan berulang-ulang?

Jika pernah, maka selamat! Lingkungan sosial kawan GNFI saat ini adalah lingkungan yang sehat dan memikirkan kelangsungan bumi karena mencoba untuk mencegah pencemaran lingkungan dari gerakan kecil yang dilakukan setiap hari.

Namun, apakah gerakan-gerakan kecil ini sudah benar? Apakah gerakan kecil ini cukup membantu bumi yang kita tinggali ini jauh dari pencemaran lingkungan?

Gerakan kecil yang menghindari penggunaan plastik pada packaging makanan/minuman yang dikonsumsi sehari-hari dinamakan “Zero Plastic”. Pada awalnya, gerakan ini muncul sebagai respon atas keprihatinan global terhadap sampah plastik yang tidak mudah terurai. Berbagai komunitas dan perusahaan mulai berkreasi menggantikan plastik dengan tas-tas sustainable yang dapat digunakan berulang-ulang. Inisiatif ini disambut antusias besar dari masyarakat yang ingin berkontribusi pada lingkungan.

Namun, gerakan kecil yang positif ini tidak serta-merta memunculkan hasil yang positif juga. Masyarakat mulai melihat gerakan Zero Plastic ini bukan lagi sebagai upaya sungguh-sungguh untuk menyelamatkan lingkungan, melainkan sebagai tren sosial yang harus diikuti. Mereka merasa terdorong untuk memiliki barang-barang berlabel “ramah lingkungan” tanpa benar-benar memahami esensi dari gerakan tersebut.

Perusahaan F&B dan retail melihat peluang besar dalam tren ini. Mereka beralih dari plastik ke tas-tas sustainable dengan menambahkan biaya kepada konsumen dengan harapan dapat meraih pasar yang semakin sadar lingkungan. Namun, paradoksnya, produk-produk tersebut sering kali menjadi bencana baru.

Alih-alih mengurangi limbah, mereka menyebabkan masalah akumulasi. Masyarakat yang awalnya menimbun plastik belanjaan di rumah, kini menggunakan tas sustainable yang didapat saat berbelanja. Tujuannya adalah mengurangi sampah. Namun, masyarakat akhirnya justru berurusan dengan bertumpuknya tas-tas yang dilabeli “ramah lingkungan” tersebut.

Kantong plastik pertama kali dibuat pada tahun 1959 oleh ilmuwan asal Swedia, Sten Gustaf Thulin. Penemuannya dipatenkan pada tahun 1965. Kantong plastik awalnya dibuat untuk menyelamatkan bumi dan membantu lingkungan karena dulu orang-orang menggunakan kantong kertas yang produksinya mengancam keberlanjutan alam. Semakin banyak penggunaan kantong kertas maka akan semakin banyak pohon yang ditebang.

Pada saat itu, kantong plastik digunakan berulang kali, tidak hanya sekali pakai seperti saat ini. Hal inilah yang menyebabkan plastik dinilai sebagai bahan yang tidak ramah lingkungan. Sampah plastik yang memiliki waktu terurai yang sangat lama membuat orang-orang beralih ke tas ramah lingkungan dengan harapan ekosistem alam terjaga dari sampah yang tidak mudah terurai seperti plastik.

Ironisnya, banyak dari tas-tas ini yang akhirnya berakhir menumpuk di lemari penyimpanan hingga dibuang ke tempat pembuangan sampah. Mayoritas masyarakat bingung harus digunakan sebagai apa lagi tas-tas tersebut. Hal ini justru memunculkan masalah baru yang seharusnya dihindari.

Masyarakat yang berbondong-bondong ingin memberikan kontribusi dalam kelestarian lingkungan mengganti pemakaian kantong plastik menjadi tas ramah lingkungan yang berbahan spunbond, kanvas, bahkan katun yang dikenal dengan nama tote bag.

Sayangnya, banyak masyarakat yang belum tahu bahwa setiap satu tas sustainable yang diproduksi harus melewati sekitar 20 ribu kali pemakaian agar bisa sepadan dengan proses produksi yang ditempuh. Artinya, satu tas spunbond disarankan untuk digunakan selama 54 tahun. Nah, apabila kita sudah menggunakan tas-tas sustainable tersebut sesuai jangka waktunya, barulah kita dapat disebut mendukung gerakan ramah lingkungan.

Tidak hanya harus mengetahui bahan dasar tas sustainable yang digunakan saja, kita juga perlu mempertimbangkan model dan jenis tas yang akan dimiliki. Apabila bahan dasar tas dapat didaur ulang, jika terdapat dekorasi sablon/PVC di atas tas, otomatis tas tersebut tidak dapat didaur ulang.

Konsep Zero Plastic ini harus lebih dari sekedar tren. Harus ada pemahaman mendalam tentang konsep keberlanjutan, dan bukan hanya sekedar mengganti plastik dengan benda-benda lain yang pada akhirnya berujung pada limbah. Setiap perubahan kecil dalam perilaku konsumen benar-benar berdampak pada lingkungan. Memilih produk yang benar-benar berkontribusi pada lingkungan bukan hanya sebagai ikon tren, tetapi sebagai langkah nyata dalam mendukung kelestarian alam.

Gerakan ini wajib menjadi gerakan yang menggugah kesadaran, bukan hanya tren yang berlalu begitu saja. Pendidikan dan pemahaman adalah kunci untuk membuat perubahan nyata. Kita semua haru sama-sama memahami bahwa keberlanjutan lingkungan adalah perjalanan, bukan hanya destinasi akhir.

Referensi:

https://waste4change.com/blog/tas-spunbond-masalah-baru-akibat-pelarangan-kantong-plastik/

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

MW
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini