Budaya Marsiadapari di Kabupaten Tapanuli Utara yang masih awet dan lestari

Budaya Marsiadapari di Kabupaten Tapanuli Utara yang masih awet dan lestari
info gambar utama

#CERITA KEBUDAYAAN DARI DAERAHKU#

Budaya Marsiadapari di Kabupaten Tapanuli Utara, Kecamatan Pangaribuan, Desa Silantom Tonga yang masih awet dan lestari di Era Industri 4.0/Society 5.0

Defenisi

Marsiadapari adalah bekerja secara bersama-sama atau saling membantu antar-sesama yang umumnya mengerjakan lahan di bidang pertanian dan terdiri dari dua orang atau lebih.

Marsiadapari memang erat kaitannya dengan gotong royong, akan tetapi konsep Marsiadapari sangat berbeda dengan gotong royong. Dalam kearifan lokal masyarakat Batak tradisi Marsiadapari di era Industri 4.0/Society 5.0 masih awet dan lestari di kalangan penduduk yang tinggal di pedesaan khususnya di daerah Kabupaten Tapanuli Utara (Tarutung), desa SilantoM Tonga.

Marsiadapari, marsialapari, dan marsirumpa mempunyai arti dan makna yang sama, namun menjadi kata yang umum (sering disebut) apabila membahas atau mendiskusikan tentang tradisi marsiadapari.

Maka dapat disimpulakan marsiadapari adalah hasil musyawarah dan mufakat antara beberapa orang untuk bekerja secara bersama-sama dan berganti-gantian dengan menentukan waktu dan apa yang dikerjakan yang umumnya pekerjaanya lebih condong ke bidang pertanian.

Marsiadapari: sejarah dan perkembangan di tanah batak

Konsep marsiadapari di tanah Batak sudah berlangsung sejak zaman nenek moyang, yang artinya lahirnya masyarakat Batak beriringan dengan konsep marsiadapari yang berjalan dan berlangsung sampai sekarang ini.

Tradisi marsiadapari turun-temurun dari generasi pertama bangsa Batak sampai generasi sekarang ini di era Industri 4.0/Society 5.0. Marsiadapari menjadi tradisi yang melekat dan tidak akan terpisahkan dari masyarakat Batak karena dilestarikan yang finalnya menjadi sebuah kearifan lokal dan keunikan masyarakat Batak.

Di zaman nenek moyang apabila tradisi ini dilaksanakan pekerjaan mencakup di pertanian, pembangunan, dan pesta adat-istiadat (ulaon adat batak). Pada era Industri 4.0/Society 5.0 tradisi marsiadapari ini tetap awet dan lestari, akan tetapi dengan lingkup keja yang lebih dominan di bidang pertanian, dengan alasan mayoritas masyarakat Batak pekerjaanya adalah petani, maka dimungkinkan tidak terlalu mampu di bidang pembangunan dan lainnya.

Sementara pesta adat (ulaon adat) di Batak sudah wajib menjadi tanggung jawab orang atau keluarga yang melakukan acara pesta adat (ulaon adat) tersebut dengan di bantu teman sekampung. Akan tetapi hadirnya revolusi industri membuat tradisi marsiadapari minim pekerjaan.

Untuk daerah-daerah Batak yang sudah minim lahan pertanian, budaya marsiadapari sudah tidak ada lagi, dikarenakan apabila bekerja akan mendapat upah berupa uang. Umumnya masyarakat yang kekurangan finansial akan mengambil opsi untuk bekerja upahan demi keberlangsungan hidup atau membiayai keluarga.

Berbeda di daerah-daerah Batak yang mayoritas penduduk petani akan selalu memilih opsi marsiadapari untuk mempercepat selesainya pekerjaan. Untuk itu, kesimpulan definit budaya marsiadapari di pedesaan-pedesaan di Kabupaten Tapanuli Utara masih awet dan lestari khususnya desa Silantom Tonga.

Konsep marsiadapari

Dalam tulisan Sophar Simanjuntak mengkonsepkan budaya marsiadapari dengan mengatakan; marsiadapari melakukan kerja secara bersama-sama secara bergantian, dengan adanya sekelompok masyarakat yang bermufakat bekerja berganti-gantian dengan lahan kerja yang sudah ditentukan, ditempat masing-masing anggota yang telah berunding untuk melaksanakan marsiadapari.

Namun untuk memahami konsep ini Penulis memaparkan dengan cara algoritme sederhana seperti contoh berikut ini, misalnya ada sekelompok masyarakat Batak yang berunding dan bermufakat untuk marsiadapari antara A, B, C, D, dan E. Sehingga jika A, B, C, dan D sepakat bekerja selama satu hari di ladang E, secara otomatis A, B, C, dan D bekerja di ladang E dengan kewajiban pemilik ladang yaitu E menyediakan minum dan makan siang serta kebutuhan lainnya yang dibutuhkan dalam pekerjan.

Dengan demikian E harus bekerja di ladang A, B, C, dan D selama satu hari juga dan disiapkan minum dan makannya. Begitu juga seterusnya sampai masing-masing kelompok mendapat gilirannya masing-masing yang sudah ditentukan dengan rundingan yang telah dilaksanakan.

dokumentasi pribadi
info gambar

Kesimpulan

Di era Industri 4.0/Society 5.0 budaya marsiadapari masih awet dan lestari di daerah pedesaan Batak, terkhusus di Kabupaten Tapanuli Utara, Kecamatan Pangaribuan, Desa Silantom Tonga.

Hal ini bisa terjadi dan masih terlaksana dikarenakan masyarakat yang masih peduli dengann kearifan lokal yang menjadi ciri khas dan keunikan tersendiri yang menjadi kebiasaan-kebiasaan yang terjalin rapi dan tersitem dengan baik. Perlu disadari bahwa kegiatan budaya marsiadapari sudah melahirkan falsafah bagi orang batak yaitu Falsafah “berat sama di pikul, ringan sama di jing-jing” yang arti dasarnya perlunya kerja sama dan kebersamaan di dalam kehidupan.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AH
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini