Mengenal Tradisi Tepung Tawar Perdamaian Palembang

Mengenal Tradisi Tepung Tawar Perdamaian Palembang
info gambar utama

Gesekan-gesekan kecil terkadang timbul di tengah pergaulan masyarakat, bahkan bisa berujung pada konflik dan pertikaian berdarah. Konflik dapat terjadi antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, ataupun antarkelompok.

Adat Palembang punya cara unik untuk mendamaikan kedua pihak yang berkonflik. Seseorang yang membuat lawannya berdarah diharuskan melakukan Tepung Tawar Perdamaian, tradisi adat melayu yang syarat kearifan lokal.

Tradisi ini berbeda dengan tradisi Tepuk Tepung Tawar di Riau yang diperuntukkan untuk sesi persiapan pernikahan, pelantikan jabatan, sunatan, maupun haji.

Dikutip dari situs resmi warisan budaya Kemendikbud, disebutkan bahwa dengan melakukan tradisi ini, maka segala rasa marah, dendam, sakit hati yang berkecamuk di dalam hati orang yang bertikai akan hilang atau tawar alias tidak ada rasa lagi.

Tradisi ini diakui masih relevan dan efektif untuk dipakai di era modern meskipun sudah jarang ditemukan pelaksanaannya.

“Ya, masih efektif. Buktinya, diangkat menjadi Peraturan Kapolri Nomor 3 tahun 2015 tentang Pemolisian masyarakat,” ungkap Iman Setiawan dari Dinas Kebudayaan Kota Palembang dalam Bincang Adat di Festival Anjungan Palembang 4 Agustus 2023 lalu.

Agar terus berkembang di masyarakat, kata dia, tradisi ini harus diperkenalkan ke generasi penerus. Mengingat, Tepung Tawar Perdamaian sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Kota Palembang oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI pada tahun 2021.

Karena itu, pada penyelenggaraan Pekan Adat Sumatera Selatan 2023, pihaknya bersama duta budaya mempersembahkan pertunjukan drama tentang prosesi Tepung Tawar Perdamaian Palembang di panggung festival hari itu. Drama tersebut menampilkan bagaimana uniknya prosesi perdamaian dari dua orang yang bertikai di tradisi ini.

Prosesi dinyatakan berhasil jika diakhiri makan bersama. (Dok.Yulia Savitri)
info gambar

Keluarga pelaku datang ke rumah keluarga korban dengan membawa persyaratan prosesi, mulai dari ketan kunyit panggang ayam, air kembang tujuh rupa (seperti mawar, melati, melati gambir, cempaka, sedap malam, serta jeruk purut), dan oleh-oleh berupa kue jajanan pasar. Keluarga pelaku disambut keluarga korban di rumah yang sudah dihadiri juga oleh pemangku adat.

Pelaksanaan prosesi diantaranya angkan-angkanan (permohonan maaf disambut pernyataan angkat saudara, nulangi (menyuapkan ketan), nyacapi (mengusapkan air kembang pada bagian ubun-ubun korban dan pelaku oleh orangtua), dilanjutkan dengan doa selamat dan tolak bala agar pertikaian tidak terulang kembali.

Terakhir, prosesi ditutup dengan acara makan bersama dengan cara hidangan buluh sebatang yakni menyusun makanan dengan formasi lurus. Prosesi dinyatakan berhasil jika diakhiri makan bersama dan sepakat tidak ada dendam.

“Tradisi ini untuk menetralkan atau mendamaikan pertikaian dengan dimediasi oleh pemangku adat. Konon, apabila kesepakatan diingkari akan mendapatkan bala yang lebih besar,” terang Iman.

Sementara itu, Budayawan Palembang Vebri Alintani menilai, tradisi Tepung Tawar Perdamaian terbilang unik karena prosesinya merupakan cara berdamai. Tradisi melayu ini tidak hanya berlaku di Palembang tapi juga daerah lain. Hanya saja, penetapannya sebagai Warisan Budaya Tak Benda untuk Kota Palembang karena Palembang mengajukan lebih dulu.

“Sekarang sudah jarang dilakukan prosesi resminya karena sudah pakai cara kekeluargaan yang lebih simpel,” ulasnya di Palembang.

Menurutnya, manfaat dari tradisi ini luar biasa karena bisa mengangkat saudara dari orang yang sebelumnya bertikai. Dia pun sudah melakukan kajian khusus tentang tradisi ini, butuh sosialiasi lebih luas ke masyarakat melalui lembaga adat.

“Palembang masih perlu revitalisasi lembaga adat. Sebab, sosialisasi warisan budaya tanpa lembaga adat tentu kurang sempurna,” cetus Vebri.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

YS
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini