Mengenal Brokohan, Tradisi Jawa Menyambut Kelahiran Bayi yang Masih Lestari

Mengenal Brokohan, Tradisi Jawa Menyambut Kelahiran Bayi yang Masih  Lestari
info gambar utama

Dengan banyaknya suku di Indonesia, di setiap daerah memiliki beragama tradisi dengan ciri khas atau keunikannya masing-masing. Seperti halnya berbagai tradisi yang dilakukan oleh orang-orang suku Jawa yang dilaksanakan secara turun temurun dan masih tetap lestari hingga sekarang.

Salah satu dari tradisi yang masih bisa kita temui tersebut adalah Brokohan. Yang mana, orang-orang dari suku Jawa melakukannya untuk menyambut bayi yang baru lahir. Lalu, sebenarnya apa itu tradisi brokohan dan tujuan dari dilakukannya serta bagaimana pelaksanaannya?

Mari kita mengenal serba-serbi mengenai tradisi yang satu ini.

Apa itu brokohan?

Tradisi brokohan adalah sebuah upacara adat yang dilaksanakan beberapa jam setelah kelahiran bayi, berupa bancaan atau selamatan.

Di sisi maknanya, brokohan mengandung harapan akan keberkahan dari Sang Pencipta. Akar kata "brokohan" berasal dari bahasa Arab, yaitu "barokah," yang artinya adalah 'mengharapkan berkah'.

Dengan demikian, brokohan dalam Tradisi Jawa menjadi sebuah acara yang diadakan saat seorang ibu melahirkan anak.

Bila berkunjung ke Jawa Barat atau Jawa Tengah, khususnya di daerah pedesaan, tradisi yang satu ini masih sangat kental untuk dilakukan. Meskipun juga tidak sedikit di daerah kota besar yang melaksanakannya, mengingat hal ini sudah turun temurun.

Baca juga : Mitoni, Tradisi Budaya Jawa untuk Menyambut 7 Bulan Kehamilan

Tujuan dan sejarah brokohan

Brokohan diadakan dengan tujuan memberikan keselamatan dan perlindungan bagi sang bayi, sambil menyampaikan harapan agar bayi tersebut tumbuh menjadi anak yang memiliki perilaku yang baik.

Tradisi ini telah berakar sejak zaman kuno masyarakat Jawa dalam kepercayaan Kejawen, dipercayai sebagai sarana untuk memohon doa dan keberkahan.

Seiring berjalannya waktu, tradisi Brokohan yang sebelumnya melibatkan meditasi, kini lebih difokuskan pada keyakinan berdoa untuk memohon keberkahan. Meskipun demikian, tradisi ini tetap dijalankan dengan mematuhi prinsip-prinsip agama.

Acara Brokohan biasanya melibatkan undangan tetangga atau orang terdekat untuk berdoa bersama dan menikmati hidangan yang disajikan.

Brokohan juga bisa dianggap sebagai bentuk syukur atas kelahiran anak yang selamat. Dalam tradisi ini, seseorang menyiapkan hidangan nasi seperti saat menggelar kenduri, menciptakan suasana yang hangat dan bersyukur.

Tradisi ini berfungsi sebagai pengingat akan pentingnya doa, keberkahan, dan rasa syukur dalam kehidupan sehari-hari, memperkuat ikatan masyarakat serta memelihara nilai-nilai keagamaan dan kebersamaan.

Makanan yang ada pada tradisi brokohan

Dalam tradisi Brokohan, perlengkapan upacara dibedakan berdasarkan kelas sosial masyarakat yang mengikutinya. Terdapat dua golongan utama: golongan bangsawan dan golongan rakyat biasa.

Bagi golongan bangsawan, perlengkapan Brokohan mencakup berbagai jenis makanan dan hidangan istimewa. Beberapa di antaranya termasuk dawet, telur mentah, jangan menir (jenis rempah-rempah), sekul ambeng, nasi dengan berbagai lauk, jeroan kerbau, pecel dengan lauk ayam, kembang setaman, serta kelapa dan beras.

Sementara itu, bagi golongan rakyat biasa, perlengkapan Brokohan terdiri dari nasi ambengan yang disajikan dengan lauk pauknya seperti peyek, sambel goreng, tempe, mihun, jangan menir, dan pecel ayam.

Namun, dalam acara ini terdapat beberapa makanan yang dihindari, termasuk sambal, sayur bersantan, telur ikan tawar, dan telur asin.

Proses upacara dan makna brokohan

Upacara brokohan dimulai dengan menghubur ari-ari atau plasenta si bayi, yang dikenal sebagai mendhem. Setelah prosesi ini selesai, acara dilanjutkan dengan membagikan sesajen brokohan kepada sanak saudara dan para tetangga.

Sesajen brokohan yang dibagikan terdiri dari telur ayam mentah, setengah tangkep gula jawa, setengah buah kelapa, dawet, serta kembang brokohan seperti mawar, melati, dan kantil. Tradisi ini diadakan segera setelah bayi lahir dan dihadiri oleh si ibu, suami, keluarga, dukun, pinisepuh, serta putra-putri keluarga.

Upacara ini tidak hanya menjadi momen penting dalam menyambut kelahiran bayi, tetapi juga merupakan wujud dari nilai-nilai kebersamaan dan kepercayaan spiritual yang dijunjung tinggi dalam budaya Jawa.

Kegiatan ini memiliki arti yang sangat penting dalam kepercayaan masyarakat Jawa. Menurut keyakinan mereka, ari-ari dianggap sebagai adik spiritual, sedangkan air ketuban yang keluar lebih dahulu dianggap sebagai kakak spiritual bayi.

Dipercaya bahwa abang spiritual tersebut akan selalu melindungi bayi dari penyakit yang berasal dari bumi dan langit. Dimulai sejak bayi berusia 1 hari hingga 35 hari, kedua saudara spiritual ini dianggap berada di dekat bayi, memberikan perlindungan dan keberkahan dalam perjalanan hidupnya.

Kepercayaan ini mencerminkan pentingnya spiritualitas dan koneksi dengan alam dalam budaya dan tradisi masyarakat Jawa.

Tradisi perawatan plasenta bayi dalam masyarakat Jawa, seperti memberikan penerangan dan pagar untuk melindunginya, bukan hanya sebuah kehati-hatian praktis, melainkan juga sebuah teladan tentang menghargai jasa dan kebaikan.

Tindakan ini merupakan bentuk apresiasi terhadap kehidupan dan siklus alam, mengajarkan kita untuk tidak melupakan bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada kita.

Selain itu, tradisi Brokohan juga menjadi simbol sedekah, rasa syukur kepada Allah, dan doa agar anak tumbuh menjadi pribadi yang baik. Melibatkan tetangga dan sanak saudara dalam ritual ini juga memperkuat kerukunan sosial, menciptakan hubungan yang erat dan saling menguatkan antaranggota masyarakat.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Muhammad Fazer Mileneo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Muhammad Fazer Mileneo.

MM
MS
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini