Perkenalan Pertama Romantisasi Jakarta

Perkenalan Pertama Romantisasi Jakarta
info gambar utama

Ide perjalanan ini dimulai ketika aku sedang kalut-kalutnya dengan banyak hal yang terjadi saat itu. Sebelumnya aku adalah orang yang jarang sekali melakukan hal yang bernama liburan.

Aku cenderung menjadi penyendiri dan menghabiskan waktu di kamar kosku jika ada waktu luang. Selama ini, tidak pernah terbesit aku akan pergi jalan-jalan sendiri ke tempat yang menurutku sangat jauh.

Hingga malam itu sepulang berkegiatan yang sangat melelahkan, secara impulsif aku meraih gunting lalu memotong rambutku yang sudah pendek menjadi semakin pendek. Aku mengambil handphone di sebelahku lalu berputar menyelam ke beberapa sosmed. Pikiranku mengarah pada Kota Jakarta.

Aku selalu melihat Jakarta penuh dengan hal-hal yang lebih maju dan membuat penasaran. Mungkin karena aku dari desa, yang sangat amat jarang melihat Gedung-gedung tinggi. Hingga aku teringat pada salah satu saudara yang tinggal jauh dari tempatku. Aku menghubungi dia bertanya apakah minggu ini dia sibuk atau tidak, dia menjawab bahwa jadwalnya kosong selama akhir pekan.

Lalu aku terpikir sesuatu dan aku bertanya lagi apakah aku bisa datang dan jalan-jalan bersamanya di hari itu. Dia mengiyakan, aku merasa lega. Kuceritakan bahwa aku belum pernah seumur hidupku naik kereta api, dia pun menyarankan aku mencoba kali ini. Aku pesan tiket kereta api dari Stasiun Poncol Semarang dengan tujuan Stasiun Bekasi melalui aplikasi.

Aku bulatkan tekad untuk pergi sendiri kali ini. Tiba hari keberangkatanku, aku bersiap sejak pagi karena aku berangkat di sore hari. Tidak banyak yang aku bawa karena memang tidak berencana lama disana.

Saat itu setelah ashar, aku pesan ojek online untuk mengantarku ke stasiun Poncol. Aku membawa ransel yang cukup besar karena terisi penuh, tas bahu kecil, dan sebuah boneka leher warna merah muda yang aku beli sebelum berangkat. Saat itu bahkan pertama kalinya aku masuk stasiun.

Aku berusaha sebisa mungkin untuk tidak terlihat bingung. Di depan pintu masuk bagian dalam aku tunjukkan tiket yang sudah aku pesan melalui aplikasi. Naik dan memasuki gerbong kereta untuk pertama kalinya dan sendirian cukup menguji nyaliku.

Dan benar saja, aku yang sudah percaya diri duduk di bangku sesuai nomor ternyata salah masuk gerbong. Aku berjalan cukup jauh menuju gerbong terakhir dan akhirnya duduk di tempat yang benar.

Perjalanan kurang lebih enam jam aku tempuh, namun tidak begitu lelah meskipun kursi di gerbong ekonomi hampir tegak 90 derajat. Aku menikmati semua pemandangan yang aku lihat dari kereta. beruntung duduk di dekat jendela.

Aku sampai di Stasiun Bekasi yang cukup dekat dengan tempat Teteh tinggal. Aku dipesankan ojek online untuk membawaku ke tempat kosnya. Sampai disana lega bercampur rasa antusias untuk jalan-jalan besoknya.

Hari itu Sabtu, entah Teteh akan membawaku keliling kemana aku ikut saja. Aku tidak memiliki bayangan harus kemana, aku hanya ingin melihat hal-hal baru. Pagi itu, kami bersiap dan menuju Stasiun Bekasi untuk selanjutnya menuju ke Jakarta. Cukup padat di dalam kereta meski sudah akhir pekan.

Cukup lama hingga kami sampai di Stasiun Kampung Bandan, aku memulai perjalanan ini dari Jakarta Utara mengitari Kota Tua. Pemandangan dan suasana yang mirip dengan Kota Lama di Semarang. Aku menikmati suasananya sambil seringkali teralihkan pada kegiatan orang-orang disana.

Mereka duduk-duduk meski sudah mulai Terik, mengobrol, atau sekedar bengong. Satu botol air mineral menemani langkah kami berdua hingga menuju ke tujuan selanjutnya. Aku mencoba segala macam transportasi umum di Jakarta, seperti KRL, busway, jaklingko, dan MRT. Melewati banyak tempat yang biasanya hanya aku lihat di televisi.

Di tengah perjalanan asik menggunakan transportasi umum, kami berhenti di salah satu perhentian busway yang baru aku tahu jika kita naik ke lantai atas, kami bisa berdiri sejajar dengan patung selamat datang.

Siang dilanjutkan untuk singgah di Jakarta Selatan, makan siang di Kota Kasablanka adalah pertama kalinya untukku. Aku merasa kecil dan ndeso diantara orang-orang berpakaian rapi yang banyak membicarakan bisnis serta pekerjaan mereka. Semua tampak hebat dimataku.

Di sela makan siang itu, Teteh tiba-tiba memberikan ide untuk melanjutkan perjalanan ke Bogor tepatnya ke Kebun Raya Bogor. Aku pikir Bogor sangat jauh dari Jakarta. Tapi berkat kereta, semua jadi lebih cepat bebas hambatan. Kami turun di stasiun dan melanjutkan dengan naik angkot hingga ke depan gerbang masuk Kebun Raya Bogor.

Makin sore kakiku makin terasa pegal, namun pemandangan disana indah, tempat yang cocok untuk sekedar bengong atau bercakap-cakap dengan orang tersayang. Begitu sejuk karena penuh dengan pohon-pohon besar layaknya hutan.

Hingga kami sampai ke depan istana negara. Nampak megah namun bersahaja, itulah kesan yang aku dapatkan saat melihat langsung bangunannya. Setelah hari makin sore, aku dan Teteh kembali ke stasiun untuk pulang ke Bekasi.

Kami sempat bertarung sebentar di Stasiun Manggarai karena begitu banyaknya orang yang sama-sama ingin naik kereta ke tujuannya. Hingga saat kami sudah didalam kereta pun, tidak bisa lagi duduk dan harus berdiri dengan kaki yang sudah perih. Tapi semua rasa lelah terbayarkan dengan pengalaman baru yang aku dapat.

Mungkin Jakarta adalah kota yang biasa saja bagi sebagian orang, bahkan mungkin ada orang-orang yang begitu enggan datang ke Jakarta. Isu polusi, sampah, dan hal negatif lain pun banyak. Namun Ketika disana yang aku lihat adalah begitu banyaknya pengharapan manusia ditumpuk jadi satu di kota itu.

Jakarta mungkin tempat bagi orang-orang yang lelah tapi tidak menyerah, ia menyimpan mimpi-mimpi tinggi penghuninya. Aku juga mimpi kesana, aku pikir untuk menjadi besa raku juga harus datang dan berjuang di kota sebesar Jakarta.

Aku berpikir, jika aku bisa bertahan di Jakarta artinya aku bisa bertahan dimana saja. Meski banyak yang bilang, untuk apa, aku masih menyimpan mimpi untuk kesana. Habis-habisan mengejar karir dan pendidikan di usia muda. Aku ingin keluar dulu dari zona nyamanku dan melihat sejauh apa aku bisa bertahan.

Memang tidak ada akhir yang pasti senang, itu juga mungkin yang terjadi pada orang-orang disana. Tapi selagi masih muda, tidak ada salahnya mencoba. Tidak ada salahnya memperjuangkan mimpi selagi masih ada masanya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

SA
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini