Memperdebatkan Asal Rendang di Festival Pusako, Pekan Kebudayaan Nasional 2023

Memperdebatkan Asal Rendang di Festival Pusako, Pekan Kebudayaan Nasional 2023
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbung untuk Melambung

Siapa yang tak mengenal rendang, kuliner khas Minangkabau tersebut tak luput diperbincangkan dalam Festival Pusako yang merupakan rangkaian Pekan Kebudyaaan Nasional 2023. Diskusi bertajuk ‘Kuliner Sumatera Barat dari Masa ke Masa’ telah dilangsungkan pada 12 Oktober 2023 di Fabriek Bloc, Kota Padang. Diskusi tersebut dipantik oleh budayawan Edy Utama, sejarawan Novelia Musda, vlogger makanan Riri Fatzrianti, serta dipandu oleh Mitra Oktavia.

Diskusi sore itu diawali oleh pemaparan mengenai sejarah kuliner Sumbar dari perspektif catatan Eropa oleh Novelia Musda. Novel menuturkan bahwa berdasarkan catatan yang ditulis oleh Eropa, sebelum abad ke-19, kuliner Sumbar, memiliki dua kemungkinan pertama, dipengaruhi bangsa luar speerti India, Arab dan Portugis. Dan yang kedua dipengaruhi oleh suku bangsa lainnya seperti Aceh, dan Bugis.

Novel melanjutkan bahwa salah satu kuliner Sumbar khususnya rendang memiliki kemungkinan dipengaruhi kuliner Portugis. Kemungkinan tersebut didasarkan pada kemiripan pada masakan Portugis yaitu karamanaci. Sejarawan yang banyak menerjemahkan arsip kolonial terkait sejarah Sumbar tersebut menuturkan bahwa ada banyak pengaruh Portugis pada berbagai kuliner Indonesia seperti gado-gado dan pindang. Dan juga orang Minangkabau kerap mengadopsi budaya lain dan terakhir Portugis menetap selama 150 tahun di Malaka.

“Namun, terdapat pula argumen pelemahnya seperti tidak ada sumber tertulis yang secara gamblang menjelaskan pengaruh Portugis. Kedua, kosa kata randang itu merupakan asli dari bahasa Minang. Ketiga, kontak Minangkabau dengan Portugis saat itu masih sangat terbatas.” Tambah Novel.

Usai penyampaian materi tersebut, perdebatan tak terelakan, pembahasan sejarah kuliner Sumbar tersebut memantik salah satu peserta diskusi, Fatris MF. Dirinya menyatakan ketidaksetujuan bahwa rendang dipengaruhi oleh Portugis atau pun India.

“Saya kira kalau rendang itu dipengaruhi Portugis dan India itu kurang tepat, kata randang saja itu berasal dari kata kerja marandang yang merupakan asli Bahasa Minang, yang artinya memasak dengan perlahan. Jadi yang ingin saya tanyakan mengapa budaya kita sering dikaitkan dengan pengaruh bangsa kolonial. Seakan-akan rendang itu dipengaruhi bangsa lain, apakah kita sendiri tidak memiliki budaya sendiri?” ujar Fatris.

Penulis buku Lara Tawa Nusantara tersebut menuturkan bahwa secara geografis, bahan baku pembuatan rendang sulit ditemukan di negara yang tidak memiliki iklim tropis. Fatris juga menambahkan bahwa rempah dan bahan yang digunakan dalam pembuatan rendang jauh berbeda dengan kuliner India, rendang menggunakan santan sedangkan kari khas India, menggunakan susu. Sehingga tidak mungkin rendang dipengaruhi oleh kuliner India mau pun Portugis.

“Bahkan jenis kelapa (santan )untuk rendang itu yang otentik itu berada di pantai barat, itu akan berbeda rasanya dengan kelapa yang tumbuh di pantai timur. Pendatang, orang Gujarat India itu tidak tahu hal tersebut. Maka dari itu saya kira rendang tidak dipengaruhi siapa-siapa.” Tambahnya.

Selaras dengan pemaparan Fatris, Winarno dan Agustinah dalam buku Herba dan Rempah Aplikasinya dalam Hidangan menyebutkan bahwa sebagian besar rempah untuk membuat rendang tersedia di daratan Sumbar. Beberapa di antaranya seperti lada, bawang merah, bawang putih, jahe dan santan. Bahkan pohon kelapa tumbuh dengan subur di Sumatra Barat tak terkecuali di daerah pegunungan. Sedangkan, untuk cabai sendiri, dibudidayakan 9000 tahun lalu di Meksiko, hingga Christoper Colombus memperkenalkannya ke Eropa pada abad ke-15. Menurut Winarno dan Agustinah, bangsa Portugis berperan dalam membawa cabai ke India Timur, Asia, dan Afrika.

“Sebenarnya inti dari bukti teks dari dokumen Belanda yang telah saya paparkan, Portugis hanya mengkomparasikan dengan kuliner mereka. Jadi ketika melihat rendang, mereka melihat kuliner milik mereka yang cara masaknya atau cirinya mirip dengan rendang,” ujar Novel, menanggapi pertanyaan Fatris. Sejarawan yang kerap menerjemahkan arsip kolonial tentang budaya di Sumbar tersebut ternyata sepakat bahwa rendang merupakan kuliner asli Minangkabau.

Diskusi mengenai keaslian rendang dipengaruhi atau memengaruhi tersebut berhasil memantik berbagai perspektif dari peserta lain. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu peserta berikut ini. “Kebetulan saya sempat pergi ke Thailand bulan lalu, saya menemukan makanan yang dibungkus daun pisang, rasanya mirip seperti lapek dan di Thailand sana, mereka menyebutnya lepak. Apa jangan-jangan ini dipengaruhi kuliner Minangkabau?” ujar Daffa Benny, salah satu peserta diskusi.

Peserta lain sebut saja Hendra juga ikut menimpali bahwasanya besar peran tradisi lisan dalam mewarisi kuliner khas Minangkabau, dirinya juga menambahkan bahwa rendang berkaitan dengan kuliner khas Minangkabau lainnya.

“Kalau teman-teman tahu sate padang itu, aslinya itu tidak seperti yang sering kita kenal sekarang. Daging sate itu justru seharusnya telah melalui proses marandang, baru ditpotong dan kemudian dibuat sate. Dan kuahnya itu dari minyaknya, dicampur dengan kuah kacang. Resep itu saya dapat dari nenek saya, sampai sekarang terus saya buat dan jika teman-teman ingin mencicipi Sate Padang yang asli bisa berkunjung ke kedai saya, ” terang lelaki paruh baya tersebut sembari mempromosikan bisnis makanan miliknya.

Pada akhirnya peserta dan pemateri sepakat bahwa rendang merupakan kuliner khas asli dari Minangkabau. Tetapi di sisi lain sebagai pertimbangan bagi Kawan GNFI, masih banyak perdebatan lain mengenai keaslian rendang. Sumber bertajuk Rapport betreffende de Godsdienstige verschijnselen ter Sumatra's Westkust yang dikutip pada jurnal ‘Tracing the origins of rendang and its development’ menyebutkan bahwa rendang dipengaruhi ajaran agama Islam.

Burhanudin Ulakan seorang ulama Islam, saat itu ia mencicipi masakan olahan daging ayam, dirinya menyayangkan masakan tersebut karena proses eksekusinya belum sesuai dengan hukum Islam. Dirinya juga menyayangkan anak-anak yang saat itu membawakan babi bakar kepadanya. Ulama yang kini namanya menjadi nama kecamatan di Kabupaten Padang Pariaman tersebut akhirnya menghimbau kepada masyarakat sekitar untuk tak memakan daging babi dan mengikuti ajaran Islam.

Sejarawan, Fadly Rahman dalam Jejak Rasa Nusantara memberikan pendapat lain, bahwa rendang banyak dipengaruhi Portugis karena saat itu Portugis menduduki Malaka dalam jangka waktu yang cukup lama. Dengan landasan tersebut, diperkirakan Portugis telah mewariskan kebudayaan Lusio-Asia, terutama dalam teknis memasak memanaskan daging secara berulang hingga kering dan awet. Nah, kira-kira bagaimana pendapat kawan GNFI, apakah rendang dipengaruhi atau memengaruhi budaya dari bangsa lain?



Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AF
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini