Penggunaan Alat Musik Tradisional dalam Perayaan Liturgi: Inkulturasi dan Pelestarian

Penggunaan Alat Musik Tradisional dalam Perayaan Liturgi: Inkulturasi dan Pelestarian
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023
#PekanKebudayaanNasional2023
#IndonesiaMelumbung untuk Melambung

Kebudayaan di Indonesia, menurut Koentjaraningrat, memiliki tujuh unsur fundamental yakni bahasa, sistem pengetahuan, sistem organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem ekonomi dan mata pencaharian hidup, sistem religi, dan kesenian (Koentjaraningrat, 1993).

Salah satu unsur yang sungguh menarik serta relevan eksistensinya dalam kehidupan penulis adalah kesenian. Dalam hal ini, penulis ingin lebih spesifik pada seni dan alat musik tradisional daerah.

Penulis adalah orang Batak Toba (selanjutnya Toba), tertarik pada alat musik tradisional Toba, dan memiliki minat untuk berlatih memainkan alat musik tersebut.

Alat musik tradisional yang masih ada "dekat" dengan penulis saat ini adalah gondang, ogung (gong), sulim (seruling bambu), dan hasapi (kecapi).

Meski sebenarnya, alat musik tradisional Toba tidak hanya itu, masih ada garantung, balobat, sarune bolon, arbab, taganing, tulila, dan gordang sambilan. Untuk mengetahui uraian singkat tentang alat-alat musik tersebut, silakan Kawan GNFI mengakses detiksumut.

Sebagai seorang Toba, penulis merasa bangga atas warisan alat musik tradisional tersebut. Sebab, hingga kini, masih ada orang-orang baik Toba sendiri maupun tidak Toba yang memainkan alat-alat musik tradisional untuk cover lagu, edukasi, pelestarian budaya, inkulturasi dalam ibadat, maupun motivasi lainnya.

Inkulturasi

Menurut pengalaman penulis, ketertarikan pada alat musik tradisional berdasar pada pelestarian budaya dan ikulturasi dalam ibadat (baca:liturgi). Makna dari pelestarian budaya, penulis harap telah dimengerti oleh Kawan GNFI.

Sementara untuk inkulturasi, penulis akan jelaskan secara sederhana. Menurut iman Katolik, inkulturasi merupakan:

"Proses pengintegrasian pengalaman Kristiani sebuah Gereja lokal ke dalam kebudayaan setempat sedemikian rupa, sehingga pengalaman tersebut tidak hanya mengungkapkan diri di dalam unsur-unsur kebudayaan bersangkutan, melainkan juga menjadi kekuatan yang menjiwai, mengarahkan, dan memperbarui kebudayaan bersangkutan dan dengan demikian menciptakan suatu kesatuan dan 'communio' baru, tidak hanya di dalam kebudayaan tersebut, melainkan juga sebagai unsur yang memperkaya Gereja sejagat".

Dokumentasi pribadi
info gambar

Penulis menggunakan referensi ajaran Katolik, sebab status penulis saat ini adalah rohaniwan Katolik. Penulis, sejak awal pembinaan sebagai rohaniwan, telah diajarkan untuk tidak menolak inkulturasi dalam Gereja, sebab Gereja sendiri tidak anti pada inkulturasi budaya.

Inkulturasi musik, misalnya, dalam Gereja Katolik memiliki tujuan (memperdalam isi iman Katolik di atas) membantu umat untuk menyanyikan teks-teks liturgi dengan alunan dan kekhasan musik daerah. Sehingga, dengan mutu musik, iman umat dimantapkan untuk menghayati keagungan dan keanggunan liturgi.

Satu lagi, liturgi yang penulis maksudkan adalah perayaan misteri keselamatan Allah bagi manusia yang dilakukan oleh Yesus Kristus bersama Gereja-Nya dalam ikatan dengan Roh Kudus. Liturgi dalam Gereja Katolik berupa sakramen, sakramentali, dan ibadat suci, serta ibadat harian.

Dalam liturgi tersebut, inkulturasi alat musik tradisional dapat digunakan. Dengan catatan, alat musik tidak menjadi alat pengiring yang utama. Organlah (pipe atau elektrik) yang utama. Alat musik tradisional tidak menggantikan tempat organ dalam iringan nyanyian dan lagu-lagu liturgi.

Penggunaan alat-alat musik tradisional dalam liturgi dapat menambah kemeriahan dan warna adat Toba. Biasanya, perpaduan alat musik tradisional dengan organ membuat feel budaya dan iman menjadi agung.

Hal ini wajar. Orang Jawa, misalnya, akan merasakan liturgi lebih sakral, jika dalam liturgi dimainkan alat-alat musik tradisional Jawa. Feel budaya dapat memantapkan penghayatan iman orang Jawa apalagi, jika alunan alat musik dimainkan dengan tepat dan rapi serta serasi. Demikian pula dengan Toba.

Pelestarian budaya

Selain inkulturasi, pelestarian budaya adalah salah satu alasan. Sebab, makin tahun, perhatian pada alat musik tradisional Toba mulai memudar. Meski, masih ada orang-orang yang melestarikannya.

Kehadiran alat-alat musik modern dapat menggeser eksistensi alat musik Toba. Ini bukanlah fatamorgana atau cerita sedih belaka.

Maka, "sambil menyelam minum air"; sembari menggiatkan inkulturasi budaya, sembari melestarikan unsur budaya Toba.

Dan ternyata, hingga kini, di kalangan religius/rohaniwan Katolik yang tinggal di daerah Sumatera Utara, pelestarian unsur budaya tersebut masih kuat.

Para calon pastor (baca: frater), suster, anak-anak seminari (baca:seminaris), bahkan awam masih (cukup) sering menggunakan alat musik tradisional Toba dalam perayaan liturgi. Apalagi, di daerah Sumatera Utara, bahasa yang digunakan dalam liturgi ada Batak Toba, sehingga feel liturgi semakin berasa.

Di komunitas kami (Biara Kapusin Santo Fransiskus Assisi Jl. Medan Km, 5.6 Pematang Siantar), para frater masih semangat melatih alat musik tradisional serta memadukannya dengan iringan organ elektrik dalam Perayaan-perayaan liturgi, seperti Ekaristi dan ibadat biasa.

Dalam perayaan-perayaan penting Gereja Katolik (seperti Hari Raya Natal, Paskah, dan Hari Minggu Biasa), para frater berkreasi dalam inkulturasi musik liturgi. Puji Tuhan atas berita ini!

Penulis yang memiliki minat dalam alat musik tradisional Toba juga ikut dan turut mengambil peran di dalamnya. Penulis hadir untuk memberi koreksi kepada teman-teman frater dalam memadukan alat-alat musik tersebut, agar tidak menyalahi aturan liturgi.

Sekali lagi, alat musik tradisional bukan yang utama. Agar, orientasi dan rasa (sensus) liturgi tidak melenceng dan rusak oleh permainan kolaborasi, melainkan anggun, agung, rapi, dan serasi.

Pemakain gondang dan ogung dalam liturgi | Foto: Dokumentasi pribadi
info gambar

Tidak hanya liturgi

Pelestarian alat musik tradisional tidak sebatas dalam perayaan liturgi. Penulis, pada 2021-2022, diberi kepercayaan untuk melatih calon-calon frater tentang teori dan cara memainkan alat musik tradisional seperti gondang, sulim, dan hasapi.

Penulis memotivasi mereka untuk pertama sekali cinta budaya lewat alat musik. Sebab, itu adalah harta yang mahal harganya.

Hal kedua adalah keterampilan dan skill mereka dalam menguasai minimal satu alat musik tradisional. Dan, hal ketiga adalah kelak, mereka menjadi pelestari berikutnya.

Ternyata, bukan hanya calon frater suku Toba yang antusias. Calon dari suku Simalungun, Karo, Nias, dan Flores bersemangat untuk belajar dan berlatih.

Untuk itu, penulis mengoordinir mereka untuk tampil dalam acara sederhana di komunitas dan Gereja (di luar liturgi). Paling tidak, untuk acara rekreasi dan pesta, komunitas tidak perlu menyewa pemusik dan alat musik dari luar.

Penggunaan sulim (seruling)
info gambar

Penutup

Menurut penulis, hal sederhana seperti itu sudah menjadi satu usaha dalam melestarikan kebudayaan dari unsur-unsur yang ada. Penulis berharap agar, Kawan GNFI tertarik dan peduli pada kelestarian budaya masing-masing.

Seperti halnya dalam Gereja Katolik, jika inkulturasi budaya diberi izin dengan norma-norma yang ada, silakan unsur-unsur budaya digunakan. Hal ini tentu, selain memperdalam rasa religiusitas, juga menjadi sarana pelestarian unsur budaya.

Demikian kisah dan pengalaman nyata penulis dalam melestarikan unsur-unsur kebudayaan. Khususnya, pelestarian penggunaan alat musik tradisional dalam perayaan liturgi Gereja. Semoga bermanfaat.

Referensi tulisan:

https://www.detik.com/sumut/budaya/d-6591026/11-jenis-alat-musik-suku-batak-sering-dimainkan-saat-upacara-adat

https://www.imankatolik.or.id/memahami-dan-menjalankan-inkulturasi-secara-benar.html

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini