Maelo Pukek, Tradisi Turun-Temurun Nelayan di Kota Padang

Maelo Pukek, Tradisi Turun-Temurun Nelayan di Kota Padang
info gambar utama

Indonesia merupakan negara yang kaya akan tradisi turun-temurun dari nenek moyangnya. Tradisi tersebut tersebar mulai dari Sabang hingga Merauke. Salah satu tradisi nenek moyang yang masih eksis hingga hari ini adalah Maelo Pukek. Maelo Pukek merupakan tradisi yang berasal dari Minangkabau. Didalam Bahasa Minang, Maelo berarti "menarik" dan Pukek berarti "pukat". Jadi Maelo Pukek dapat diartikan sebagai suatu tradisi atau budaya yang memerlukan sekelompok orang untuk mengambil ikan dari bibir pantai.

Tradisi ini sudah ada sejak tahun 1940-an dan diwariskan secara turun-temurun kepada setiap generasi. Khusunya di Kota Padang, tradisi Maelo Pukek masih digunakan saat ini oleh nelayan dalam menagkap ikan. Biasanya, sebelum melakukan Maelo Pukek, para nelayan disepanjang pantai akan menyebarkan Pukek tersebut ke arah laut hingga jarak 1.200 meter dari bibir pantai.

Dalam menyebarkan Pukek, para nelayan akan menggunakan perahu yang berisi pukek sepanjang dua meter. Setelah jaring Pukek disebar, para nelayan akan kembali dari tengah laut dan menunggu selama satu jam. Sembari menunggu Pukek, nelayan-nelayan yang sudah menunggu dibibir pantai akan mempersiapkan tali yang dikaitkan ke pinggang untuk menarik Pukek dari pinggir pantai.

Setelah menunggu selama satu jam, nelayan akan menarik Pukek secara bersama-sama dari dua sisi, yaitu kanan dan kiri. Biasanya, ketika menarik jaring Pukek ke arah pinggir pantai memerlukan delapan hingga sepuluh orang. Orang yang menarik Pukek ini dinamakan dengan Paelo Pukek. Waktu yang diperlukan untuk menarik jaring Pukek, terkadang membutuhkan waktu selama satu setengah jam. Setelah Pukek berhasil ditarik ke pinggir pantai, para nelayan akan langsung membentuk lingkaran dan membersihkan jaring Pukek dari sampah yang menyelimuti jaring tersebut.

Dari hasil tangkapan Maelo Pukek, para nelayan biasanya mendapatkan ikan yang bervariasi, mulai dari Ikan Maco, Ikan Gambolo dan Ikan Baledang. Namun, terkadang hasil tangkapan juga berupa kepiting, udang dan bulu babi. Ikan-ikan tersebut nantinya akan dijual kembali oleh para pengepul yang sudah menunggu ditepi pantai. Tak jarang ada pengunjung yang langsung membeli hasil tangkapan tersebut. Kegiatan Maelo Pukek biasanya dilakukan saat cuaca sedang baik. Dalam sehari, Paelo Pukek mampu menarik Pukek sebanyak dua kali. Namun ketika cuaca mendung dan hujan, Maelo Pukek bahkan tidak bisa dilakukan. Tidak hanya itu saja, Maelo Pukek tidak bisa dilanjutkan jika Pukek yang sedang tarik ke pinggir pantai tersangkut akibat besi dan kayu-kayu dibawah laut. Hal tersebut akan membuat Pukek menjadi rusak dan ikan yang awalnya terjaring akan lepas begitu saja.

Hal yang sangat disayangkan adalah para nelayan biasanya hanya mendapatkan banyak sampah dibandingkan ikan yang terjaring pada Pukek. Kendati demikian, hal ini tersebut tidak menyurutkan para nelayan untuk tetap menggunakan tradisi ini dibandingkan harus menggunakan bahan peledak yang dapat menganggu ekosistem laut. Maelo Pukek tidak hanya sebatas kegiatan menangkap ikan saja, namun juga dijadikan sebagai wisata yang mampu menarik wisatawan untuk melihat kegiatan ini. Walaupun di era-modern sekarang, ada banyak berbagai pilihan cara menangkap ikan, namun Maelo Pukek tidak akan pernah hilang. Maka dari itu pentingnya pemerintah untuk ikut serta dalam melestarikan tradisi ini, agar nantinya tidak punah dan hilang begitu saja. Pemerintah harus bisa memanfaatkan tradisi seperti ini untuk membuat wisata di Kota Padang lebih dikenal lagi di kancah internasional.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

VF
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini