Terancamnya tradisi Punen Panunggru: prosesi pemanggilan arwah di Pulau Siberut

Terancamnya tradisi Punen Panunggru: prosesi pemanggilan arwah di Pulau Siberut
info gambar utama

Mentawai merupakan bagian dari Provinsi Sumatera Barat, yang terletak di bagian barat lepas Pulau Sumatera. Merujuk data dari BPS Kabupaten Kepulauan Mentawai dalam rentang tahun 2018-2020, bahwa terdapat jumlah 92 pulau yang mencakup gugusan empat (4) pulau-pulau besar dan delapan-puluh-delapan (88) pulau-pulau kecil. Empat pulau-pulau besar tersebut diantaranya Kepulauan Siberut, Kepulauan Sipora, Kepulauan Pagai Utara dan Kepulauan Pagai Selatan. Setiap pulau-pulau tersebut menyimpan berbagai keindahan alam yang dapat menarik wisatawan dalam negeri maupun mancanegara untuk berwisata ke tanah sikerei nan indah ini, seperti setiap pulau menyuguhkan hamparan pantai-pantai yang menakjubkan maupun ombak menawan yang menjadi spot surfing. Disamping itu setiap pulau-pulau tersebut juga kaya akan keanekaragaman kebudayaan yang diwariskan secara turun temurun dari nenek moyang mereka masyarakat asli suku mentawai, namun keberadaan nya mulai tergerus oleh peradaban akibat faktor kebijakan pemerintah masa lalu maupun pengaruh globalisasi. Salah satu kebudayaan asli suku mentawai yang akan terancam tersebut ialah tradisi Punen Panunggru di Pulau Siberut.

Di dalam tradisi kebudayaan Suku Mentawai dikenal adanya dua jenis peristiwa kematian yakni peristiwa kematian "simaeru" dimana meninggalnya seseorang disebabkan sakit keras yang tak dapat disembuhkan. Selain itu ada pula penamaan dengan istilah "sikatei", hal ini dipergunakan bilamana meninggal secara mendadak tanpa terperkirakan (tenggelam di laut, tertimpa oleh pohon maupun kasus-kasus tragis lainnya). Di Pulau Siberut, masyarakat suku Mentawai memiliki tradisi unik dalam menghadapi kematian. Mereka percaya bahwasannya meskipun telah meninggal, arwah-arwah yang telah meninggal masih dapat berinteraksi atau berhubungan dengan dunia orang yang masih hidup, terkhusus apabila masih ada memiliki hubungan famili/keluarga. Untuk mengatasi ketakutan dan rasa kehilangan yang berkepanjangan, mereka mengadakan suatu upacara yang disebut "punen panunggru." Selama masa berkabung, keluarga yang ditinggalkan akan melakukan beberapa tradisi simbolis, seperti melepas perhiasan manik-manik yang biasanya mereka pakai sehari-hari, tidak mengenakan pakaian bagus, dan melakukan pemotongan beberapa helai rambut atau bagian dari sampan. Hal ini dilakukan sebagai tanda bahwa mereka merasa kehilangan secara mendalam terhadap keluarganya yang telah meninggal.

Punen Panunggru merupakan upacara penting bagi suku Mentawai terutama di Pulau Siberut yang mana sebagai tanda berakhirnya masa berkabung dan sebagai tanda perpisahan abadi antara arwah yang telah meninggal dengan keluarga yang ditinggalkannya, dengan dipimpin oleh seorang dukun khusus, yang disebut sikerei, yang mengenakan atribut pakaian adat lengkap dengan cawat. Sikerei akan terlebih dahulu memulai dialog khusus dengan arwah almarhum dengan menanyakan alasan mengapa almarhum meninggal serta menyampaikan pesan-pesan penting kepada anak-anak dan anggota keluarga yang masih hidup. kemudian, memisahkan dan menyerahkan pakaian-pakaian maupun barang-barang kesayangan selama almarhum masih hidup di dunia kepada arwah yang telah meninggal tersebut (bukan barang secara fisik tapi secara roh). Pelaksanaan ritual ini sebagai pemisahan jiwa yang sudah meninggal dengan keluarga yang masih hidup serta penyerahan barang-barang yg dimiliki si arwah tersebut dilakukan untuk digunakan si arwah di kehidupan berikutnya. Apabila ritual ini tidak dilaksanakan maka arwah tersebut akan selalu meng-gentayangi atau meng-hantui rumah keluarganya yang masih hidup, yang mengakibatkan keluarganya akan mengalami sakit-sakit. Banyak persiapan yang harus dipenuhi untuk mempersiapkan ritual ini, yaitu setiap anggota keluarga memiliki pembagian tugas masing-masing berdasarkan jenis kelamin yang mana harus menyediakan segala hal yang berasal dari alam, seperti ayam, babi, dan kayu bakar menjadi tugas laki-laki, sedangkan perempuan menyiapkan sagu, keladi, kelapa dan bambu.

Tradisi Punen Panunggru ini sarat akan nilai magisnya dan sangat berkaitan dengan sistem kepercayaan suku mentawai yakni kepercayaan Arat Sabulungan. Dalam arat sabulungan, masyarakat suku mentawai percaya bahwa benda-benda dari alam memiliki roh dan jiwa. Disamping itu, setiap ritual yang mereka lakukan selalu menggunakan daun-daun yang dipercaya daun-daun tersebut dapat menjadi perantara kepada Sang Pencipta dengan sebutan "Ulau Manua". Namun, seiring berjalannya waktu kepercayaan ini mulai berkurang penganutnya akibat dari kebijakan pemerintah masa lalu yang berdampak pada terancamnya kebudayaan tradisi Punen Panunggru. Pada tahun 1954, pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan No.167/PROMOSI/1954 yang mana berisi bahwa masyarakat suku mentawai harus meninggalkan kepercayaan Arat Sabulungan serta memilih dan menganut agama resmi yang diakui pemerintah pada waktu itu ( Islam, Protestan, Khatolik, Hindu dan Budha). Pemerintah pada masa itu menilai bahwa arat Sabulungan merupakan Agama atau kepercayaan yang sesat, yang mana pemerintah hanya mengakui 5 agama resmi saja. Apabila masih ada masyrakat suku mentawai yang tidak menaati kebijakan tersebut maka pemerintah akan menindak tegas dengan melakukan pemusnahan terhadap segala hal yang berkaitan dengan kepercayaan arat sabulungan tersebut serta melakukan penangkapan sikerei-sikerei. Disamping itu dengan adanya pengaruh globalisasi yang semakin merajalela saat ini juga dapat mengancam tradisi Punen Panunggru ini. Hal ini mengancam karena generasi muda suku mentawai sebagai penerus bangsa di mentawai menganggap tradisi ini kuno yang tidak sesuai dengan zaman modern saat ini dan juga menilai kebudayaan luar lebih menarik ketimbang budaya sendiri seperti budaya korean wave dan westernisasi yang lebih diminati kalangan muda saat ini.

Referensi

1.https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?newdetail&detailCatat=12113

2. Mulhadi.(2008).KEPERCAYAAN TRADISIONAL “ARAT SABULUNGAN” DAN PENGHAPUSANNYA DI MENTAWAI. JURNAL EQUALITY, Vol. 13 No. 1 Februari 2008

3. https://id.wikipedia.org/wiki/Arat_Sabulungandiakses pada tanggal 2 November 2023

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan. Artikel ini dilengkapi fitur Wikipedia Preview, kerjasama Wikimedia Foundation dan Good News From Indonesia.

YS
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini