Menitipkan Kelestarian Budaya Kepada Pelajar Indonesia Melalui Program S3K

Menitipkan Kelestarian Budaya Kepada Pelajar Indonesia Melalui Program S3K
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbunguntukMelambung

Kegelisahan Akan Kelestarian Budaya Dimasa Depan

Nama saya Atiya, salah seorang guru salah satu SMK di Jember, Jawa Timur. Bertatap muka dengan ribuan peserta didik dari Gen-Z membuat saya memahami apa yang mereka suka, apa yang akan mereka pilih dan apa yang akan dilakukan. Bukan rahasia lagi jika Gen-Z merupakan generasi yang selalu terhubung dengan dunia maya dan dapat melakukan segala sesuatunya dengan menggunakan kecanggihan teknologi yang ada.

Saya meyakini bahwa sebuah generasi dibentuk oleh cara mereka tumbuh. Gen-Z yang menjadikan gadget pegangan sejak kecil, maka tak heran jika mereka secara otomatis mengenal teknologi dan dunia maya. Tentu hal tersebut begitu berpengaruh pada perkembangan kehidupan dan kepribadian.

Memang nyata adanya jika karakter Gen-Z lebih beragam, bersifat global, serta memberikan pengaruh pada budaya dan sikap masyarakat kebanyakan. Bahkan Gen-Z dilabeli sebagai generasi yang minim batasan (boundary-less generation). Semua tahu bahwa generasi anak didikku ini mendapatkan stigma negatif yang berbunyi “generasi yang manja, sukanya serba instan dan gampang menyerah.”

Berangkat dari kegelisahan tersebut, saya mulai mencemaskan bagaimana agar anak didikku mau mengenal budaya Indonesia yang mereka anggap kurang kekinian? Bagaimana jika kaum milenial sepertiku nanti sudah tiada? Siapa yang akan mempertahankan keunikan dan keetnikan budaya bangsa yang begitu kaya? Saya merenung begitu lama. Dan pada akhirnya saya tergerak untuk berpartisipasi melestarikan budaya dengan kapasitas menjadi guru. Yakni menggerakkan anak didik sesuai dengan bakat dan minat mereka. Kemudian lahirlah Program S3K (Satu Siswa Satu Kebudayaan).

Program S3K (Satu Siswa Satu Kebudayaan) Dalam Aksi Nyata

Program S3K (Satu Siswa Satu Kebudayaan) merupakan program yang dirancang dengan konsep berdiferensiasi dalam merdeka belajar. Dimana satu siswa diberi kebebasan untuk memilih salah satu kebudayaan dari sekian banyaknya untuk mereka pelajari dan pahami dengan baik. Seperti yang terjadi di kelas yang saya ampu, ada peserta didik yang tertarik dengan tarian Lahbako asal Jember, ada yang tertarik dengan Mocoan dari Banyuwangi, dan ada yang ingin mendalami reog yang identik Ponorogo.

Dari kebebasan itu, siswa merasa dipercaya untuk memilih kebudayaan mana yang menarik minat mereka. Dan untuk selanjutnya, antar siswa dilakukan sesi sharing kebudayaan dimana dalam momen tersebut mereka harus menyajikan kebudayaan yang mereka riset sebelumnya. Dalam bertukar informasi dan wawasan tersebut, siswa lagi dan lagi diberi kebebasan untuk menyajikan hasil penelitian mereka dalam bentuk apapun yang mereka minati.

Dari aksi nyata yang ada di lapangan, anak didikku dengan kreatif dan inovatif menyuguhkannya dalam bentuk yang beraneka ragam. Ada yang berbentuk video konten, poster, infografis, puisi, podcast dan lainnya. Memang tujuan utamanya agar siswa mau mengenal, mempelajari, lebih-lebih melestarikan kebudayaan di Indonesia. Namun, pembiasaan dalam program S3K (Satu Siswa Satu Kebudayaan) pada dasarnya untuk mendekatkan Gen-Z pada kebudayaan karena saya meyakini “witing tresno jalaran soko kulino (cinta hadir karena terbiasa)”. Tentu harapannya dari kebiasaan positif tersebut timbul rasa cinta hingga suka rela untuk melestarikannya untuk Indonesia.

Melestarikan Budaya Dengan Bahagia Dan Menyenangkan

Program S3K (Satu Siswa Satu Kebudayaan) disesuaikan dengan karakter Gen-Z atau siswa, yang merasa bahagia ketika belajar dengan cara yang menyenangkan. Hal tersbeut menjadi harapan Ki Hadjar Dewantara dalam pemikirannya yang berbunyi “pendidikan adalah serangkaian proses untuk memanusiakan manusia.” Oleh karenanya, guru terbaik selalu mengajar penuh cinta dan kasih sayang terhadap muridnya.

Bagi saya, pendidik ibarat sumber energi positif bagi anak didik. Jika energi yang ditransfer oleh pendidik positif, maka yang diterima siswa pun positif. Sama halnya dengan petani yang merawat tanaman, baik atau tidaknya tergantung tangan atau perlakuan petani tersebut. Begitu pun dengan murid, bahagia dan tidaknya mereka tergantung bagaimana pendidik memperlakukan siswanya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AM
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini