Obros: Karya Seni Islami Pemersatu Masyarakat Magelang

Obros: Karya Seni Islami Pemersatu Masyarakat Magelang
info gambar utama

Kesenian Obros adalah kesenian yang berkembang di Dusun Petugan, Desa Jebengsari, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang. Pertunjukannya dilakukan oleh 21 orang penari, 3 orang penyanyi dan seorang penari anak-anak penunggang kuda properti yang digunakan. Obros menggunakan pola-pola gerak tradisi rakyat yang bertumpu pada gerak kaki.

Obros merupakan perkembangan dari kesenian rodhat yang dibentuk berpegang pada idiom-idiom keislaman yang tercermin dalam elemen-elemen artistik. Ia menggunakan kostum jubah dengan ikat kepala ala Timur Tengah, menggunakan kumis lebat tiruan, berkacamata, menggunakan sarung tangan, selempang, tasbih besar, sabuk, bercelana panjang, dan bersepatu. Karena bentuk ekspresi kebanyakan diikuti oleh para pemuda, bergerak di bidang kesenian dengan mengedepankan semangat berolah tubuh, maka sebagai sebuah kesatuan, Obros merupakan singkatan dari Organisasi Bersama Olah Raga dan Seni.

Elemen Artistik

Presentasi kesenian Obros tidak disajikan melalui rangkaian gerak, sajian musikal maupun elemen artistik yang rumit dan memerlukan teknik tinggi. Sajian Obros mayoritas menggunakan teknik lompatan kaki dengan pola sederhana dan berulang. Pilihan bentuk ini tidak muncul dari ruang hampa, tapi berdasar pada gerak langkah keprajuritan (pasukan Diponegoro) yang menjadi dasar ide penciptaan. Pada saat yang sama, secara tidak langsung teknik ini juga terpengaruh bentuk sajian kesenian jathilan, kuda lumping yang juga berbasis keprajuritan, yang banyak terdapat di wilayah Magelang. Obros menjadi presentasi identitas yang berangkat dari ide-ide dan hal-hal riil, dekat dan ada di wilayah Magelang.

Desain musik yang ada dalam pertunjukan Obros menjadi pola ritmis dengan desain dramatik terkait dengan ritme, melodi dan harmoni, yang memberi perasaan kuat dari kesatuan sajian. Pola irama yang digunakan dalam kesenian Obros,yang mengesankan desain dramatik sebuah pementasan:

  • Pembukaan, penari masuk diawali dengan lagu solo sebagai doa sekaligus sebagai tanda bahwa pementasan akan segera dimulai
  • Salamunan, bagian berikutnya berisi ucapan selamat datang bagi para penonton
  • Yamahadiman, berisi inti cerita babak pertama yang menggambarkan kegiatan para pemain Obros yang sedang gladi olah tubuh dan keprajuritan
  • Nasionalan, berisi lagu bertempo lebih cepat untuk menggugah semangat/meninggalkan kesan bagi penonton untuk mengingat pementasan sementara penari mengakhiri babak.

Alat musik Obros berupa instrumen jedhor (sejenis beduk berukuran lebih kecil), ketipung dhodhok (alat musik seperti kendang kecil, berfungsi sebagai penentu beat) dan kempling (dengan suara musik seperti alunan rebana) serta tembang/lagu dari penyanyi.

Sementara kata-kata yang diucapkan dalam kesenian Obros menjadi bagian dari seni sastra yang berfungsi memperjelas dan mempermudah berkomunikasi dengan lingkungannya, selain menambah dan mencipta suasana yang dilukiskan dalam tari. Setiap babak Obros menggunakan nyanyian berbahasa Arab, bahasa Jawa dan berbahasa Indonesia. Tembang-tembang sholawatan, dolanan anak (seperti Ilir-ilir) serta Bangun Pemuda-pemudi, Dari Sabang sampai Merauke dan lagu-lagu nasional lain dibawakan sebagai lagu pengiring. Dalam jeda juga digunakan perintah baris-berbaris dan yel-yel ala barisan tentara.

Yang menarik dari Obros adalah refleksi figur Diponegoro mewakili keberpihakan pada rakyat kecil yang menjadi korban penjajahan kemudian mempresentasikan keberanian, semangat perjuangan yang dilandasi kebenaran yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan universal ditransformasikan dalam bentuk kesenian. Seperti diketahui bahwa dalam perjuangannya, Diponegoro bergerilya di sekitaran Bukit Menoreh di wilayah Kabupaten Magelang.

Referensi tematik yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan semacam ini yang ditransformasikan dalam Obros. Sebuah properti pementasan berupa kuda putih buatan mengartikan banyak hal. Dengan ditunggangi seorang anak kecil, ia akan muncul di bagian tengah pementasan, dan berkeliling seakan mempersiapkan dan memimpin barisan setelah para prajuritnya selesai berlatih dan bersiap. Anak kecil dan kuda putih sebagai simbol perjuangan yang dilandasi kesucian adalah idiom yang dikenal akrab oleh warga setempat (ada patung kuda yang ditunggangi Diponegoro di alun-alun pusat kota Magelang). Ia mengartikan sebuah nilai sosok figur yang mempunyai integritas tinggi khususnya bagi warga sekitar.

Seni dan Simbol

Susanne K. Langer mendefinisikan seni sebagai kreasi bentuk-bentuk simbolis berfungsi membuka dimensi roh batiniah manusia sehingga terwujudlah suatu korespondensi/korelasi dengan segi-segi realitas tertinggi sehingga tumbuh berkembanglah pengertian rohaninya. Dalam konteks kesenian Obros, sebelum pementasan, dilakukan ritual slametan dengan menggunakan tumpeng, bubur merah putih dan segelas air putih dimana seluruh anggota pementasan bergabung, melingkar dan menghadap ke barat (simbolisasi kiblat bagi umat Islam) memanjatkan doa memohon keselamatan dan kelancaran acara kepada Allah dipimpin oleh seorang anggota kelompok kesenian Obros yang dituakan secara agama.

Dengannya, pada dasarnya kesenian Obros adalah kebutuhan hidup yang mengandung manfaat baik dari segi muatan maupun fungsinya. Pada aspek muatan, seni dapat menyampaikan piwulang nasehat, kritik, ceritera tentang kebenaran dan kebaikan. Dari fungsi sosialnya ia dapat menciptakan kesadaran paling efektif untuk mencapai derajat kemanusiaan yang lebih baik. Tari merupakan media komunikasi yang di dalamnya terkandung spirit akan identitas yang merupakan perwujudan dari suatu filosofi, nilai dan bentukan sejarah, serta tradisi dan budaya tertentu. Seperti fungsinya dalam upacara keagamaan Islam seperti Syawalan, Mauludan serta pada hajad seseorang seperti khitanan. Artinya membawa ajaran Islam yang tercermin dalam unsur-unsur pertunjukannya.

Iringan musik Obros yang mencampur ungkapan berbahasa Jawa, doa Islami berbahasa Arab dan kalimat berbahasa Indonesia menciptakan idiom khas lirik dalam iringan kesenian Obros yaitu ya Omma, ya Obros… ya Omma itu sendiri mengacu pada Umar bin Khattab, sahabat Nabi Muhammad SAW yang pemberani dan setia. Nama “Umar” dikontekstualisasikan dengan cara pengucapan lidah orang Jawa menjadi Omma, yang kemudian ditempatkan menjadi bagian lirik kesenian Obros. Ditambah ritme musikalnya yang keras, kuat, agresif namun teratur, hal ini menciptakan kesan bersemangat dan tekad kuat untuk berdoa dan berjuang dalam konsep Islami.

Refleksi

Pada akhirnya kesenian Obros tidak terlahir dari kehampaan budaya, tapi merupakan penghayatan terhadap kehidupan yang dilakukan dengan kesadaran sebagai sebuah wujud doa. Obros mempunyai posisi, fungsi dan pemaknaan yang lekat dengan kebutuhan akan estetika, etika, identifikasi, komunalitas dan religiusitas, untuk memahami peristiwa di dunia dengan basis nilai-nilai lahiriah dan batiniah. Dengan demikian, seni pertunjukan Obros dapat dipahami sebagai medium transformasi nilai-nilai budaya dan penguatan ikatan-ikatan sosial antarwarga masyarakat untuk mengokohkan peradaban umat manusia.

Pemahaman semacam ini harusnya mampu merekonstruksi suatu tatanan sosial masyarakat yang berlandaskan pada nilai-nilai etika-estetika, pluralisme, dan toleransi. Karena kebudayaaan adalah cita rasa, keanggunan memahami kehidupan dan titik kulminasi antara manusia dengan sebuah kekuatan pencipta. Memahami kebudayaan seperti memberikan wadah kepada jiwa manusia untuk membangun toleransi, nilai kesatriaan dan ketermilikan atas kehidupan bersama. Muaranya mampu mewujudkan konsep Islam yang “hidup”, kontekstual dan relevan dengan kekinian.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

PA
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini