Tari Kecak, Ikon Bali yang Mendunia

Tari Kecak, Ikon Bali yang Mendunia
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbung untuk Melambung

Para wisatawan yang berlibur ke Bali pasti tidak akan melewatkan untuk menonton pertunjukkan seni yang menjadi salah satu seni pertunjukkan yang menakjubkan, yaitu Tari Kecak. Tarian tradisional asal Bali ini merupakan jenis tarian paling unik karena memiliki banyak keunikan, salah satunya tidak diiringi oleh alat musik. Tari Kecak tidak hanya semata-mata menampilkan suatu tarian saja, tetapi terdapat banyak makna di balik keindahan tariannya itu. Maka tak jarang para wisatawan dari mancanegara yang penasaran dengan Tari Kecak.

Tari Kecak Bali lahir dari ide dan gagasan dua orang tokoh yaitu, I Wayan Limbak, seorang penari Bali, bersama dengan Walter Spies, seorang pelukis kebangsaan Jerman. Sekitar tahun 1920-an, sebelum Walter Spies datang ke Bali, I Wayan Limbak sudah berinovasi dalam bidang seni tari. Dia memasukkan unsur gerakan tari baris (tarian perang) ke dalam tari yang menjadi cikal bakal Tari Kecak. Keduanya kemudian berkolaborasi dan berinisiatif untuk mengambil serta memodifikasi beberapa komponen tari Sang Hyang, yang merupakan sebuah bentuk kegiatan adat untuk menolak bala, untuk menciptakan Tari Kecak. Hingga akhirnya sekitar tahun 1930-an, Tari Kecak mulai diperkenalkan.

Perjalanan panjang harus dilalui I Wayan Limbak, sampai akhirnya Tari Kecak bisa mendunia. Berdasarkan situs Baliilu.com, awalnya I Wayan Limbak membawakan Tari Kecak bersama dengan kelompok Cak Bedulu. Kelompok tari ini hanya beranggotakan 40 orang yang diundang oleh Walter Spies untuk menggelar sebuah pertunjukkan, yang ditonton oleh tamu dari Jerman. I Wayan Limbak kemudian melakukan beberapa pentas di Bali hingga ke luar negeri untuk menggelar tur. Berkat usahanya tersebut, Tari Kecak pada akhirnya mendunia.

Di Bali, agama Hindu menjadi agama mayoritas penduduknya. Tari Kecak memiliki pengaruh kuat dari agama Hindu, karena seringkali dijadikan sebagai bagian dari upacara keagamaan dan ritual, serta menjadi sarana komunikasi spiritual masyarakat dengan para dewa atau roh leluhur juga. Dalam pertunjukkan Tari Kecak cerita-cerita menjadi bagian integral dalam pertunjukkan. Salah satunya adalah cerita-cerita mitologi Hindu, seperti Ramayana, yang menggambarkan perjuangan dan kisah-kisah dewa dan dewi Hindu. Dalam cerita Ramayana, banyak memuat ajaran dan nilai agama Hindu sehingga para penonton juga bisa mempelajari hal baru tersebut. Oleh karena itu nilai religius dan budaya ini sangat berkiatan erat dengan Tari Kecak.

Bukan hanya nilai religius dan nilai budaya saja yang disorot dalam Tari Kecak. Terdapat kreativitas seni yang termuat dalam keindahan Tari Kecak, mulai dari tata rias para penari, kostum yang digunakan, dan yang lainnya. Hal ini dapat dibagi menjadi ke beberapa unsur seni, yaitu seni drama, seni musik, dan seni rupa.

Penggambaran kisah Ramayana menjadi sebuah unsur drama yang meramaikan pertunjukkan Tari Kecak. Ramayana merupakan cerita mitologi Hindu, yang mengisahkan penculikan Dewa Sinta oleh Rahwana. Lalu Rama berupaya membebaskan Dewi Sinta dengan berbagai cara, salah satunya meminta bantuan Dewa Hanuman. Penari-penari dalam Tari Kecak menggunakan gerakan tubuh dan ekspresi muka untuk menceritakan kisah tersebut. Walaupun tidak ada dialog yang diucapkan, tetapi melalui intonasi suara, cerita dapat tersampaikan.

Tidak seperti tari-tari lainnya yang menggunakan alunan musik untuk mengiringi tarian, Tari Kecak dimainkan tanpa adanya lantunan bunyi alat musik seperti gamelan. Penari Tari Kecak hanya fokus berteriak “cak” sembari mengangkat kedua tangannya. Suara mereka layaknya paduan suara yang menciptakan nuansa energik. Suara yang cukup keras dari gelang kerincing yang dipakai di area kaki dan pergelangan tangan para penari pria juga mampu mengiringi alunan musik dalam Tari Kecak. Tari ini dibawakan oleh 50-60 orang penari pria bertelanjang dada yang duduk melingkar mengelilingi api.

Unsur seni rupa dalam Tari Kecak dapat dilihat dari kostum tradisional dan topeng yang digunakan oleh pemeran Hanoman, Sugriwa, dan Rahwana. Tata rias yang digunakan serta bunga kamboja yang diselipkan di daun telinga para penari juga mempertegas dalam unsur seni rupa. Untuk penari-penari pria, mereka hanya menggunakan selendang hitam putih dengan motif kotak-kotak sebagai celananya. Walaupun sederhana, kostum yang mereka kenakan tetap indah.

Pertunjukkan Tari Kecak selalu memukau para wisatawan untuk menjadikan Tari Kecak sebagai salah satu destinasi yang tak akan dilewatkan jika datang ke Bali. Diadakannya di lokasi yang indah juga menjadi poin plus ketika wisatawan menyaksikan pertunjukkan seni tersebut. Dengan kehadiran wisatawan, ini menciptakan pengaruh yang kuat dalam mempromosikan budaya Bali di kancah global. Wisatawan yang menonton pertujukkan ini dapat mengalami budaya Bali dan memiliki pemahaman yang lebih baik tentang budaya, nilai-nilai, serta agama Hindu yang mendominasi pulau ini. Sehingga kelestarian budaya Bali ini dapat tetap terjaga.

Kehadiran wisatawan bisa mendatangkan dampak negatif. Dalam beberapa kasus, komersialisasi Tari Kecak dapat mengubah karakter aslinya dan mengorbankan aspek-aspek budaya demi daya tarik wisatawan. Selain itu, kehadiran wisatawan asing dan pengaruh globalisasi dapat memengarui budaya lokal. Hal ini dapat menyebabkan penyesuaian atau perubahan dalam tarian dan cerita yang ditampilkan.

Di samping dampak negatif, tentunya ada dampak positif juga. Kehadiran banyak wisatawan yang menonton pertunjukkan Tari Kecak meningkatkan pendapatan perekonomian di daerah tersebut dalam sektor pariwisata dari tiket masuk yang dibayarkan. Hini tentunya membuka lapangan pekerjaan kepada banyak orang, termasuk para penari, penjual tiket, pemandu wisata, dan pedagang souvenir di sekitar lokasi pertunjukkan.

Pandemi Covid-19 yang terjadi 2020 lalu mengakibatkan destinasi wisata termasuk Tari Kecak sempat ditutup, karena peraturan pembatasan dan penutupan tempat wisata. Made kepada Kompas.com, dalam acara Partisipasi Traveloka dalam G20 Tourism Working Group di Bali, mengatakan bahwa destinasi Uluwatu Tari Kecak baru dibuka 21 Oktober 2021, jadi penonton yang datang masih sangat sedikit. Kehilangan wisatawan, yang merupakan audiens utama, berdampak besar bagi pendapatan. Pandemi ini mengakibatkan kehilangan pendapatan yang besar bagi para penari dan kelompok seni yang mengandalkan pendapatan dari pertunjukkan Tari Kecak.

Dampak pandemi Covid-19 juga dapat dilihat dari aspek lainnya. Pandemi mengganggu latihan pengajaran Tari Kecak karena terpaksa ditunda atau dibatalkan. Hal ini berdampak pada generasi muda yang sedang belajar seni ini dan berpotensi mengurangi kualitas dan warisan seni pertunjukkan.

Diperlukan kesadaran para masyarakat untuk mengenal lebih dalam Tari Kecak yang diciptakan oleh dua tokoh hebat. Budaya Bali ini seharusnya bisa semakin dikenal karena keunggulan dan keunikannya yang tak perlu diragukan. Bukan hanya sebagai pertunjukkan yang menonjolkan unsur seninya saja, tetapi terdapat unsur cerita kuno dan nilai keagaaman dalam Tari Kecak. Tak mengherankan, jika Tari Kecak ini menjadi daya Tarik para wisatawan yang datang ke Bali.

Yovinka Limarta, Siswi SMA Trinitas

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

YL
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini