Tradisi Kuliner Kita Perlu Kita Lengkapi Dengan Pemahaman Gastronomi!

Tradisi Kuliner Kita Perlu Kita Lengkapi Dengan Pemahaman Gastronomi!
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbunguntukMelambung

Indonesia memiliki berbagai macam tradisi kuliner yang kaya. Dari Sabang sampai Merauke mempunyai kekayaan kuliner yang sangat beragam. Mulai dari cara memasaknya, menyesuaikan bahan lokalnya hingga merayakan cara memakan secara sosial.

Teman saya di Cianjur contohnya, seringkali bangga dengan tradisi “ngaliwet” khas Sunda. Ngaliwet adalah menanak nasi dengan bumbu rempah seperti salam, lada, ketumbar, dan sedikit garam untuk dimakan bersama. Biasanya mereka makan bersama dalam satu lingkungan menggunakan daun pisang. Konon tradisi ini dilakukan oleh orang Sunda dulu sebagai cara mereka menghemat biaya makan. Dilansir dari GantraPriangan orang Sunda zaman lampau kebanyakan berprofesi sebagai petani dan penggarap lahan. Karena jarak yang ditempuh dari ladang ke rumah cukup jauh, maka memasak dan makan bersama khas ngaliwet menjadi kegiatan yang membantu mereka.

Begitupun di Aceh mereka memiliki tradisi memasak makan yang dilakukan satu kampung, dengan kompor besar dalam acara-acara tertentu. Salah satunya adalah tradisi memasak Kuah Beulangong. Disebut Kuah Beulangong karena proses memasaknya menggunakan kuali besar. Makanan yang disajikan khas dengan rempah Aceh yang banyak dipengaruhi oleh Arab dan India yang dipadukan dengan bumbu lokal seperti santan, cengkeh, salam, kunyit, jahe dan lada.

Nuansa makan bersama seperti di Aceh dan Sunda memiliki nilai unik. Kebersamaan dalam memasak hingga menyantapnya bersama membuat semakin hangat. Kawan GNFI tahu bahwa esensi gotong royong Nusantara memang sudah menjadi kebudayaan nenek moyang yang berharga. Juga cara mereka memanfaatkan pangan lokal menjadi ciri khas bangsa kita.

Saya jadi ingat percakapan saya dengan teman kuliah dulu di Jogja yang sekarang sudah jadi dosen filsafat di salah satu universitas terkenal di Malang. Hobi kita di semester awal kuliah adalah jalan kaki dari kos-kosan ke kampus. Bukan karena ingin sehat, tapi karena dulu kita belum punya motor.

Teman saya ini hobi makan dan jajan. Dulu kami masih polos dengan bacaan yang pas-pasan tapi sering agak sok-sokan mengkritisi banyak hal. Suatu saat sehabis jajan batagor dan siomay di pinggir jalan sembari pulang dari kampus dia berkelakar, “kenapa ya selama ini tidak ada yang menulis tentang filsafat kuliner? Padahal kuliner kita di Indonesia banyak sekali. Di Jogja ada banyak jenis makanan, belum lagi dari Jawa Tengah, Jawa Barat bahkan Sumatera yang melimpah rempah-rempahnya”.

Memang betul, literasi kita tentang kuliner sering berhenti untuk sekedar menyantap makanan saja. Kita kurang memiliki refleksi lebih untuk memikirkan apa yang kita makan kaitannya dengan sejarahnya, sosiologinya dan antropologinya.

Belum lagi dengan gempuran makanan dari luar negeri yang mempengaruhi selera masyarakat kita. Makanan Korea, Jepang dan Barat semakin banyak Kawan GNFI temui bahkan kita konsumsi. Tentu hal ini adalah sesuatu yang wajar. Mengingat banyak makanan yang ada di nusantara juga merupakan akulturasi dari banyak negeri seperti China, Arab dan India.

Dengan refleksi tentang berbagai makanan khas di Nusantara sebenarnya Kawan GNFI bisa menemukan satu titik kearifan. Bahwa selain gotong royong, orang dulu punya kebijaksanaan untuk memanfaatkan bahan lokal sebagai sajian kulinernya.

Dalam bukunya tentang Gastronomi, Suci Sandi Wahyuni menjelaskan masyarakat Jawa Tengah sewaktu krisis yang disebabkan tanam paksa di masa kolonial, tetap bisa bertahan dengan komoditas lokal. Saat itu Pemerintah Kolonial menerapkan kebijakan untuk menanam tebu sebagai fokus produksi perkebunan. Padi, singkong, jagung dan lain sebagainya agak dibatasi untuk ditanam sehingga membuat masyarakat mengalami krisis pangan. Mereka memanfaatkan kelebihan tebu yang diproduksi ini sebagai alternatif bahan makan. Terciptalah banyak makanan manis di sekitar Jawa Tengah sebagai bentuk mereka bertahan dari krisis di masa kolonialisme. Sampai sekarang hal ini malah menjadi ciri masakan masyarakat Jawa Tengah yaitu dominan manis.

Gastronomi secara ringkas di website Kemenparekraf adalah cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang hubungan suatu makanan dengan ilmu-ilmu yang lain seperti seni, filsafat, sosial-budaya hingga antropologi. Dalam KBBI gastronomi mempunyai makna menyiapkan hidangan lezat. Juga dapat diartikan sebagai kebiasaan masyarakat makan di suatu wilayah dengan budaya setempat.

Selama ini kita hanya mengenal ilmu tentang makanan hanya sebatas pada sisi teknisnya, seperti tata boga. Memang sudah ada jurusan teknologi pangan dan pariwisata yang juga membahas gastronomi. Tapi sepertinya gastronomi kurang dipopulerkan ke kebanyakan masyarakat kita. Malah kita hari ini sering membatasi literasi makanan kita hanya sekedar pada review food vloger atau makanan viral yang dipromosikan lewat drama korea. Agak-agaknya ilmu tentang gastronomi belum banyak dieksplorasi oleh penulis maupun konten kreator di negeri ini.

Jika pun sudah ada, hanya beberapa orang saja yang menggaungkan sehingga algoritmanya belum menyentuh sisi kesadaran netizen dari berbagai macam generasi. Bagaimana kita akan berbicara mengenai kedaulatan pangan, untuk paham tentang jenis makanan dan asal-usulnya saja kita mungkin malas.

Padahal kedepan isu yang cukup seksi karena efek dari perubahan iklim adalah krisis pangan. Bumi yang makin panas ini sedikit demi sedikit bikin saya khawatir. Tempat saya tinggal di Wonosobo yang terkenal dingin saja di bulan oktober ini jarang hujan bahkan udaranya panas sekali. Beberapa telaga di daerah atas sudah mengering. Sayur mayur terancam gagal panen. Apalagi di daerah lain seperti Purworejo, Magelang, Yogyakarta atau Jakarta.

Jika kita tidak memiliki literasi untuk memanfaatkan tanaman lokal sebagai bahan alternatif pangan, bisa-bisa kita selalu akan menggunakan jurus yang selama ini menjadi template pemerintah untuk kebijakan stabilitas pangan, yaitu impor pangan. Tentu mengimpor bukan sesuatu yang negatif, namun dengan impor lagi-lagi yang akan jadi tumbal adalah para petani lokal, mereka akan dirugikan dengan tidak adanya kepastian ekonomi bagi mereka.

Sepertinya kita perlu lebih mempopulerkan lagi ilmu ini. Bukan hanya untuk konsumsi mereka yang kuliah di jurusan Pariwisata, Teknologi Pangan maupun Pertanian saja. Tapi bahkan masuk ke kurikulum sekolah dasar hingga ke menengah. Kesadaran untuk mengetahui seluk beluk makanan sangat penting agar inovasi di bidang pangan dapat lebih merdeka. Artinya kita memiliki ilmu dan pengetahuan untuk lebih banyak memanfaatkan bahan lokal. yang tersedia

Mungkin dengan kita belajar tentang gastronomi, akan tumbuh kesadaran kita tentang bagaimana kita dapat mengoptimalkan bahan lokal menjadi pangan alternatif. Karena sebenarnya ada puluhan jenis sumber karbohidrat yang bisa tumbuh di Indonesia selain padi yang bisa kita konsumsi. Juga ada banyak sayuran dapat menjadi sumber nutrisi lain yang bisa kita manfaatkan jika pasar tidak menyediakan kelak. Dengan begitu narasi kedaulatan pangan akan menjadi realita, bukan sekedar retorika atau nomenklatur belaka.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

HW
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini