Embleg Seni Tradisi Masih Lestari

Embleg Seni Tradisi Masih Lestari
info gambar utama

#LombaArtikelPKN 2023

#PekanKebuadayaanNasional2023

#IndonesiaMelumbung untuk Melambung

Embleg sudah menjadi tontonan pada setiap acara di Kecamatan Kertek Wonosobo. Bahkan Perayaan Kemerdekaan Republik Indonesia di setiap desa ada pementasan embleg. Kesenian yang tak lekang oleh waktu meskipun modernisasi dan teknologi menggerus kebudayaan lokal. Embleg tetap menjadi pilihan utama dan tontonan wajib bagi masyarakat. Bukan hanya perayaan nasional perayaan desa seperti sedekah bumi atau merti desa, hajatan dan perayaan tradisi lainnya pasti ada tontonan embleg. Pementasan ini tidak pernah sepi penonton bahkan sampai malam pun penonton tetap bertahan sampai selesai. Semakin malam bukan semakin sepi namun malah semakin ramai.

Penggemar kesenian ini tidak hanya kaum tua saja, anak-anak dan generasi muda juga menggemari embleg ini. Di daerah Kertek banyak grup-grup kesenian yang diikuti anak-anak. Mereka dengan lincah dan lihai menari mengikuti iringan gamelan yang ditabuhkan secara langsung oleh para niaga. Embleg merupakan kesenian perpaduan antara tari kuda kepang, tari topeng dan lengger.

Merunut sejarahnya konon kesenian ini berhubungan dengan Cerita Panji. Yaitu pengembaraan Raden Panji Inu Kertapati mencari istrinya Galuh Candrakirana. Gerakan tarian ini mempunyai ritme halus, sedang hingga cepat dan penuh dengan gerakan energik/ semangat. Tarian embleg juga mempunyai urutan dalam pementasan yaitu: Kinayakan, Somyar, Gondang Keli, Rangu-rangu, Gonas games, Melik-melik, Kembang Jagung, Jangkrik Genggong, Kebo Giro, Sutang Walang, Gondosuli. Setiap tarian diiringi dengan syair yang dinyanyikan oleh para niaga dan waranggana. Para penari juga akan dilengkapi dengan topeng. Ada empat karakter dasar Topeng yaitu Alusan, Kasaran, Gagahan, dan Gecul (lucu).

Tarian embleg ini akan dipadukan dengan tari lengger. Lengger berasal dari kata “Elinga Ngger” yang artinya “ingatlah, Nak”. Ada juga yang mengatakan lengger berarti gawe geger. Hal ini berkaitan dengan pada zaman dahulu kesenian ini sebagai syiar agama Islam. Menurut masyarakat sekitar Desa Giyanti, pada masa dulu masyarakat di daerah tersebut masih jauh dari agama dan kehidupan mereka lebih dekat dengan kemaksiatan. Desa Giyanti merupakan cikal bakal lengger di Kabupaten Wonosobo. Untuk menyadarkan masyarakat pada masa itu datanglah pengikut Pangeran Diponegoro yang bernama Adipati Mertoloyo datang ke Desa Giyanti. Sang Adipati kemudian mengenalkan agama melalui kesenian lengger. Awalnya penari lengger adalah laki-laki, yang dirias seperti perempuan. Dia juga dengan luwesnya menari seperti perempuan. Keadaan ini yang menjadikan geger karena mereka menyangka yang menari adalah perempaun ternyata laki-laki. Namun selaras dengan perkembangan zaman penari lengger laki-laki digantikan oleh lenger perempuan.

Sampai sekarang penari lengger ditarikan oleh perempuan. Bahkan untuk menjadi seorang lengger melalui sebuah proses dan dilatih secara khusus mereka boleh menarikan setelah mereka diwisuda. Setiap setahun sekali di Desa Giyanti ada wisuda lengger setiap perayaan Tenongan Suran. Desa Giyanti sangat dekat dengan Kecamatan Kertek sehingga kesenian ini sangat dekat dengan masyarakat Kertek.

Kesenian Lengger pernah dianggap sebagai kesenian yang bersifat negatif karena pementasannya pada malam hari. Untuk mengembalikan citra lengger maka Kabupaten Wonosobo pementasan tari lengger secara massal yaitu lima ribu penari. Penari berasal dari berbagai kalangan dari masyarakat dan pelajar. Pementasan secara kolosal ini dalam rangka memeriahkan Hari Jadi Kota Wonosobo yang ke-193 pada tanggal 24 Juli 2018.

Kesenian emblek dan lengger ini sampai sekarang masih bertahan di wilayah Kertek dan wilayah kecamatan lainnya di Kabupaten Wonosobo. Generasi muda tidak malu untuk menarikan tari ini karena dalam jiwa mereka telah mengalir jiwa seni. Meskipun musik modern lebih menarik namun jiwa mereka telah terpanggil dan menyatu dengan seni tradisi yang ada di daerahnya. Banyak anak yang telah tergabung di grup kesenian yang ada di daerahnya. Dan mereka tidak malu untuk menarikan baik di sekolah maupun di depan masyarakat umum. Seni tradisi tak akan hilang atau punah selama generasi mudanya masih mau untuk menekuninya.

Para pelajar dari SD, SMP dan SMA masih mau mementaskan dan tidak malu menarikan kesenian tradisonal embleg. Bahkan ada beberapa pelajar yang berprofesi sebagai penari lengger dan mereka menerima tawaran tanggapan menari hanya setiap malam Minggu. Mereka merasa senang dapat menari dan menghibur banyak orang. Rasa cinta terhadap seni tradisi sudah terpupuk sejak dini, maka rasa cinta terhadap kesenian daerah akan tertanam sampai dewasa.

Di Siyono Bojasari Kecamatan Kertek terdapat perkumpulan kesenian yang diikuti oleh anak-anak dari usia 9 tahun sampai remaja. Ada sekitar 40 anak yang belajar di perkumpulan seni ini. Sedangkan di Bojasari ada 3 kelompok seni lengger untuk orang dewasa. Setiap menanggap pementasan ini dengan harga sekitar empat juta ke atas. Apabila yang menanggap salah satu dari anggota grup kesenian maka hanya membayar dua juta.


(pastikan sertakan sumber data berupa tautan asli dan nama jika mengutip suatu data)

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

WS
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini