Ungkapan Larangan dalam Masyarakat Minangkabau Sebagai Kunci Kelestarian Alam

Ungkapan Larangan dalam Masyarakat Minangkabau Sebagai Kunci Kelestarian Alam
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbung untuk Melambung

Ungkapan larangan merupakan salah satu budaya tradisional sejak dulu untuk memberi petunjuk kepada masyarakat bahwa terdapat hal-hal yang tidak baik dilakukan. Ungkapan larangan dalam masyarakat Minangkabau tidak hanya sekedar norma-norma yang diberlakukan. Mereka adalah jantung dari budaya dan cara hidup masyarakat ini. Ungkapan-ungkapan ini bukan hanya berfungsi sebagai peringatan akan bahaya di alam, tetapi juga sebagai pengingat akan keharmonisan hubungan manusia dengan lingkungan sekitar. Ini adalah sebuah pendekatan unik yang mencerminkan kearifan lokal dan hubungan yang erat antara manusia dan alam

Bersesuaian dengan pepatah “Alam takambang jadi guru” dalam bahasa Indonesia dibaca alam terkembang jadikan guru, maksudnya alam dijadikan sebagai sumber ilmu pengetahuan dan sebagai sumber penghidupan masyarakat, maka kelestarian alam dan lingkungan sangat dijaga dengan baik oleh masyarakat Minangkabau yang dilakukan sejak zaman nenek moyang dahulu, secara turun menurun. beberapa ungkapan larangan dalam kepercayaan masyarakat Minangkabau yang menjadi kunci kelestarian alam dan lingkungan di sumatera barat yaitu Rimbo larangan (Hutan larangan), Banda larangan (Sungai larangan), dan Tabek larangan (Kolam larangan).

Rimbo Larangan

Rimbo larangan” di dalam bahasa Indonesia disebut hutan larangan, merupakan hutan yang menurut adat istiadat tidak boleh dieksploitasi karena sebagai sumber penting bagi masyarakat Minangkabau. Di dalamnya terdapat beragam keanekaragaman hayati dan sumber air yang sangat diperlukan. Bentuk-bentuk larangan rimbo larangan di Minangkabau yaitu hutan ini tidak dieksploitasi, seperti menebang pohon kecuali pohon yang telah mati, mengalih fungsikan menjadi lahan perkebunan, dan memburu satwa yang dilindungi di hutan. Tujuannya agar tetap terjaga nya keseimbangan ekosistem di dalam hutan. Masyarakat Minangkabau memiliki sistem sanksi adat yang diterapkan jika ada yang melanggar, berupa denda uang atau denda hewan ternak, sesuai dengan tingkat kerugian dan diperbuat. Keberlanjutan kearifan lokal rimbo larangan yang terus bertahan sampai sekarang karena adanya peran lembaga adat yang memiliki pengaruh dan perhatian besar bagi masyarakat. Kemudian adanya penjagaan yang dilakukan dubalang, yaitu penjaga keamanan dan ketentraman wilayah desa. Dubalang aktif dalam memantau keadaan hutan. Dan yang paling penting untuk menjaga kelestarian alam yaitu adanya kesadaran masyarakat sekitar akan pentingnya pelestarian hutan.

Banda Larangan

Banda larangan atau dalam bahasa Indonesia disebut sungai larangan, merupakan suatu kawasan di sepanjang aliran sungai yang tetap dijaga agar tidak tercemar dari bahan yang bisa memusnahkan ekosistem kehidupan makhluk hidup di sepanjang aliran sungai terutama ikan. Ikan di banda larangan menjadi mitologi, bahwa ikan yang dilarang untuk ditangkap, dipancing, dan dimakan, dan yang melanggar menurut kepercayaan masyarakat secara turun temurun dipercaya mendapatkan bala (malapetaka), ikan larangan ini bisa dimanfaatkan/ dipanen melalui agenda bukak banda larangan (membuka sungai larangan). untuk Pemanenan banda larangan dilakukan setahun sekali yang diputuskan melalui kesepakatan antar pengelola dalam masyarakat nagari. Biasanya pembukaan banda larangan dilakukan pada musim kemarau atau menjelang idul fitri. Dengan menggunakan alat yang ramah lingkungan seperti jalar, jaring dan pancing. Panen dilakukan secara bersama antara pemangku adat, aparat nagari, dan masyarakat. Hasilnya selain untuk masyarakat, juga disisihkan untuk kas Nagari. Banda larangan ini merupakan warisan budaya untuk alam, karena secara ekologi dampak kearifan lokal budaya lubuk larangan mencegah kerusakan lingkungan sungai, menanggulangi kerusakan sungai dan memulihkan kerusakan lingkungan air serta ekosistem air.

Tabek Larangan

Tabek larangan, di dalam bahasa Indonesia disebut kolam larangan, merupakan kolam air yang telah dibuat sejak zaman dahulu di suatu desa, yang dibuat secara bersama-sama oleh masyarakat, bertujuan untuk persediaan air bagi masyarakat. tabek larangan ini hampir sama seperti banda larangan. Kolam ini juga dipelihara berbagai jenis ikan, Ikan di dalam kolam juga dilarang untuk diambil. Setiap desa memiliki masa-masa tertentu di mana kolam ini dibuka untuk pemanenan secara gotong royong. Hasil pemanenan dibagi ke masyarakat untuk dikonsumsi.

Pentingnya budaya ungkapan larangan ini tidak hanya dalam konteks budaya dan lingkungan, tetapi juga dalam melawan masalah ekspansi pembukaan lahan hutan yang telah mengancam banyak wilayah di Indonesia. Provinsi Sumatera Barat adalah salah satu daerah yang masih mampu mempertahankan wilayah hutan dengan baik. Hal ini sangat kontras dengan banyak wilayah lain di Indonesia yang telah kehilangan hutan mereka akibat pembangunan perkebunan dan ekspansi lahan. Dalam laporan dari Greenpeace, Pulau Sumatera menjadi pulau penyumbang ekspansi pembukaan lahan hutan terbesar di Indonesia, dengan sekitar 61,5% wilayah hutan yang terdampak. Oleh karena itu, upaya menjaga budaya ungkapan larangan ini bukan hanya untuk kelestarian lokal, tetapi juga sebagai contoh bagi upaya menjaga hutan dan lingkungan secara lebih luas. Mari lestarikan kebudayaan dan kearifan lokal ini agar alam dan lingkungan kita tetap terjaga untuk generasi mendatang.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

FA
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini