Membangun Kolaborasi Kampanye Mitigasi Kebencanaan, Abah Lala dari GMLS Berikan Mentoring

Membangun Kolaborasi Kampanye Mitigasi Kebencanaan, Abah Lala dari GMLS Berikan Mentoring
info gambar utama

GNFI kembali bekerja sama dengan PetaBencana.id untuk menyelenggarakan kelas tentang mitigasi bencana. Acara ini dijalankan pada Rabu (14/11/2023) sebagai bentuk dari program Local Heroes Development Program GNFI Academy Batch 2. Para peserta yang terpilih bersama-sama mendapatkan mentor seputar mitigasi bencana yang diisi oleh Anis Faisal Riza atau Abah Lala, Ketua Komunitas Gugus Mitigasi Lebak Selatan (GMLS).

Kelas ketiganya ini bertajuk “Membangun Kolaborasi dan Pendekatan Multi-sektor dalam Kampanye Mitigasi Kebencanaan”. Abah Lala membagikan pengalamannya ketika membangun komunitas yang berbasis peduli mitigasi bencana di daerahnya, Lebak Selatan, Banten, yang kini terus berkembang luas.

Memajukan Perekonomian Desa, Program Padat Karya PISEW Jangkau 5.090 Lokasi dalam 5 Tahun

Awal Mula Lahirnya GMLS, Bagaimana Memulai Inisiatif?

Pada pembukaan, Abah Lala mengisahkan awal mula ia membangun komunitas Gugus Mitigasi Lebak Selatan (GMLS). Ia menyadari bahwa dirinya dan keluarga tinggal di daerah Selatan, yang notabene secara statistik rawan oleh bencana alam, terutama gempa bumi dan tsunami. Hal ini menimbulkan keresahan dalam hatinya.

“Keresahan itu menjadi modal awal kita untuk membangun sesuatu. Sama halnya dengan kebutuhan dasar manusia yang makan karena lapar, bekerja karena memerlukan uang, dan lainnya,” kata Abah Lala.

Ia berpikir bahwa sebuah aksi harus dilakukannya. Terlebih lagi, pria berkacamata tersebut mengetahui bahwa masyarakat di sekitarnya tidak teredukasi dengan cukup akan bahaya bencana dan cara penanggulangannya. Dalam hatinya, Abah Lala berpikir, “Apakah iya, hanya saya saja yang bisa selamat ketika bencana terjadi?”

Dari sinilah, Abah Lala memantapkan dirinya yang ingin berbagi dengan lingkungan.

GMLS Lahir Menjadi Penggerak Mitigasi Bencana di Lebak Selatan

Abah Lala berpendapat bahwasanya edukasi menjadi kebutuhan yang mutlak agar bisa memberikan pemahaman tentang apa yang sedang dihadapi. Baginya, dirinya tidak perlu menjadi ahli untuk berbagi. Dari sinilah, ia bersama beberapa rekan mendirikan Gugus Mitigasi Lebak Selatan (GMLS). Komunitas ini dirintisnya pada bulan Oktober 2015. Namun, kemudian diresmikan pada tahun 2020.

Namun, pria tersebut menyadari bahwa manusia mempunyai keterbatasan, termasuk dengan ia yang sebetulnya bukan ahli mitigasi kebencanaan. Hal ini mendorongnya untuk terus belajar dari berbagai sumber informasi.

Hanya saja, upayanya itu dirasa masih kurang. Ia membutuhkan teman diskusi. Karena itulah, Abah lala memperluas jaringan pertemanannya dengan mengikuti banyak webinar dan bereksplorasi dengan banyak orang terkait isu mitigasi bencana.

Tantangan yang Dihadapi

“Ketika kita sudah memulai aksi dan merasakan berbagai kemudahan, jangan sampai lupa bahwa akan ada tantangan-tantangan yang akan selalu menguji keteguhan hati kita. Tidak ada jalan yang akan selalu mulus. Akan ada jalan negatif yang akan membuat kita berhenti begitu saja,” sebut Abah Lala.

Pada proses pertumbuhan GMLS, salah satu kendala paling nyata yang dihadapi pria yang berprofesi sebagai ASN tersebut adalah sulitnya berupaya melakukan edukasi terhadap masyarakat di Lebak Selatan. Sebab, daerah itu belum pernah mengalami bencana alam sekelas tsunami.

Belum lagi, di sana belum ada peraturan daerah yang mengatur tentang kebencanaan. Pemerintah lokal belum menganggap bahwa kebencanaan menjadi ranah yang harus dipikirkan. Ia berpendapat bahwa kondisi ekonomi warga mempengaruhi, yang mana prioritasnya adalah bekerja dan berpenghasilan untuk memenuhi kebutuhannya, bukan mitigasi bencana.

62 Tahun Hilang, Echidna Paruh Panjang Attenborough Ditemukan di Papua

Berbeda dengan warga yang pernah tinggal di Aceh atau Padang misalnya, yang pernah merasakan bagaimana mengerikannya bencana alam seperti gempa bumi dan tsunami.

“Akan sulit mengimajinasikan yang belum pernah dilakukan,” terangnya.

3 Kunci Sukses Membangun Komunitas Kebencanaan

Menghadapi berbagai rintangan yang dihadapinya, Abah Lala membagikan ada tiga kunci keberhasilannya dalam mendirikan GMLS. Pertama, ada persistence, kedua adalah komitmen, dan yang ketiga adalah kolaborasi.

“Banyak keluarga di komunitas kita yang tinggal di daerah rawan tsunami. Saya dan tim pantang menyerah, bahkan di saat yang paling sulit sekalipun. Kami berkomitmen, kami mencari cara berbeda untuk meyakinkan dan bekerja sama dengan komunitas untuk membangun kesadaran mereka. Kami mencoba menghadirkan suasana positif untuk membangun pemahaman. Kolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan juga membuka banyak cara dan peluang bagi untuk menggarap hal ini,” tulisnya dalam PPT yang ditampilkan saat acara.

Ia mengatakan bahwa persistensi dan keikhlasan dalam melakukan bidang pengabdian untuk masyarakat itu penting. sebab, dengan demikian, langkahnya tidak akan mudah goyah meskipun diterpa berbagai ujian. Apalagi, pihak kolaborator juga akan melihat hal ini.

Abah Lala memberikan contoh di mana banyak lembaga sejenis yang sulit mendapatkan dukungan karena kurang berkomitmen. Sebagian karena memandang gerakan seperti ini membutuhkan modal uang. Padahal, mengedukasi masyarakat harus berasal dari hati, tidak didasarkan pada ongkos semata.

GMLS sendiri awalnya berhasil menghimpun hingga puluhan relawan. Namun, karena seleksi alam, kini komunitas itu mempunyai 8 anggota dengan member terkecil adalah anak kelas 5 SD.

Namun, usaha tidak mengkhianati hasil. Berkat kerja keras mereka, GMLS berhasil membangun jaringan bersama pihak-pihak luar, termasuk ITB, UMN, BRIN, UiTM, BMKG, Surveyor Indonesia, Jasa Raharja, BSI, dan masih banyak lagi.

Menjamu Benua, Saat Sultan Kutai Berkabar dengan Dunia Gaib

Dari sini, mitigasi bencana kemudian menyebar dan menemukan kelompok-kelompok yang satu frekuensi. GMLS membentuk Resilient Tsunami Ready Community untuk membangun masyarakat yang tangguh ketika menghadapi bencana tsunami.

Ketika menggali lebih dalam ke mitigasi, misalnya bagaimana teknik berlindung, membuat rambu dan sebagainya sudah selesai, GMLS mulai mengaktifkan tradisi sesuai dengan local wisdom.

“Kami meramu bahasa teknis kegempaan dan tsunami sesuai dengan bahasa lokal. Ada juga komunitas dongeng yang bisa menerapkan ilmunya dengan cara mengedukasi mitigasi bencana dengan bahasa yang menarik, terutama untuk anak-anak. Hal ini demi menyadarkan masyarakat bahwa bencana dekat dengan kita dan ada yang harus diperjuangkan.”AJ

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Kawan GNFI Official lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Kawan GNFI Official.

Terima kasih telah membaca sampai di sini