Pemilu 2024: Nalar Publik dan Masa Depan Demokrasi

Pemilu 2024: Nalar Publik dan Masa Depan Demokrasi
info gambar utama

Rabu, 14 Februari 2024 mendatang akan menjadi momentum akbar indonesia. Sebab, pemilu yang akan diadakan secara serentak di seluruh indonesia, baik itu memilih legislatif maupun eksekutif, akan menjadi penentu masa depan indonesia.

Melihat kejadian sebelum pemilu 2024, banyak sekali pilu maupun drama yang dapat kita saksikan. Ada pemilihan secara proporsional terbuka dan proporsional tertutup, wacana penundaan pemilu, hingga hiruk pikuk majunya Gibran Rakabuming Raka sebagai wakil calon presiden dengan mengubah secara kilat umur sebagai ambang batas pencalonan untuk mendampingi Prabowo Subianto. Bahkan, ada politik identitas dan masih banyak lagi dinamika yang dapat kita lihat secara seksama dengan tempo yang sesingkat-singkatnya.

Melihat realitas yang terjadi, penulis merasa pesimis akan sebuah perubahan yang terjadi dalam perbaikan demokrasi yang sangat signifikansi untuk menuju demokrasi yang ideal. Sebab, masyarakat indonesia masih menggunakan pendekatan emosional, ketimbang materialistik, dialektika dan logika.

Ditambah lagi, masyarakatnya minim akan literasi, jika dibandingkan dengan global, Indonesia di nomor urut ke 74 dari 79, berarti nomor enam dari bawah di tahun 2023, menurut Ketua Komisi X DPR RI, Syaiful Huda.

Kelompok Lima Pandawa: Kenalkan Cerita Lokal dengan Seni Tari untuk Anak Muda

Sehingga berdampak kepada kurang nya kebijaksanaan dari pemilih untuk memilih pemimpin yang mampu mengobati penyakit demokrasi yang telah lama sakit. Karena masih ada juga politik identitas, maupun politik dinasti yang mampu berpotensi mencederai demokrasi indonesia dan integrasi nasional.

Bahkan, permainan money politik semakin menjadi-jadi yang telah dilarang di Undang-Undang Pemilu pada pasal (280) tetapi masih saja dilakukan. Dengan ketidaktahuan masyarakat maka terjadilah sistem yang buruk yang berdampak kepada kebiasaan yang terus berulang tanpa mau berkembang.

Maka, sudah sepatutnya adanya kesadaran para elite untuk mematuhi undang-undang dan masyarakat sudah sepatut nya serius dalam memilih untuk menjadikan seorang menjadi mandat sebagai representasi untuk menuju demokrasi yang ideal.

Namun, penulis tidak jadi putus dengan harapan. Karena harapan, suatu hal yang tidak ada menjadi ada. Dengan demikianlah peran anak muda menjadi kunci emas untuk membuka ruang yang lebih luas untuk menyongsong demokrasi yang ideal.

Jika dilihat secara seksama di era globalisasi maka sangat mudah algoritma memainkan peranya sebagai alat untuk kemonotonan, karena ketika memberikan like satu postingan, maka yang akan keluar banyak postingan yang serupa dan berbau sama.

Dengan penetrasi internet dan meningkatnya penggunaan media sosial, orientasi dan preferensi politik pemilih muda juga diperkirakan akan berubah. Media sosial diperkirakan dapat memberikan influence terhadap perilaku generasi muda dalam memilih calon presiden dan partai politik.

Karena lanskap politik yang kompetitif, saat ini sulit memprediksi siapa yang akan memenangkan pemilu 2024. Namun, generasi muda kemungkinan besar akan menjadi kelompok pemilih penting yang akan mempengaruhi hasil pemilu di masa depan.

Berbicara tentang pemuda maka kita berbicara tentang generasi bangsa, tanpa anak muda maka negara ini tidak akan ada. Tanpa anak muda gerakan reformasi tidak akan lahir, tanpa anak muda tidak akan estafet kemajuan, dan tanpa anak muda generasi emas 2045 hanya bualan semata.

Inggris Serahkan 120 Manuskrip Jawa Kuno Digital ke Pemda DIY

Menurut BPS (Badan Pusat Statistik), diproyeksikan jumblah penduduk indonesia sebanyak 278,8 juta jiwa pada 2023. Melihat jumblah penduduk yang berhak untuk mengeluarkan suara sebesar 204.807.222 orang, dan kita berbicara tentang pemuda baik itu generasi milenial maupun zilenial dengan jumlah 113 juta pemilih, jika dipersentasekan itu sebesar 56,45 %.

Melihat data-data di atas, kita semua tahu bahwa pemilih muda lebih banyak dari golongan tua, untuk merawat demokrasi golongan muda harus mengeluarkan suaranya, untuk memilih kandidat yang benar-benar paham akan demokrasi. Jadi sebagai estafet bangsa, sudah sepatutnya diri kita ditempa dan dipoles dengan literasi sejarah dan demokrasi yang mumpuni. Sebab, ini sudah menjadi kutukan bagi anak muda, sejak runtuhnya rezim otoriter Soeharto yang kita kenal dengan era reformasi runtuhnya orde baru, karena masa depan demokrasi ada di tangan anak muda.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

RH
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini