Degradasi Makan Bajamba di Era Globalisasi

Degradasi Makan Bajamba di Era Globalisasi
info gambar utama

Indonesia kaya akan keberagaman budaya dari sabang sampai merauke memiliki ciri khas budaya nya masing-masing, berbicara tentang budaya maka kita berbicara tentang nilai filosofis didalam budaya, berbicara tentang budaya tidak hanya dilihat dari bangunan, pakaian, dan alat musik. Akan tetapi, budaya juga berbicara tentang cara berpikir, berkomunikasi dan berbahasa.

Makan bajamba merupakan sebuah tradisi yang berasal dari Sumatera barat, tradisi ini di yakini menyebar sejak islam masuk ke Minangkabau pada abad ke-7 masehi yang membenarkan teori mekah, melalui perdagangan saudagar dari Mekkah itu sendiri.

Tentang makan bajamba merupakan suatu tradisi orang sumatera barat yang kaya akan makna dan filosofis. Dengan cara duduk bersama-sama untuk memakan sesuatu secara bersama di tempat piring yang cukup besar berfungsi sebagai menjalin keakraban dalam bermasyarakat tanpa melihat status sosial.

Jamba yang berarti “dulang” yang berisi makanan-makanan seperti nasi dan lauk pauk yang tersusun, makan bajamba ini selalu diadakan pada waktu pernikahan , pengangkatan penghulu dan acara-acara besar agama islam.

Dalam makan bajamba terdiri dari makna filosofis yang sangat mendalam, dengan duduk melingkar bersama orang-orang yang kita kenal dan orang-orang tidak kenal sekalipun, maka dapat menumbuhkan relasi yang baik bahkan cinta akan seksama.

Kemudian tidak boleh satu biji nasi yang tersisa karena itu bentuk dari menghormati orang yang sudah memasak nya. Masih ada makna lagi seperti makan dalam satu wadah secara bersama-sama maka, itu menunjukan rasa syukur kita kepada sang Ilahi.

Jelas bahwa makna yang terkandung didalam makan bajamba ini sesuai dengan alquraan yaitu hubungan dengan Tuhan dan hubungan dengan manusia. Itulah alasan kenapa makan bajamba ini akan terus dipertahankan karena mengandung nilai-nilai yang menjadi pelajaran bagi bersama untuk menjadi masyarakat yang beragama dan bersosial.

Namun, perkembangan zaman terlalu cepat di era setelah perang dingin ini, yang dimenangkan oleh ideologi liberalisme dengan berbasis kebebasan nya maka mampu memberikan suatu nilai maupun pengatahuan secara buas dan tak terkendali.

Cerdas dan Berbakat! Polisi Wanita Indonesia Terima Penghargaan dari PBB

Dalam hal ini produksi dari ideologi liberalisme salah satunya adalah globalisasi yang kian cepat menjalar, namun awal mula muncul nya nama globalisasi di tahun 1600 SM, pada waktu itu belum berkembang secara cepat dan pesat, sehingga belum dapat berdampak besar terhadap peradaban budaya di dunia.

Melihat perkembangan globalisasi yang kian melonjak, informasi yang terlalu cepat menyebar dari satu negara ke negara yang lain, dengan bantuan suatu "alat" sering kita sebut dengan media sosial.

media sosial inilah budaya menjadi terdegradasi akibat masyarakat mandeq kritis terhadap budaya yang masuk, sehingga pada realitasnya banyak budaya lokal kehilangan nilai-nilainya. Seperti yang terjadi dengan dengan tradisi makan bajamba ini. Dengan arus media sosial dan teknologi, seakan-akan masyarakat menerima budaya negara lain yang masuk dengan tidak menyaring nya terlebih dahulu. Akan tetapi, perkembangan zaman tidak dapat kita kendalikan. Namun, yang menjadi perhatian bagi penulis yaitu bagaimana cara kita mengendalikan diri.

Sistem budaya yang inferior melahirkan suatu budaya fomo (suka meniru). Hal tersebut mengakibatkan seseorang menjadi pengikut trend masa kini, yang sering ditampilkan di media sosial, tanpa bisa memilih dan memilah mana yang perlu diikuti dan mana yang tidak.

Kebanyakan dari kita menganggap budaya dimasa lampau itu sudah tidak relevan lagi dengan konteks zaman. Namun, nilai-nilai yang diajarkan patut menjadi argumentasi yang mapan yang patut dipertimbangkan.

Masyarakat yang dulunya heterogen sekarang menjadi homogen, karena ada suatu alat yang menyebabkan hal itu terjadi yaitu handphone. Jika dilihat kehadiran hanpdhone di Indonesia menyebakan masyarakat berfokus kepada dirinya sendiri tanpa melihat tradisi yang mulai tergerus.

Bahkan, makan bersama dengan keluarga jarang terlihat di rumah-rumah yang lain, seakan-akan itu sudah menjadi asing. Memang menjadi kebanggaan bisa berkumpul bersama, tetapi yang terjadi media sosial terus memeras pikiran untuk tetap kepada prinsip homogennya.

Penulis merasa cemas akan hilangnya budaya ini di masa depan, dengan makna-makna agung yang terkandung didalam nya. Melihat realitas orang tua juga ikut dan mengikuti trend zaman tanpa melirik daerah sekitarnya, maka anak-anaknya juga akan melihat cara berpikir orang tuanya. Hal itu dapat mengancam eksistensi dari makan bajambah ini sendiri.

RI Kirim Bantuan Tahap Dua ke Palestina, Pemerintah Sumbang Rp32 Miliar

Sebagai makhluk berbudaya, manusia hidup dalam sistem kebudayaan. Hidup manusia dibentuk oleh budaya. Manusia sebagai makhluk rasional menggunakan akal budi untuk berpikir dan merenungkan nilai-nilai budayanya. Sistem-sistem nilai peraturan-peraturan hidup dan kebijakan-kebijakan yang ada dalam budaya merupakan produk hasil kerja akal budi yang bersifat berkesinambungan.

Maka diperlukan filsafat budaya di dalamnya karena bisa membantu masyarakat budaya untuk merenungkan kembali nilai-nilai yang ada. Dengan melihat secara jeli dan menemukan nilai-nilai dan sejarah di dalam budaya tersebut, maka itu dapat menyelamatkan budaya makan bajambah ini agar tetap relevan dengan zaman.

Sudah sepatutnya orang tua mengajarkan tradisi bajambah ini beserta nilai-nilainya agar generasi yang akan datang bisa cinta terhadap budayanya sendiri dan bisa mengkritik budaya asing masuk, yang bisa mengancam eksistensi dari tradisi makan bajambah.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

RH
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini