Ternyata Siantar Pernah Menjadi Ibukota Sumatra Utara, Ini Sejarahnya!

Ternyata Siantar Pernah Menjadi Ibukota Sumatra Utara, Ini Sejarahnya!
info gambar utama

Siantar memiliki nama asli Pematang Siantar, tapi sering dipenggal menjadi Siantar saja untuk alasan praktis dalam penyebutan. Lokasi kota ini yang strategis sering dilalui oleh orang-orang yang melakukan perjalanan dengan rute Jalan Raya Lintas Sumatra. Luas Siantar berkisar 79,97 km2 dan pada tahun 2022 memiliki penduduk yang berjumlah 274.056 jiwa.

Suasana tenang dan damai yang bisa didapatkan sering kali menimbulkan anggapan bagi banyak orang bahwa Siantar merupakan kota kecil. Padahal kenyataannya Siantar merupakan kota terbesar kedua setelah Medan di Sumatra Utara. Menariknya, Siantar pernah menerima Piala Adipura pada tahun 1993 karena kebersihan dan kelestarian lingkungannya.

Selanjutnya, pada tahun 1996 menerima penghargaan berupa Piala Wahana Tata Nugraha atas ketertiban pengaturan lalu lintas di kota Siantar.

Baca juga: Becak Siantar, Transportasi Bersejarah Sejak Perang Dunia

Sejarah Kota Siantar, Dulunya Daerah Kerajaan

Siantar termasuk ke dalam wilayah dan pusat pemerintahan dari kerajaan, satu dari tujuh yang ada di Simalungun, tepatnya pada masa sebelum Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Wilayah kerajaan Siantar terletak di Pulau Holing yang sekitarannya berkembang menjadi kampung tempat tinggal para penduduk. Adapun raja yang memimpin saat itu adalah Tuan Sang Naualuh Damanik. Tugasnya sebagai raja dimulai pada tahun 1889 sampai 1904.

Pada tahun 1907, Belanda mulai menguasai daerah Simalungun hingga hal itu menjadi awal mula dari berakhirnya kekuasaan raja-raja. Di tahun ini juga terjadi perpindahan Kontroleur Belanda dari Perdagangan ke Siantar. Hingga kemudian, pendatang baru mulai menetap di Timbang Galung dan Kampung Melayu, Siantar.

Baca juga: 6 Oleh-oleh Khas Pematang Siantar, Ada Roti Legendaris!

Pernah Menjadi Ibukota Sumatera Utara

Ada suatu kondisi yang disebabkan oleh konfrontasi pihak Sekutu NICA dan revolusi sosial. Hal ini menjadi ancaman bagi pemerintahan republik di Sumatra Timur. Dengan demikian, Kota Medan yang sebelumnya menjadi ibukota Sumatra Utara tidak lagi aman karena gencaran dari pihak Sekutu NICA yang membombardir markas-markas TRI di sekitar Medan Area. Setelah revolusi sosial, para pemimpin pemerintahan dan TRI mencari cara agar Sekutu NICA mau melakukan damai.

Singkat cerita, akhirnya pada sebuah rapat pertemuan dengan pemimpin-pemimpin TRI dan sipil diputuskan untuk memindahkan ibukota Provinsi Sumatra Utara ke Siantar. Akan tetapi, ada beberapa pihak masih dipertahankan di Medan untuk memantau jalannya pemerintahan darurat militer.

Pemindahan tersebut dilakukan secara bertahap dan sembunyi-sembunyi agar sekiranya tidak diketahui oleh pihak Sekutu NICA yang mana akan menimbulkan kemungkinan terjadinya serangan-serangan di Siantar.

Pertama-tama, pemindahan dituju Kantor Gubernur Sumatra dan Markas TRI divisi IV, dilakukan pada akhir April 1946 guna melancarkan kegiatan pemerintahan Republik Indonesia di ibukota yang baru. Perpindahan itu diikuti oleh Badan-badan Perjuangan dan pemerintahan tingkat Sumatra dan Sumatra Timur ke Pematangsiantar dan Tebing Tinggi.

Kemudian, surat kabar lokal, yaitu Soeloeh Merdeka dan Mimbar Umum, ikut serta memindahkan kantor dan unit-unit percetakannya ke Siantar. Meski perpindahan dilakukan secara sembunyi, tidak menutup kemungkinan bahwa kabar ini akan terdengar sampai telinga rakyat. Oleh karena itu, seluruh rakyat beramai-ramai ikut pindah dari kota Medan ke Siantar.

Perpindahan yang dilakukan oleh rakyat itu merupakan bentuk perjuangan untuk menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Namun, sampai kapanpun rencana hanyalah sebuah rencana yang tetap memiliki hambatan tersendiri. Siantar yang sebelumnya menjadi ibukota Simalungun dan kota terbesar kedua setelah Medan nyatanya tidak cukup besar untuk menampung semua orang dan kantor bagi badan-badan pemerintahan serta markas tentara. Akan tetapi, semangat revolusioner yang dimiliki oleh segenap manusia pada masa itu tidak memutuskan harapan mereka. Dengan keyakinan dan semangat yang membara, di tengah-tengah permasalahan yang menghimpit, mereka melakukan berbagai upaya untuk menemukan berbagai solusi pula. Maka dari itu, Siantar mendapat julukan kota revolusioner.

Terpilihnya Siantar sebagai ibu kota Sumatra Utara hanya berlangsung selama 1 tahun, masa itu berakhir pada Juli 1947. Karena pada kenyataannya, sejak awal keputusan ini hanya sebagai alternatif. Sementara sumber lain juga ada yang mengatakan bahwa Siantar merupakan ibukota pertama Sumatra Utara.

Adapun alasan mengapa Siantar yang menjadi pilihan adalah karena infrastruktur yang memadai dan lokasinya yang strategis.

Baca juga: Gadis Kretek dalam Iklan-iklan Rokok pada Zaman Hindia Belanda

Referensi:

  • https://text-id.123dok.com/document/7qvppkdq5-pematangsiantar-menjadi-ibukota-sumatera.html
  • https://pematangsiantar.go.id/about

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

NS
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini