Apakah Teknologi Menyebabkan Gen Z 'Tidak Tertarik' Menikah?

Apakah Teknologi Menyebabkan Gen Z 'Tidak Tertarik' Menikah?
info gambar utama

Berdasarkan laporan yang dirilis oleh IDN Research Institute dengan judul "Indonesia Gen Z Report 2024", Gen Z lebih tidak tertarik pada pernikahan bila dibandingkan dengan Milenial. Dari 602 responden yang tinggal di 10 kota berbeda, sebanyak 62% Gen Z melihat pernikahan sebagai tahap yang masih cukup jauh di masa depan dan belum terlalu memikirkannya.

Pada survei lanjutan yang melibatkan 51 responden, tim IDN Media menanyakan keinginan mereka untuk menikah. Menariknya, pola jawaban lebih cenderung pada "mungkin" dibandingkan jawaban tegas "ya".

73,7% menyatakan bersedia mempertimbangkan, 21,2% mungkin mempertimbangkan, dan 5,3% secara tegas menjawab "tidak" terhadap pernikahan. Tampaknya, saya sependapat dengan mayoritas jawaban gen Z pada survei ini. Menurut ibu saya, pola pikir ini terbentuk karena anak muda terlalu banyak terpapar internet. Apakah benar?

Pernah sekali saya bertanya pada teman-teman, apakah mereka terpikir untuk menikahi pasangannya yang selalu mereka banggakan setiap bertemu? Kebanyakan dari mereka terdiam dan berpikir cukup lama sebelum memberi jawaban. Sesuai dengan hasil survei tersebut, beberapa teman menyatakan masih mempertimbangkan pernikahan dan tidak menjadikannya sebagai tujuan utama dalam hidup.

Istilah yang cukup sering disebutkan generasi Z terkait pola pikir seperti ini adalah tipe orang yang date-for-fun atau date-to-marry. Meskipun banyak orang mengaku tipe date-to-marry, atau melihat pernikahan di akhir hubungannya, tetapi kebanyakan melihatnya sebagai 'sesuatu yang baik untuk dilakukan di masa depan' dan tidak benar-benar mengejarnya.

Istilah date-to-marry juga tidak banyak dikenal oleh generasi milenial ke atas. Bagaimana sebetulnya teknologi merubah cara generasi Z mencintai dan memandang pernikahan?

Teknologi dan Pergeseran dalam Hubungan Modern

Beberapa teman saya bertemu kekasihnya melalui aplikasi dating, memang teknologi dan internet telah mendisrupsi satu dan berbagai hal dalam cara manusia berpasangan. Namun, seorang antropolog bernama Helen Fisher berpendapat teknologi sama sekali tidak merubah rasa cinta pada otak manusia.

Bertahun-tahun mempelajari reaksi otak manusia terhadap cinta, Fisher tidak menemukan perbedaan yang besar pada sistem dan reaksi kimiawi dalam otak manusia baik sebelum maupun sesudah maraknya teknologi.

Teknologi juga tidak merubah dengan siapa kita jatuh cinta. Baik melalui perkenalan dengan orang di sekitar, melalui biro jodoh, atau melalui dating apps seperti di era modern, seseorang cenderung akan tertarik dengan pasangan yang mirip dengannya atau berkebalikan dan melengkapi kekurangannya.

Alih-alih teknologi, Helen Fisher justru menyebutkan penemuan lain yang lebih mempelopori perubahan pola hidup masyarakat terkait dengan berpasangan, yaitu kontrasepsi. Dengan adanya kontrasepsi, risiko kehamilan yang tidak direncanakan, penyakit menular seksual, dan hukuman sosial menjadi semakin kecil.

Perempuan merasa lebih aman dalam menyalurkan hasrat seksualnya meskipun tanpa ikatan resmi sehingga perlahan-lahan tradisi dan norma sosial di masyarakat mulai bergeser bagi generasi muda.

Akses pada konten-konten dewasa yang membuat seseorang dapat memenuhi kebutuhan biologisnya tanpa pasangan juga menyebabkan pandangan terhadap pernikahan tidak menjadi semendesak sebelumnya. Ditambah lagi dengan akses informasi yang luas, membuka banyak fakta tentang pernikahan yang tidak semuanya menyenangkan.

Setiap hari, remaja dihadapkan pada informasi perselingkuhan atau kekerasan dalam rumah tangga yang menimbulkan spektisisme dalam ikatan pernikahan. Malangnya, beberapa anak bahkan menyaksikan langsung selama bertahun-tahun bagaimana pernikahan merenggut kebahagiaan orang tuanya.

Teknologi tidak merubah kebutuhan dan proses menciptakan cinta di otak kita. Namun, perkembangan teknologi menciptakan penemuan-penemuan, merubah tatanan sosial, sehingga menggeser kebutuhan manusia. Kita sampai di waktu dimana pernikahan bukanlah suatu kebutuhan hidup bagi sebagian orang.

Setiap kali menjalin hubungan, kita bertanya-tanya apakah pasangan kita adalah orang yang tepat? Mengingat perkenalan manusia tidak lagi terbatas pada lingkup pertemanan dan batasan geografis. Dengan adanya teknologi, kita dapat berkenalan dengan seseorang di negara lain. Kita dapat menemukan lebih dari 100 potensi pasangan hanya dengan menggeser ke kanan dan ke kiri pada layar ponsel.

Pilihan yang terlalu banyak ini kadang menimbulkan cognitive overload atau beban kognitif yang menyebabkan kita meragukan pilihan dan bertanya-tanya apakah pilihan pasangan saat ini sudah tepat untuk mengikat komitmen seumur hidup.

Konsep "Slow Love"

Pada pertanyaan tentang menikah, beberapa teman menjawab ingin mengenal pacarnya lebih jauh sebelum memutuskan tentang pernikahan meskipun telah berpacaran beberapa tahun. Hal ini sesuai dengan fenomena yang dijelaskan oleh Helen Fisher, dimana orang-orang memang cenderung membutuhkan waktu lebih lama dalam mengenal pasangannya sebelum memutuskan untuk menikah. Kecenderungan ini disebut dengan “Slow love”.

Selain karena faktor sosial dan biologis yang tidak lagi mendesak, orang-orang jauh lebih takut dengan risiko perceraian. Dalam suatu studi yang dipaparkan olehnya, 67% orang lajang di Amerika memilih tinggal bersama dengan pasangannya tanpa ikatan pernikahan karena takut akan risiko perceraian. Mereka takut akan konsekuensi sosial, legal, emosional, dan ekonomi dari sebuah perceraian.

Tentunya, kita sebagai warga Indonesia yang masih menjunjung adat timur tidak menganut kebebasan yang sama. Akan tetapi, di Indonesia pun semakin banyak orang yang menunda pernikahan untuk benar-benar mengenal pasangannya. Sebagai anak dari pasangan yang hanya berkenalan dua bulan sebelum menikah, tentunya aku benar-benar menyadari bagaimana lingkungan sosial kita telah berubah.

Tanpa desakan, mungkin seseorang baru merasa benar-benar yakin dengan pasangannya setelah beberapa tahun menjalin hubungan.

Pengaruh Emansipasi Wanita

Selain kontrasepsi, Helen Fisher menyebutkan bahwa faktor yang paling berpengaruh pada perubahan pola pernikahan ini adalah fakta bahwa perempuan lebih mudah mengakses dunia karier dan menghidup dirinya sendiri.

Perempuan menjadi lebih kuat dari segi ekonomi, sosial, dan seksual dari sebelumnya hingga dapat dikatakan setara dengan laki-laki. Perempuan tidak lagi bergantung pada laki-laki untuk menghidupnya, tetapi lebih pada memberikan kebahagiaan yang tidak bisa ia dapatkan sendiri.

Alih-alih memenuhi kewajiban untuk ‘menjadi utuh’ di masyarakat sosial, pernikahan di era modern ini lebih diperuntukkan untuk untuk melengkapi kebahagiaan dan mendapatkan mitra yang tepat dalam membesarkan keturunan.

Pernikahan bukan lagi suatu desakan dan kewajiban, tetapi kebahagiaan di baliknya menjadi tujuan utama. Oleh karena itu, kebanyakan generasi muda bukan lagi mengejar status pernikahan melainkan komitmen hidup bersama dengan seseorang yang tepat dalam jangka waktu yang panjang.

Pernikahan bukan lagi suatu perlombaan, melainkan lebih pada ajang pencarian. Saya tidak pernah bermaksud mempromosikan gerakan tidak menikah, melainkan hanya ingin semua orang lebih cermat dalam memilih masa depannya lewat pernikahan. Bukan karena terdesak.

Teknologi tidak akan pernah merubah kebutuhan manusia akan cinta, tetapi kemajuan teknologi mampu mengubah dinamika masyarakat yang sebelumnya menekankan cinta sebagai status, menjadi cinta sebagai alat untuk membentuk kebahagiaan.

Referensi

  • https://youtu.be/WvvuLDX7iIk?si=oSvz5AEUCcub9TwX
  • IDN Research Institute. (2023, November 27). Berita Terkini dan Berita Terbaru Indonesia Gen Z Report 2024. IDN Times. https://www.idntimes.com/tag/indonesia-gen-z-report-2024
  • TED. (2016, October 20). Technology hasn’t changed love. Here’s why | Helen Fisher [Video]. Youtube. Retrieved December 14, 2023, from https://youtu.be/WvvuLDX7iIk?si=k0Tq9KIgbr-mx-RL

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

FA
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini