Belajar dari Jepang saat Darurat Kecelakaan Pesawat

Amien Widodo

Dosen Teknik Geofisika dan peneliti senior Pusat Penelitian Mitigasi Kebencanaan dan Perubahan Iklim (Puslit MKPI) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya

Belajar dari Jepang saat Darurat Kecelakaan Pesawat
info gambar utama

Di Jepang pada tanggal 11 Maret 2011, terjadi gempa M>9 diikuti tsunami dahsyat yang meluluhlantakkan pantai Sendai termasuk PLTN Fukushima. Walau begitu, jumlah korban meninggal 15.269, hilang 8.526 dan luka luka 5.363. Bandingkan dengan tsunami Aceh di mana jumlah meninggal dunia mencapai 173.741 dan mengungsi 394.539. Semua orang mengakui kehebatan Jepang dalam menanggulangi bencana sehingga jumlah korban lebih kecil.

Awal tahun 2024, kembali kita mendapatkan tontonan heroik dalam penyelamatan pesawat JAL 516 yang bertabrakan saat landing dan terbakar di Bandara Haneda, Tokyo, Selasa 2 Januari 2024. Bagaimana bisa menyelamatkan pilot, kru dan penumpang dalam keadaan terbakar? Banyak pengakuan penumpang yang selamat bahwa ini "keajaiban". Penyelamatan tersebut jelas sangat butuh kerja sama antara 2 pilot, 12 awak pesawat dan 379 penumpang sehingga berhasil menyelamatkan kru pesawat dan seluruh penumpang dalam waktu kurang dari 20 menit.

Manajemen Japan Airlines memberitahukan bahwa selama proses evakuasi, sistem pemberitahuan pesawat JAL 516 tidak berfungsi, sehingga awak pesawat harus memberi instruksi lewat megafon dan berteriak. Hasil rekaman menunjukkan kru pesawat berteriak meminta para penumpang untuk jangan panik dan duduk dengan tertib sementara peralatan luncur evakuasi disiapkan dan dipasang. Tidak terbayangkan wajah-wajah tegang saat nunggu dan melihat pesawat terbakar. Luar biasa para penumpang semuanya, walau ada yang teriak teriak histeris, tetap mengikuti instruksi, termasuk instruksi untuk tidak mengambil tas di kabin pesawat. Aksi awak pesawat dan ketertiban penumpang membuat semua bisa dievakuasi tanpa cedera serius.

Kenapa bisa terjadi kecelakaan? Mestinya ini menjadi data krusial untuk antisipasi di masa depan. Transkrip resmi Bandara Haneda mengungkapkan bahwa menara pengontrol lalu lintas udara telah memberikan izin JAL516 untuk mendarat di landasan 34R sekitar pukul 17:43:26. Transkrip tersebut tidak menunjukkan persetujuan lepas landas pesawat Japan Coast Guard dan menginstruksikan pesawat tersebut untuk "taxi" ke holding point sekitar pukul 17:45:11. Sekitar dua menit kemudian, JAL516 dan pesawat Japan Coast Guard bertabrakan di landasan pacu (cnn.com).

Testimoni para penumpang selamat antara lain Satoshi Yamake, 59 tahun, merasakan pesawat "miring ke samping dan merasakan benturan besar" saat tabrakan terjadi. Penumpang lain melaporkan kepada kantor berita Kyodo bahwa dia merasakan "ledakan seperti kami menabrak sesuatu dan tersentak ke atas saat kami mendarat". Penumpang selamat dari Swedia, Anton Deibe, 17, menggambarkan kekacauan yang terjadi setelah tabrakan ketika Airbus A350 terhenti di landasan.Seluruh kabin dipenuhi asap dalam beberapa menit dan sangat menyengat. Itu seperti neraka. Begitu pintu darurat terbuka dan kami langsung menyelamatkan diri. Penumpang lain, Tsubasa Sawada, 28 tahun, berkata dia “hanya bisa mengatakan itu adalah keajaiban, kami bisa saja mati (bbc.com).

Keteguhan, ketenangan dan ketegasan para kru pesawat juga layak diacungi jempol sebab mereka juga tegang luar biasa seperti semua penumpang. Mantan pramugari Japan Airlines mengatakan kepada BBC bagaimana seluruh penumpang “luar biasa beruntung”. Pada kenyataanya meyakinkan penumpang untuk tidak panik adalah sesuatu hal yang sulit. Mantan pramugari Japan Airlines menyebutkan bahwa awak kabin baru harys menjalani pelatihan evakuasi dan penyelamatan selama tiga minggu sebelum mereka diizinkan untuk melayani penerbangan komersil. Secara rutin pelatihan ini diulang setiap tahun. Para awak pesawat menjalani ujian tertulis, diskusi-diskusi studi kasus dan latihan praktek dengan berbagai skenario, seperti misalnya ketika pesawat mendarat di air atau saat ada api di dalam pesawat.

Di pesawat lokal ini, penumpang serta krunya sebagian besar berasal dari Jepang yang sudah teredukasi, terlatih dan selalu praktik evakuasi berbagai macam kejadian bencana. Kepercayaan masyarakat Jepang terhadap orang lain, orang yang bertanggung jawab atas aksiden dalam hal ini para kru pesawat menjadi kunci penting dan krusial dalam proses penyelamatan. Hasilnya memang nyata dan bisa menyelamatkan banyak nyawa manusia. Sebuah budaya keselamatan yang harus dicontoh. Proses pembudayaan keselamatan bukan datang tiba-tiba seperti membalik tangan, sim salabim, jadi. Akan tetapi proses lama sekali.

Bagaimana dengan budaya keselamatan kita? Indikator keselamatan bermuara dari diri sendiri dan keluarga serta tetangga (komunitas). Jika sebagian besar individu sudah tidak peduli dengan keselamatan maka bisa dipastikan keluarga dan tetangga tidak perduli. Sebagai contoh, perhatikan bagaimana kepdulian pengendara di jalanan terhadap keselamatan, mereka berkendara motor tidak pakai helm dan sering bersama keluarga. Banyak mobil angkutan seperti bus, truk dll. yang tidak peduli dengan keselamatan.

Bisa Didarati Pesawat Jumbo, Seberapa Panjang Landasan Pacu Bandara IKN?

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Amien Widodo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Amien Widodo.

Tertarik menjadi Kolumnis GNFI?
Gabung Sekarang

Terima kasih telah membaca sampai di sini