Kisah Rayuan Politik Jenderal De Kock kepada Diponegoro saat Momen Ramadan

Kisah Rayuan Politik Jenderal De Kock kepada Diponegoro saat Momen Ramadan
info gambar utama

Di penghujung Desember 1829, telah jelas bagi Pangeran Diponegoro bahwa Belanda sudah menang perang. Apalagi pada bulan sebelumnya, Diponegoro menyatakan kepada Mangkubumi bahwa perjuangannya akan sia-sia belaka bila diteruskan.

Berkali-kali utusan Jenderal De Kock datang membujuk Diponegoro. Dirinya memberikan beberapa opsi untuk melunakkan hati sang pangeran. Misalnya agar Keraton Yogya dibagi menjadi tiga wilayah hingga menawarkan Diponegoro wilayah kerajaan sendiri.

Pangeran Diponegoro setuju untuk bertemu dengan Jan Baptist Cleerens, utusan Jenderal De Kock pada 16 Februari. Diponegoro mengutus Kiai Pekih Ibrahim dan Haji Badarudin bertemu dengan Cleerens, tetapi tak ada satu poin pun disepakati.

Melacak Dana Perang Dipenogoro Melawan Kompeni dalam Perang Jawa

Cleerens lalu membujuk agar Diponegoro melanjutkan perjalanan dan menunggu di Menoreh. Diponegoro lalu sampai di Menoreh pada 21 Februari 1830, atau empat hari menjelang bulan puasa tiba.

Walau terkenal sebagai musuh nomor satu pemerintah kolonial Hindia Belanda, Diponegoro masih dielu-elukan. Rombongannya bertambah dua kali lipat menjadi 700 orang saat tiba di daerah kekuasaan Belanda itu.

“Pangeran Diponegoro tinggal di sebuah rumah besar yang berdinding bambu dan beratapkan daun kelapa,” tulis Peter Carey, sejarawan asal Inggris yang dimuat Historia.

Bulan puasa yang tak biasa

Pangeran Diponegoro menghabiskan waktu di Magelang sembari memulihkan sakitnya. Sang pangeran menderita akibat serangan malaria selama di pelarian. Di sisi lain, bulan puasa akan dimulai pada 25 Februari.

Bagi Diponegoro, bulan puasa ini jadi yang tak biasa. Dirinya menegaskan tidak ada diskusi serius yang dapat dilakukan sampai bulan puasa berakhir pada 27 Maret. Bila pun ada hanya ramah tamah biasa, De Kock pun menerima hal itu.

Penemuan Pedang Pangeran Diponegoro di Istana Belanda, Bagaimana Bentuknya?

Setelah pertemuan pada Maret 1829, Pangeran Diponegoro merasa hubungan baik dengan pejabat Belanda akan langgeng. Dia juga berharap setelah bulan puasa, masalah-masalah yang timbul selama permusuhan lima tahun dapat diselesaikan.

“De Kock bahkan bermanis muka kepada Diponegoro dengan memberinya seekor kuda bagus warna abu-abu dan uang 10.000 gulden yang dicicil dua kali untuk biaya para pengikutnya selama bulan puasa,” jelasnya.

Hanya bersifat politis

Tetapi setelah bulan puasa selesai, tujuan asli dari De Kock terbongkar. Dirinya membiarkan sang pangeran menikmati kenyamanan semu. Sembari berharap Ngabdul Kamid (nama islam Pangeran Diponegoro) menyerah tanpa syarat.

“Motif dan cara tidak terhormat seperti ini tentu tidak dikatakan secara terbuka, namun dalam pandangan De Kock, apa boleh buat, tujuan menghalalkan segala cara,” tulis Peter Carey.

Sosok Hakim Belanda dengan Lukisan Wajah Pangeran Diponegoro yang Abadi

Namun sikap manis De Kock selama bulan puasa, tidak meluluhkan hati Pangeran Diponegoro. Sang pangeran tetap kukuh dalam niatnya untuk mendapatkan pengakuan sebagai sultan Jawa bagian selatan.

De Kock yang mendengar kabar tersebut lalu mengambil langkah tegas. Pada 25 Maret 1830, dia memberi perintah kepada Louis du Perron dan A.V Michels untuk mempersiapkan kelengkapan militer guna mengamankan penangkapan sang pangeran.

“Gencatan senjata yang berlangsung selama Ramadan berakhir tragis: Diponegoro ditangkap pada hari kedua Lebaran, 28 Maret 1830,” jelasnya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini