Cerita Kolam Renang Paradiso Medan yang Dulu Hanya Bisa Dikunjungi Orang Eropa

Cerita Kolam Renang Paradiso Medan yang Dulu Hanya Bisa Dikunjungi Orang Eropa
info gambar utama

Kolam Renang Paradiso yang berada di Jalan Sisingamangaraja, Medan memiliki cerita menarik. Hal ini karena kolam renang ini dulu hanya boleh didatangi oleh bangsawan Eropa dan Belanda.

Dinukil dari Detik, kolam renang yang sekarang bernama Kolam Renang Yayasan Renang Medan ini dibangun pada 1924. Nama Paradiso diambil dari nama bioskop yang cukup terkenal ketika itu.

“Itu dulu nama bioskop, Paradiso, ini perkumpulan renang (namanya), cuman itu (bioskop) namanya yang besar,” kata Suratmin, koordinator lapangan kolam renang tersebut.

Band 1080, Ekspresikan Kecintaan pada Medan dengan Karya Musik

Suratmin menyatakan bentuk kolam renang ini masih sama dengan dulu. Bagian bangunan berlantai dua dengan atap terbuka itu, katanya dulu tempat berjemur para bangsawan saat berenang.

“Di atas dulu mereka payung-payung, berjemur, santai. Tidak berubah, hanya perawatan saja,” sebutnya.

Diskriminasi rasial

Pada masa Belanda, kolam renang itu tidak bisa dinikmati oleh masyarakat umum. Hanya kalangan bangsawan atau ras kulit putih yang bisa masuk ke tempat itu. Masyarakat kulit berwarna, seperti pribumi dilarang untuk masuk.

Guru Besar Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatra Utara (USU) Prof Budi Agustono menyatakan wilayah itu sangat rasis pada zaman Belanda. Jadi hanya orang kulit putih saja yang bisa memasukinya.

“Jadi, saya kira itu menunjukkan bahwa kota Medan itu sangat diskriminatif dan rasis pada saat itu masa abad ke-20, sebelum Jepang masuk,” kata Guru Besar Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatra Utara (USU) Prof Budi Agustono.

Kota Medan, Antara Modernitas dan Keindahan Tradisional

Menurutnya, larangan itu dilakukan untuk mempertahankan identitas budaya dari Eropa. Para bangsawan enggan budaya mereka tercampur dengan budaya-budaya lokal. Hal inilah yang membuat sejumlah lokasi di Medan hanya diperuntukkan bagi orang Eropa.

“Sistem sosial pada saat itu, sangat rigid, kaku, agar kebudayaan Belanda tidak tercemar awalnya oleh misalnya kebudayaan lokal maupun kebudayaan pribumi pada waktu itu.”

Mulai berubah

Hal ini perlahan berubah setelah Jepang datang ke Hindia Belanda. Pada saat itu orang Jepang dan segelintir tokoh Indonesia bisa memasuki kolam renang tersebut. Tetapi hanya tokoh pribumi yang dekat dengan Jepang.

Pada tahun 1950-an, mulai banyak pengusaha, militer, atau kaum elit lokal dan keluarganya yang diberi akses masuk ke kolam renang itu, termasuk warga Tionghoa. Dulu, anak-anak pengusaha Tionghoa senang bermain di kolam renang tersebut.

Sejarah Masjid Lama Gang Bengkok Kota Medan

Saat itu, Kolam Renang Paradiso tidak hanya jadi tempat hiburan. Tetapi juga jadi ajang pertukaran budaya antara orang pribumi dan Tionghoa. Kolam renang ini juga jadi tempat berlatih perenang dan polo air untuk ajang PON di tahun 1970-an.

“Pada saat PON diadakan di Medan, itu banyak sekali Kolam Renang Paradiso menjadi tempat latihan perenang Kota Medan. Pada tahun 70-an, perenang inilah yang menjadi cikal bakal terbentuknya polo air di Kota Medan,” ujarnya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini