Makna Spiritual Air di Pulau Bali, Tuan Rumah dari World Water Forum ke-10 2024

Makna Spiritual Air di Pulau Bali, Tuan Rumah dari World Water Forum ke-10  2024
info gambar utama

World Water Forum (WWF), perhelatan internasional terkait air terbesar di dunia yang rutin diadakan setiap tiga tahun sekali sejak 1997 untuk pertama kalinya akan bertuan rumah di Asia Tenggara tepatnya di Indonesia. Dengan tema Water for Shared Prosperity, ajang kesepuluh World Water Forum direncanakan berlangsung pada 18-25 Mei 2024 di Pulau Bali.

Pemilihan Bali sebagai tuan rumah forum yang akan menghadirkan kepala pemerintahan dari berbagai negara ini seakan bertepatan dengan makna penting air dalam kepercayaan Hindu Bali yang diterapkan secara luas di Pulau Dewata.

Berdasarkan buku Bali, Sekala & Niskala: Essays on Religion, Ritual, and Art (1990) karya Fred B.Eisman, air berkaitan dengan kepercayaan masyarakat Bali terhadap adanya dua dunia yang saling terkait, yaitu skala (dunia nyata) dan niskala (dunia gaib).

Air dipandang sebagai materi yang menghubungkan dua dunia tersebut tepatnya dengan menjadi materi atau skala yang dengan dapat disentuh dan dirasakan dari kekuatan niskala. Makna penting air tersebut membuatnya kerap digunakan sebagai sarana dan prasarana dari peribadatan.

Mengenal Pantai Melasti, Tempat Pembukaan World Water Forum ke-10

Makna Penting Air dalam Melukat dan Melasti

Pura Tirta Empul, salah satu lokasi paling diminati untuk melukat. Foto: Unsplash (Florian GIORGIO).
info gambar

Salah satu ritus yang sangat terkait dengan air adalah melukat yaitu upacara penyucian diri untuk membuang ketidakberuntungan (mala) yang fungsinya serupa dengan ruwatan dalam tradisi Jawa. Salah satu tahap dari melukat adalah membasuh diri atau berendam dari pancuran mata air dan kolam yang dianggap suci.

Ritus melukat tidak hanya dapat dilakukan oleh umat Hindu Bali sehingga banyak wisatawan lokal maupun asing yang turut mengikuti prosesi melukat seperti penyanyi asal Amerika Serikat, Usher. Melukat pun menjadi salah satu agenda yang ditawarkan kepada para peserta WWF.

Salah satu lokasi yang paling dikenal untuk melukat adalah Pura Tirta Empul di Desa Manukmaya, Kecamatan Tampak Siring, Kabupaten Gianyar. Pura ini juga berlokasi sangat dekat dengan satu-satunya Istana Tampaksiring, satu-satunya Istana Kepresidenan yang berlokasi di luar Pulau Jawa.

Upacara lain yang terkait dengan keberadaan air adalah Melasti, prosesi yang dilakukan tiga hari sebelum Nyepi. Melasti atau Melis dimaknai sebagai adalah momen bersih-bersih menuju Nyepi terhadap sarana upacara seperti benda-benda pusaka yang sehari-hari disimpan dalam pura.

Melasti dilaksanakan secara berkelompok oleh setiap unit administratif setingkat desa di Bali yang disebut dengan banjar. Lokasi Melasti dipilih di dekat sumber air seperti danau, mata air, pantai, dan sungai. Keberadaan air sangat penting karena dimaknai sebagai media yang akan membawa pergi ketidaksucian dari benda yang dibasuhnya.

Salah satu lokasi tahunan dari upacara Melasti adalah Pantai Melasti, Desa Ungasan, Kabupaten Bandung. Pantai berpasir putih yang dikelilingi tebing kapur ini akan menjadi titik pembukaan dari WWF.

Apa Itu Tradisi Melukat yang Jadi Agenda di World Water Forum?

Subak, Pertemuan Fungsi Air secara Religi, Ekonomi, dan Lingkungan

Terasering di Tegalang, Kabupaten Gianyar. Foto: Unsplash (Niklas Weiss).
info gambar

Hubungan air dengan religi masyarakat Bali juga telah diakui secara internasional sebagai warisan dunia. Tepatnya dalam subak yang telah diakui sebagai situs warisan dunia UNESCO sejak tahun 2012 dengan nama resmi Cultural Landscape of Bali Province: the Subak System as a Manifestation of the Tri Hita Karana Philosophy.

Subak adalah sistem pengairan sejak abad ke-9 Masehi yang dilakukan dengan mempertemukan aspek religi, ekonomi, dan lingkungan. Unsur spiritual tercermin dengan didirikanya pura di dekat sumber air berikut pelaksanaan ritus keagamaan untuk kegiatan pertanian. Salah satu contoh pura yang terkait dengan subak adalah Pura Ulun Danu Bratan di Danau Bratan, Bedugul, yang populer karena ditampilkan dalam pecahan lama uang Rp50.000.

Air yang dibawa subak menjadi sumber penghidupan bagi sawah-sawah petani anggota subak. Aspek lingkungan juga menjadi perhatian dalam subak dengan melestarikan bentang alam yang terkait dengan siklus air.

Situs warisan dunia yang melindungi keseluruhan sistem subak dari hulu ke hilir mencakup wilayah seluas 19.500 hektar di Pulau Bali. Salah satu titik yang paling banyak dikunjungi untuk melihat langsung subak adalah persawahan terasering di Desa Jatiluwih, Kabupaten Tabanan, yang juga termasuk dalam agenda kunjungan WWF.

Pentingnya air dalam spiritualitas Hindu Bali berdampak terhadap perhatian terhadap kondisi lingkungan hidup di Bali. Ini dikarenakan keberadaan air sangat terhubung dengan siklus air yang bergantung dengan keseimbangan fungsi alam.

Ambil contoh dalam tradisi melasti dan melukat yang mendorong masyarakat untuk menghargai bentang alam yang terkait dengan air seperti pantai, sungai, mata air, termasuk daerah resapan air. Ancaman terhadap kelestarian air seperti polusi dan kekeringan yang akhir-akhir ini semakin sering terjadi akan berdampak pada keberlangsungan peribadatan umat Hindu Bali.

Penghargaan terhadap lingkungan sendiri memang tercantum dalam konsep Tri Hita Karana dalam Hindu Bali yaitu keseimbangan antara parahyangan atau hubungan manusia dengan Tuhan, pawongan atau hubungan manusia dengan sesama manusia dan palemahan atau hubungan manusia dengan alam.

Eratnya makna air bagi spiritualitas umat Hindu Bali melahirkan kebijaksanaan dengan pemanfaatan sumber daya air secara berkelanjutan. Beruntungnya nilai yang berasal dari kearifan lokal ini akan menyebar ke masyarakat dunia melalui perhelatan World Water Forum.

Desa Jatiluwih, Destinasi Wisata yang akan Dikunjungi oleh Peserta 10th World Water Forum

Referensi

Eiseman, F. B. (1990). Bali, Sekala & Niskala: Essays on Religion, Ritual, and Art. Tuttle Publisher.

Manggalani, R.U. (December 2012). Tirta Nirwana Negeri Dewata. National Geographic Traveler Indonesia, 4 (12), 104-113.

Sudarta, W. (2018). Subak Memadukan Nilai Tradisional dan Modern. Journal on Socio-Economics of Agriculture and Agribusiness (SOCA), 12(1), 133–143.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

FW
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini