Na Tuk Kong, Inkulturasi Praktik Spiritual Tionghoa dan Melayu

Na Tuk Kong, Inkulturasi Praktik Spiritual Tionghoa dan Melayu
info gambar utama

Agama tradisional Tionghoa merupakan sebutan yang mencakup berbagai agama-agama yang dianut secara tradisional oleh orang-orang Tionghoa Han yang berfondasikan pada tradisi dan falsafah Buddha, Konghucu, dan Tao. Sebagai kepercayaan politeisme, penganut agama tradisional Tionghoa memuja berbagai panteon yang dianggap dapat melindungi atau memberikan orang Tionghoa berbagai manfaat, baik yang berasal dari penyaduran kepercayaan tertentu, tokoh legendaris, semi-legendaris, maupun tokoh sejarah, seperti Chao Kun (灶君; Zào Jūn, Chàu-kun) sebagai Dewa Dapur, Kwan Ie (关羽; Guān Yǔ, Koan Ú) sebagai Dewa Perang, Kwan Im (观音; Guānyīn, Koan-im), interpretasi Asia Timur dari Avalokiteśvara, sebagai Dewi Welas Asih, dan lain sebagainya.

Namun, tahukah kamu, di antara berbagai dewa sesembahan tradisional orang Tionghoa, terdapat sosok penjaga-penjaga roh lokal yang didewakan dan disembah, yaitu Na Tuk Kong (拿督公; Ná Dū Gōng, Ná-tok-kong), sebuah sebutan untuk para datuk Melayu yang disembah oleh masyarakat Tionghoa di Malaysia, Singapura, dan Sumatra di Indonesia, terutama di bagian timur dari pulau tersebut. Na Tuk Kong termasuk ke dalam Tu Di Gong (土地公; Tǔdìgōng, Thó-tī-kong), semacam dewa penunggu di wilayah tertentu secara spesifik dan tidak berlaku di daerah yang lainnya.

Dalam bahasa Tionghoa, Na Tuk Kong memiliki gelar resmi Na Du Zun Wang (拿督尊王; Ná Dū Zūn Wáng, Ná-to̍k Chūn-ông) dimana Zūn (尊) memiliki makna senior, angkatan tua, menghormati, menghargai, gelar dan Wáng (王) adalah raja atau monarki, yang terbaik dalam jenisnya, agung, besar, mengatur, memimpin. Sementara itu, dalam tradisi Malaysia, Na Tuk Kong biasa digelari dengan sebutan Datuk Gong (داتوق ڬوڠ), dimana Datuk (داتوق) memiliki arti walikota, leluhur, kakek, atau yang dituakan.

Menariknya, Na Tuk Kong bukanlah seorang Tionghoa, bahkan Na Tuk Kong dikatakan sebagai datuk-datuk Melayu, yang dikenal dengan nama kolektif Datuk Keramat (داتوق كرامات). Lalu, mengapa berbagai orang Tionghoa Perantauan di Tanah Melayu memuja sesembahan yang bahkan bukan berasal dari Tiongkok?

Menurut legenda Melayu, para datuk dahulunya adalah manusia yang mempunyai kedudukan di masyarakat baik karena kedudukannya maupun atribut-atribut khususnya. Para datuk bisa saja merupakan pemimpin, tabib, pendekar silat, orang saleh, ataupun dukun. Setelah kematian mereka, penduduk setempat dan pengikutnya terkadang berdoa di batu nisan mereka dan mengkeramatkan mereka. Dengan datangnya imigran Tionghoa ke Kepulauan Melayu dengan kepercayaan tradisional Konghucu yang membawa konsep pemujaan roh leluhur, kedua praktik dari kepercayaan Tionghoa dan Melayu tersebut menyatu dan membentuk budaya mikro baru seperti yang ada saat ini. Pemujaan para datuk dikalangan Muslim Melayu terus menurun seiring konservatisme otoritas Islam setempat yang melarang praktek seperti ini, namun telah mengakar dalam kepercayaan Tionghoa setempat.

Pada sebagian rumah masyarakat Tionghoa di Sumatra, terdapat rumah kecil di dalamnya yang dilengkapi dengan peralatan sembahyang untuk menghormati Na Tuk Kong. Para pemuja Na Tuk Kong biasanya mempersembahkan sepasang lilin putih, tiga batang hio, serta kemenyan. Pada malam Jumat, pemuja Na Tuk Kong memberikan persembahan spesial berupa daun sirih lengkap dengan kapur sirih, potongan buah pinang, tembakau, dan rokok daun serta persembahan lain seperti buah-buahan. Hidangan yang dianggap haram oleh kepercayaan Islam, seperti babi, bir, dan arak, tidak dapat digunakan dalam persembahan karena tidak disukai oleh Datuk Keramat yang diidentikan berkepercayaan Islam.

Selain itu, pada perayaan spesial tertentu, para pemuja Na Tuk Kong mempersembahkan sembelihan berbagai hewan, seperti ayam, kambing, dan sapi. Berbagai hewan persembahan tersebut perlu disembelih oleh orang Islam, atau dalam arti lain, disembelih dengan menggunakan syariat Islam, agar persembahan tersebut diterima oleh para datuk. Dagingnya dimasak kari kemudian dipersembahkan kepada Na Tuk Kong bersama dengan nasi kuning. Persembahan seperti ini juga dipersembahkan oleh pemuja yang permohonannya dikabulkan, misalnya setelah memenangkan lotre.

Penyembahan Na Tuk Kong oleh masyarakat Tionghoa perantauan di Tanah Melayu menunjukkan inkulturasi yang terjadi antara kebudayaan, kepercayaan, serta falsafah Tionghoa dengan Melayu. Selain itu, inkulturasi ini juga menandakan sumbangsih Tionghoa di wilayah Asia Tenggara Maritim dalam bidang kebudayaan dan kepercayaan.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rafa Sukoco lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rafa Sukoco.

Terima kasih telah membaca sampai di sini