Hoaks yang Bikin Muak

Hoaks yang Bikin Muak
info gambar utama

Sesuai judulnya, hoaks atau kabar dusta memang bikin muak. Meskipun demikian masih saja kita harus terlibat dengan hoaks itu, apalagi bagi yang sehari-hari kerap berinteraksi dengan gawai karena tuntutan pekerjaan atau sekadar kesenangan.

Hoaks kerap mengintai, memasuki ranah pribadi kita, membuat kita terlibat di dalamnya sebagai pemamah atau malah penyebarluas hoaks dengan kesadaran penuh maupun tidak menyadarinya.

Tahukah kamu, kabar dusta bisa direkayasa seakan kebenaran yang mutlak adanya, ada selubung yang membuatnya sulit dibedakan kecuali kamu mengeceknya dari berbagai sumber tepercaya serta melakukan analisis secara mendalam, dan itu merepotkan!

Sesuai namanya, hoaks yang merupakan kata serapan dari hoax, adalah informasi yang tidak benar tetapi dibuat seolah-olah benar adanya.

Jadi, tahu sendirilah, hoaks bisa menjelma dusta yang menyesatkan, kabar yang tidak bisa dipertanggungjawabkan, rekayasa yang menjebakkan, bahkan fitnah yang kejam.

Hoaks bisa menghasut bahkan menggiring opini sesuai keinginan penyebar hoaks sendiri. Ironisnya kebanyakan dari kita malah termakan hoaks, terlibat dalam intrik yang diciptakan penyebar hoaks.

Aku merasa kata hoaks itu mirip huek, suara yang dikeluarkan orang yang muntah atau mau muntah atau mengolok-olok hendak muntah. Yang jelas, hoaks memang bikin muak.

Ketika hoaks belum populer tetapi sudah menyebar

Jangan tanya aku kapan pertama kali mengenal hoaks sebagai istilah, aku lupa. Akan tetapi, aku tidak lupa bahwa sejak kecil sudah mengenal kabar dusta yang tidak bertanggung jawab itu dari beragam bacaan.

Ya, kala kecil aku mengenai istilah koran merah atau tabloid kuning. Itu sebutan untuk media cetak yang menyebarkan berita atau informasi sensasional yang tidak jelas kebenarannya.

Koran merah cenderung memuat berita kriminal, tabloid kuning adalah sebutan untuk tabloid yang isinya gosip melulu dan belum tentu benar.

Kamu bisa menyebut kedua media itu sebagai penyebar rumor, isu yang tak berdasar, tetapi pengaruhnya tidak sedahsyat hoaks yang bisa memecah belah.

Gosip bisa dikonsumsi sebagai hiburan bagi insan yang doyan sensasi, tetapi dampak hoaks sangat mengerikan. Bisa menimbulkan kerusuhan bahkan perpecahan.

Hoaks tidak hanya merambah ranah politik, ranah pribadi pun bisa diusik penyebar hoaks. Ada kepentingan tertentu yang bermain. Yang jelas kepentingan tertentu itu malah membuat kita terlibat jika memang ingin terlibat atau tergerak untuk melibatkan diri, atau cukup sebagai penonton masa bodoh yang tidak ingin terlibat.

Psikologi massa mendorong kita untuk menjadi bagian dari suatu penyebaran hoaks meski secara logika sangat konyol. Apa boleh buat, provokasi yang disebarkan dalam hoaks seakan memahami betul watak primordial yang tersembunyi dalam diri untuk dikeluarkan.

Hal yang terburuk adalah jika kita sebarluaskan hoaks tetapi tidak sadar bahwa apa yang disebarluaskan adalah dusta, maka kita bisa berdosa. Amannya bagaimana? Jangan terlibat saja dan tahan dirimu.

Kala aku baru kenal internet secara rutin pada awal tahun 2002 dan berinteraksi dengan banyak teman dunia maya yang sesama penyuka sastra, tak pernah terpikir akan mengenal rangkaian kabar atau informasi yang wallahua’lam kebenarannya.

Seorang teman melalui aplikasi chat meneruskan pesan yang diterimanya entah dari siapa, tentang korek kuping (cotton buds) yang dijual secara eceran oleh pengasong berasal dari kapas bekas tindakan medis dari rumah sakit yang sudah didaur ulang.

Ini bisa disebut hoaks karena sumber beritanya tidak jelas siapa, juga kebenarannya bagaimana. Aku yang tidak pernah berjumpa pedagang asongan korek kuping jelas heran dan ngeri sendiri. Informasi itu begitu detail dan penuh ancaman mengenai bahaya kapas bekas yang dijadikan korek kuping.

Benarkah demikian? Yang jelas aku simpan informasi itu, tidak menyebarluaskannya meski ada tulisan untuk disebarkan. Bagaimana jika hanya fitnah, karena aku belum melihat secara langsung bentuk kapas batang yang dimaksud apalagi berjumpa pedagangnya.

Hoaks itu hanya bilang hati-hati tetapi tidak memberi tahu lokasi, juga meski dibalut hal medis masih ada yang membuatku ragu mengenai kebenarannya.

Adakah penelitian atau publikasi mengenai penelitian kapas bekas itu? Bagaimana bisa tahu dan dari manakah sumber informasi utamanya? Lalu pedagang itu seperti apa? Tiada gambaran dan penjelasan!

Kisah kapas membuatku parno sendiri. Sampai sekarang aku harus memastikan bahwa cotton buds yang kubeli aman. Betapa hoaks bisa memengaruhi perilaku yang membacanya.

Itu baru kapas, lainnya bagaimana?

Hoaks dalam genggaman

Kamu bisa merasa telah menggenggam dunia begitu memiliki gawai berupa ponsel pintar atau komputer yang terhubung ke internet. Akan tetapi, dunia yang kamu genggam bisa serupa hal semu dan menjebak jika kamu berurusan dengan hoaks.

Sejak aku memiliki ponsel android pada tahun 2018, tidak hanya mudah mengakses informasi penting, informasi sampah pun bisa saja malah kumamah. Ya, aplikasi WhatsApp memang memudahkanku untuk terhubung dengan dunia luar, tetapi ada hal-hal tertentu yang tak bisa kusaring mengenai kebenaran.

Temanku membagikan informasi medis di grup atau secara japri, dan setelah membacanya aku tergerak untuk menyebarkan kepada teman lain tanpa tahu pasti apakah informasi tersebut valid adanya. Ada selubung bahasa yang seolah “sangat ilmiah”.

Niat berbagiku murni hanya karena ingin menyebarkan “kabar baik”. Akan tetapi, apakah hal itu memang kabar baik bukan kabar bohong? Aku orang awam yang tidak tahu banyak mengenai hal medis.

Dulunya mudah beroleh informasi yang kukira valid dari bacaan bermutu, sekarang media cetak bertumbangan digantikan media digital. Lalu, apakah yang disebarkan media sosial sanggup menggantikan peran media massa cetak yang seakan telah ketinggalan zaman?

Dunia memang bergerak cepat, pun sebaran informasi, tetapi yang cepat belum tentu akurat.

Memilih media yang cepat sekaligus akurat

Media sosial semacam Facebook, Twitter, Instagram, bahkan WhatsApp memang termasuk dalam laju pergerakan cepat sesuai dinamika mobilitas penggunanya.

Informasi bisa cepat menyebar, dari satu tempat merambahi tempat lain yang lebih luas lagi. Kita hidup di era digital dalam wilayah lokal yang mengglobal. Internet memegang peran besar zaman sekarang dan untuk mendatang.

Aku menyadari peran besar demikian tetap butuh kendali dari diri sendiri, untuk memilih dan memilah berita atau informasi mana yang bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Sebagai penulis lepas dan narablog sekaligus ibu rumah tangga yang sudah cukup sibuk dengan dunianya, penting bagiku untuk memilih media sebagai sumber rujukan tepercaya.

Media yang independen dan netral, media yang tidak ditunggangi pihak tertentu atau terlalu tendensius, media yang bisa memberitakan atau menginformasikan banyak hal positif agar bisa menginspirasi sekaligus memotivasi pembacanya, media yang membawa angin segar di tengah ingar-bingar aneka dengungan dari para pendengung dan hoaks berkepanjangan, media yang membuatmu bisa menemukan alternatif lain sebagai sumber rujukan tepercaya dan bebas hoaks.

Good News from Indonesia boleh dianggap sebagai media positif yang kumaksud. Aku memang baru mengenalnya berkat lomba yang diadakan komunitas Ibu-ibu Doyan Nulis (IIDN) dan Good News from Indonesia (GNFI), tetapi dari berita yang kubaca rasanya media ini lebih adem.

Alternatif agar kita tak terjebak media abal-abal yang isi beritanya asal atau menyesatkan, suram dan sensasional.

Satu hal yang kusuka, Good News from Indonesia memang seakan khusus mengabarkan hal baik yang terjadi di Indonesia. Prestasi yang dilakukan anak bangsa, kemajuan teknologi dan pembangunan di Indonesia, keunikan budaya, keindahan alam, juga muatan lokal selain kuliner khas Nusantara.

Segalanya seakan paket lengkap menu terpilih yang siap saji untuk menyemangati sekaligus mencerdaskan pembacanya.

Hal terbaik dari itu adalah aku, dan siapa saja yang beminat, bisa turut menjadi kontributornya, tentunya setelah melalui proses moderasi dan seleksi.

Selama mengikuti lomba yang diadakan IIDN bareng GNFI, aku banyak membaca tulisan peserta lain yang anggota IIDN. Tulisan mereka cerdas dan bernas. Terlihat bahwa jam terbang mereka tidak main-main sebagai perempuan penulis.

Sebagai perempuan, ada banyak potensi terpendam yang bisa terus digali dan diasah agar berkembang, butuh media sasaran yang lebih mengglobal. GNFI seakan bisa menjawab kebutuhan itu.

Menulis di media pribadi macam blog atau media sosial memang baik, apalagi jika yang ditulis berkaitan dengan hal positif. Setidaknya bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya sebagai upaya tersendiri demi melawan hoaks. Indonesia sudah terlalu ingar dengan kabar yang dibiaskan.

Menulis di situs GNFI merupakan cara yang lebih luas jangkauannya. Ada banyak keuntungan bagi perempuan yang menulis di media ini, selain jaringan dan nama, ada kontribusi kita secara aktif dan positif dalam menyebarkan kabar baik yang terjadi di sekitar.

Barangkali ini upaya sederhana demi melawan hoaks yang tiada juntrungan, tonjolkan sisi lain Indonesia yang indah dan positif, sisi terdekat dalam kehidupan kita.

Melibatkan diri dalam hoaks sebagai penyebar karena ketidaktahuan adalah tindakan nirfaedah sekaligus gegabah. Sebaliknya jika berperan dengan melakukan kontribusi positif sebagai penulis cinta damai yang aktif menyebarkan kabar baik Indonesia, niscaya energi positif tersebut bisa menular.

Ikut memengaruhi pembaca sekaligus menularkan kebahagiaan lewat teladan optimisme dan daya juang, pun penghargaan pada yang ada sebagai wujud rasa syukur.

Indonesia damai adalah harapan kita. Hoaks memang tidak bisa musnah seketika, tetapi kita tetap bisa melawannya dengan cara yang kita bisa.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

RS
YF
AI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini