Rumah Cemara: Tentang Rintangan Perjalanan dan Perbedaan Stigma

Rumah Cemara: Tentang Rintangan Perjalanan dan Perbedaan Stigma
info gambar utama

Di artikel sebelumnya, Good News from Indonesia (GNFI) menceritakan bagaimana perjuangan Rumah Cemara melalui Homeless World Cup (HWC), mengubah stigma masyarakat Indonesia pada golongan marginal.

Seperti yang telah diceritakan sebelumnya, perjalanan Rumah Cemara mewakili Indonesia dalam mengarungi kompetisi Homeless World Cup tidak selalu mulus. Ada berbagai rintangan yang dihadapi, tapi ada juga beragam solusi yang dimiliki.

Coordinator Support for Development Rumah Cemara, Gina Afriani Wulan Pratami, membawa kami ke memori Rumah Cemara beberapa tahun lalu, ketika dihadapkan dengan persoalan data miskin kota.

Sebelum dikonsep ulang untuk penjaringan atlet HWC, Rumah Cemara melibatkan latar belakang masyarakat yang miskin kota. Namun menjaring pemain dengan latar belakang miskin kota memerlukan indikator yang lebih spesifik dan pelaksanaannya cukup rumit.

BACA JUGA: Rumah Cemara: Tentang Mengubah Stigma dan Berjuang di HWC

Penilaian tidak cukup dilakukan hanya sekadar assessment. Oleh karena itu, tahun ini Rumah Cemara berfokus pada kriteria tertentu seperti ODHA, konsumen narkoba, serta kelompok-kelompok yang menjadi konstituen dari Rumah Cemara, yang sesuai dengan RenStra (Rencana Strategis), misalnya anak jalanan, pekerja seks, dan LGBT.

Banyaknya miskin kota yang ikut seleksi HWC bahkan terpilih ke tim, membuat ODHA dan para pengguna narkoba yang ikut seleksi langsung minder, dan jumlah pendaftarnya makin sedikit. Mereka merasa sudah kalah duluan, karena melihat para pendaftar dari miskin kota yang kualitas permainannya di atas rata-rata.

Salah satu ruangan di Rumah Cemara | Foto: Luvena Felicia/GNFI
info gambar

"Jadi makin ke sini konsumen NAPZA, orang dengan HIV/AIDS-nya, itu jadi mulai berkurang bahkan menutup diri. Menutup dirinya karena merasa gua ngapain ikutan gitu toh juga nggak bakalan kepilih," ungkap Gina.

Makin pelik bagi Rumah Cemara, karena dengan materi pemain yang lebih mumpuni, mereka tergiring ke ranah prestasi. Padahal, tujuan awal mengikuti HWC adalah untuk kampanye mengubah stigma pada golongan marginal.

Rumah Cemara tahu betul langkah yang mereka ambil salah, dan tidak membiarkan persoalan itu berlangsung lama. Akhirnya di tahun 2019, proses seleksi atlet dikonsep ulang. Kembali ke konsep awal, yang diambil bukan atlet tapi memang ODHA dan konsumen narkoba. Yang dicari bukan menangnya, tapi pesan yang dibawa.

"Jika memang ada atlet namun berlatar belakang yang sesuai dengan kita harapkan, misalnya konsumen NAPZA atau orang dengan HIV/AIDS, tentunya itu masuk ke dalam kriteria," ujar Gina.

"Konsep baru, tahun 2019 pake scope Bandung dulu. Sama kaya kejadian tahun 2011. Biar kita punya sistem dulu. Kalau sistem udah oke baru bikin tingkat provinsi, atau bahkan nasional" lanjutnya.

BACA JUGA: Dulu Anak Jalanan, Kini Ia Telah Menjadi...

Perubahan konsep yang dilakukan Rumah Cemara juga termasuk penegasan pemisahan ajang dengan League of Challenge (LoC). Di tahun 2012 sampai 2018, LoC dianggap masyarakat sebagai bagian dari seleksi HWC, padahal sebenarnya turnamen yang berbeda. Tapi karena waktu seleksi mepet, jadilah LoC dijadikan ajang seleksi untuk pemain berangkat ke HWC.

"Nah pandangan orang mah melihat LoC bagian dari HWC padahal mah terpisah. Yang sekarang nggak ada LoC. Jadi seleksi ya sendiri, LoC ya turnamen sendiri," terang Gina.

Perbedaan stigma dan akses obat di negara lain

Lain negara, lain persoalan, termasuk stigma yang melekat di golongan marginal Indonesia dan negara lainnya. Gina menceritakan pengalamannya saat mendampingi tim HWC di Wales, pemandu dari negaranya Ryan Giggs itu sama sekali tidak punya pandangan negatif ke ODHA.

"Kalau di sini (Indonesia) ya, misalnya orang tahu ada pengidap HIV positif, mereka langsung khawatir. Eh tadi gue habis makan bareng, eh tadi gue habis pelukan, habis salaman, terus gimana ya, nular nggak ya. Biasanya gitu. Tapi di sana (Wales) nggak."

"Dia (pemandu) cuma bilang: Ya terus kenapa?" tutur Gina, menirukan respon sang pemandu saat ia menceritakan kalau sebagian besar pemain Indonesia di HWC adalah pengidap HIV positif.

Jenis golongan marginal yang ter-stigma pun tidak sama. Kalau di Indonesia banyak didominasi ODHA dan konsumen NAPZA, di negara lain isu yang dihadapi bermacam-macam, seperti LGBT dan orang yang tidak punya kewarganegaraan.

BACA JUGA: RS Apung dan Misi Mulia di Pelosok Indonesia

Penghargaan internasional untuk Rumah Cemara | Foto: Luvena Felicia/GNFI
info gambar

Selain stigma yang berbeda, akses obat juga jauh berbeda. Obat-obatan di Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM) untuk pemakai putau misalnya. Di Indonesia berbayar, dan di Inggris gratis. Di Inggris safety box-nya sangat aman, sampai ke kejelasan informasinya dan kelengkapan surat-suratnya, sedangkan di Indonesia tidak.

Lalu untuk akses pengambilan obat, di Inggris lebih mudah dibandingkan Indonesia yang dibatasi takarannya jika hendak dibawa bepergian. Inilah yang membuat pasien PTRM seperti tahanan kota.

Botol obat metadon dan safety box di Inggris | Foto: Dok. Rumah Cemara
info gambar

"Obat (di PTRM) itu harus diambil setiap hari di rumah sakit terdekat. Terus gimana kalau ke luar kota, ada akses metadon atau nggak. Kalau nggak, cuma bisa ambil sekian mili doang. Jadi makanya disebut kaya tahanan kota. Susah bepergian ke mana-mana."

Persoalan ini sempat dihadapi oleh seorang pemain HWC dari Indonesia. Walau sudah mendapat surat undangan dari HWC ke RSHS (Rumah Sakit Hasan Sadikin) Bandung, tapi masih berbenturan dengan Permenkes yang mengatur kadar takaran yang boleh dibawa keluar pasien.

Obat-obatan PTRM yang boleh dibawa saat itu hanya cukup selama 7 hari, padahal yang dibutuhkan 12 hari. Akhirnya, di sisa 5 hari setelah obat habis, mereka mengaksesnya langsung di Inggris.

BACA JUGA: Indonesia Nol Kartu di Piala Dunia

Surat dari RSHS untuk pemberian metadon bagi Dea Achmad Restuna, pemain HWC 2019 | Foto: Dok. Rumah Cemara
info gambar

***

Walau terhalang beragam rintangan, Rumah Cemara tetap konsisten memberikan upaya terbaiknya di Homeless World Cup. Ini semata-mata demi membantu kampanye menekan stigma dan diskriminasi pada ODHA serta konsumen narkoba. Bukan sekadar meningkatkan kualitas hidup.

"Kalau meningkatkan kualitas hidup itu lebih baik uang Rp 1 miliar yang saya dapat buat mereka berangkat, dibagiin aja ke pemain ya. 100 juta, 100 juta, 100 juta (per pemain). Suruh merekanya usaha kek, sekolah kek, kesehatan gitu, operasi plastik ngapain lah kasarnya gitu."

"Karena ngomongin kualitas hidup faktornya banyak. Jadi HWC itu kampanye untuk menekan stigma dan diskriminasi pada ODHA dan pencandu," pungkas Gina menutup obrolan.***

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini