Tradisi Ma’burasa’ Warga Bugis dan Makassar Tetap Jalan Meski Saat Pandemi

Tradisi Ma’burasa’ Warga Bugis dan Makassar Tetap Jalan Meski Saat Pandemi
info gambar utama

Ada yang berbeda dengan Idul Fitri 1441 H kali ini. Meski pemerintah sudah mulai melakukan relaksasi terhadap pembatasan sosial berskala besar (PSBB), namun beberapa kebijakan daerah masih menghimbau warganya untuk tetap berhati-hati.

Bahkan kalau bisa tetap di rumah, terutama untuk mereka yang berusia di atas 45 tahun.

Dan sepertinya kebiasaan salat Id yang biasa kita lakukan bersama di lapangan juga akan berubah. Ada yang sudah mempersiapkan diri untuk melaksanakan salat Id di rumah dan terpaksa tidak berkeliling ke rumah tetangga untuk silaturahmi.

Namun, sepertinya Kawan GNFI warga Bugis dan Makassar masih bisa memeriahkan suasana Idul Fitri, nih.

Salah satunya dengan tetap bisa melakukan tradisi ma’burasa menjadi tradisi ikonik warga Bugis dan Makassar yang kerap dilaksanakan beberapa hari menjelang Idul Fitri.

Tradisi ini ternyata tak lekang oleh waktu dan tak lekang oleh pandemi.

Apa itu Ma'burasa'?

Burasa' makanan khas Warga Bugis dan Makassar saat Idul Fitri
info gambar

Dalam laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Republik Indonesia, ma’burasa’ dalam bahasa lokal Bugis dan Makassar diartikan sebagai kegiatan membuat burasa’.

Sedangkan burasa' adalah sebuah sajian kuliner tradisional yang terbuat dari beras yang dicampur santan dan diberi sedikit garam. Nantinya adonan tersebut dibentuk dan dibungkus dengan daun pisang dan diikat dengan teknik khusus sebelum akhirnya dimasak dengan cara dikukus.

‘’Proses mengikat tidak semudah yang dilihat, tapi cukup sulit dilakukan. Beras yang diberi santan lalu dibungkus dengan daun pisang, kemudian diikat sampai padat, dan tidak mudah terurai.’’

‘’Jika tidak terampil mengikat, maka model burasa’ dapat berubah bentuk,’’ ungkap Rismawidiawati, Peneliti Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sulawesi Selatan, pada Kemendikbud.

Bentuknya hampir mirip lontong, tapi burasa’ cenderung agak pipih. Namun perannya selama Hari Raya Idul Fitri hampir sama dengan ketupat karena burasa’ adalah kuliner wajib saat Idul Fitri.

Nantinya burasa’ dimakan bersama dengan coto makassar, opor ayam, kari ayam, daging, dan telur. Jadi ini memang kudapan asin yang akan tersaji dengan makanan khas lebaran lainnya.

Tradisi Saling Bertukar Burasa’

Rismawidiawati mengaku tidak pernah tahu kapan tradisi ma’burasa’ pertama kali dilakukan dan menjadi budaya masyarakat Bugis dan Makassar.

Namun, berdasar pengakuannya yang lahir di tahun 1980an, tradisi tersebut sudah diperkenalkan oleh orangtuanya sejak ia lahir.

Riuh keramaian akan semakin bertambah kala burasa’ sudah siap disajikan dan siap dibagikan kepada tetangga atau saudara terdekat. Bukan hanya sekadar berbagi, tetapi mereka justru akan saling tukar burasa’ yang sudah dibuat oleh keluarga masing-masing.

Meski burasa' yang dibuat masing-masing keluarga menggunakan resep yang hampir sama. Hanya selera asin dan gurih santannya saja yang mungkin berbeda.

Hal ini yang membuat tradisi ma’burasa’ sarat akan nilai solidaritas dan kekeluargaan. Mereka saling tahu bahwa tetangga juga sama-sama membuat burasa’, tetapi tetap saja saling berbagi dengan menu yang sama.

Bukan masalah burasa’nya, tetapi nilai dan keinginan untuk saling berbagi sesama warga sekampung yang kerap menjadi momen indah tersendiri sebelum menyambut Hari Raya Suci.

Budaya Sakral, Tak Terpengaruh Pandemi

Nilai kekeluargaan saat membuat burasa'
info gambar

Selain sarat akan makna berbagi kepada tetangga, maksud terdalam dari ma'burasa' adalah bagaimana tradisi ini semakin mempererat kekeluargaan di dalam rumah.

Seluruh anggota keluarga yang berada di rumah, memang diikutsertakan untuk membuat burasa’. Tidak hanya ibu rumah tangga saja, melainkan anak-anak dan kepala keluarga juga diikutsertakan.

Bahkan tak jarang kakek dan nenek di rumah juga kerap ingin membantu. Mengingat untuk membuat burasa’ dibutuhkan waktu sampai delapan jam. Jadi butuh kerjasama dimulai dari mengumpulkan bahan-bahannya, membungkusnya, sampai mengkukusnya sampai matang.

Kerjasama dan kekeluargaan ini akan terbentuk dan menjadi pelajaran berharga bagi anak-anak khususnya. Riuh kehangatan keluarga akan sangat terasa. Sambil membuat burasa’ akan muncul obrolan-obrolan ringan hingga senda gurau disela-sela usaha membungkus dan mengikat burasa’.

Dulu, ungkap Rismawidiawati, tradisi membungkus burasa’ sempat dilakukan di teras rumah. Mereka akan memasak burasa’ dengan membuat tungku api di halaman rumah panggung dengan memasak menggunakan panci yang masih terbuat dari tanah liat.

Jika sudah begini, maka para tetangga yang melihat pun akan merasakan lebih bersemangat untuk membuat burasa’ yang terbaik yang akan mereka “tukar” dengan tetangga.

Itu karena mereka yakin bahwa dengan memberikan burasa’ yang terbaik, maka jalinan kekerabatan antara tetangga akan semakin hangat dan erat.

Di tengah pandemi Covid-19 ini mungkin pergerakan antar keluarga dan tetangga akan terbatas. Namun karena pembuatannya terfokus di rumah, maka tradisi ini tentu masih bisa dilakukan oleh setiap keluarga keluarga.

Setidaknya nilai kekeluargaan antar keluarga inti tetap terjalin dan tetap bisa memaknai kesucian Hari Raya Idul Fitri.

Apakah Kawan GNFI sudah menyiapkan burasa’ untuk Lebaran nanti?

Selamat Hari Raya Idul Fitri, Kawan GNFI!

--

Sumber: Kemendikbud | Sahabatnews.com | Kompasiana/Yulianto

--

Baca Juga:

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Dini Nurhadi Yasyi lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Dini Nurhadi Yasyi.

Terima kasih telah membaca sampai di sini