Tradisi Bakar Batok Kelapa Menjelang Idulfitri di Bengkulu

Tradisi Bakar Batok Kelapa Menjelang Idulfitri di Bengkulu
info gambar utama

Kawan GNFI mungkin sebelumnya sudah mengetahui bahwa salah satu tradisi dan budaya yang selalu dilakukan oleh masyarakat Suku Serawai, Kabupaten Bengkulu Selatan, Bengkulu, untuk menyambut Hari Raya Idulfitri.

Tradisi tersebut dikenal dengan tradisi ‘’bakar gunung’’ atau disebut ronjok sayak. Sayak sendiri memang diartikan sebagai batok kelapa dalam bahasa batak.

Bakar gunung ini bukan diartikan sebenarnya membakar gunung, tetapi terlebih pada soal penamaan saja.

Bakar gunung ini dimaknai dengan pembakaran batok kelapa kering yang ditumpuk menjulang lebih dari satu meter seperti tusuk sate layaknya gunung menjulang tinggi.

Bagi Kawan GNFI yang berasal dari Bengkulu, kala asap mengebul di depan rumah-rumah warga, sudah menjadi pemandangan umum.

‘’Apalagi zaman dulu belum ada listrik sebagai penerangan. Jadi pembakaran batok kelapa ini jadi penerang sebagai bentuk sukacita menyambut Idulfitri,’’ kata Sekretaris Bengkulu Heritage Society (BHS), Asnody Restiawan dikutip Republika pada (5/7/2016).

Konon, tradisi ini sudah berlangsung sejak ratusan tahun lalu. Hingga GNFI menerbitkan artikel ini, belum diketahui secara pasti sejak kapan tradisi ini dimulai.

Yang pasti, cara penyebaran agama islam di negeri ini memang selalu dilakukan dengan cara yang menyenangkan oleh para nenek moyang kita.

“Api Jagau” Sebutan Bakar Gunung Lainnya

Tradisi Bakar Batok Kelapa di Bengkulu
info gambar

Belakangan diketahui bahwa tradisi membakar batok kelapa ini juga disebut dengan istilah “api jagau”. Dalam bahasa Serawai api jagau diartikan sebagai api yang menjaga.

Teknis pembakaran batok kelapanya sama dengan ronjok sayak. Hanya saja tingginya lebih spesifik, yaitu harus 1,5 meter. Nantinya batok kelapa yang menjulang itu diberi nama lunjuk. Uniknya, setiap rumah hanya boleh menyalakan satu lunjuk. Alasannya, sebagai wujud perlambangan keesaan Allah SWT.

Kalau pandemi Covid-19 tidak terjadi, biasanya masyarakat juga akan berkumpul di masjid sambil membawa kuliner khas Bengkulu berupa lemang bambu dan tapai ketan hitam. Nantinya, kudapan ini dimakan bersama-sama setelah masyarakat melaksanakan shalat isya, tarawih, dan witir berjamaah.

Setelah kudapan habis, kemeriahan suka cita menyambut Idulfitri tidak akan berhenti sampai disitu. Biasanya warga juga akan menyediakan kursi-kursi di dekat lunjuk agar masyarakat bisa berkumpul bersama dan berbincang-bincang beragam hal.

Termasuk anak-anak yang memanfaatkan waktu bermain pada malam hari di luar.

Bakar Batok Kelapa di Kecamatan Kedurang, Kabupaten Bengkulu

Tradisi Nujuh Likur di Bengkulu
info gambar

Sedikit berbeda yang dilakukan oleh masyarakat Kecamatan Kedurang, Kabupaten Bengkulu. Acara pembakaran batok kelapa yang menjulang tinggi itu tidak disebut ronjok sayak, melainkan disebut nujuh likur.

Dalam bahasa lokal, nujuh likur diartikan sebagai dua puluh tujuh. Jadi, kemeriahan pembakaran batok kelapa di sana justru sudah terjadi pada malam ke-27 Ramadan. Sebagai tanda bahwa puasa tinggal tiga hari dan masyarakat akan turun dari kebun untuk mempersiapkan diri menyambut Idul Fitri.

Maksud turun dari kebun adalah pemaknaan bahwa pada jaman dahulu sebagian besar masyarakat berprofesi sebagai petani. Kala malam ke-27 Ramadan tiba, maka para warga yang berada di ladang atau kebun akan kembali ke rumah masing-masing lebih cepat dari biasanya untuk mempersiapkan diri menyemarakkan Hari Kemenangan.

Bakar Batok Kelapa Ala Masyarakat Rejang

Tradisi Bakar Gunung
info gambar

Tradisi batok kelapa ternyata dinamai berbeda oleh masyarakat Rejang, Kabupaten Bengkulu. Praktiknya sebenarnya masih sama, hanya saja penamaannya yang berbeda, yaitu disebut Opi Malem Likua.

Masyarakat Rejang tetap akan menyalakan tumpukan batok kelapa di depan rumah setiap malam 27 Ramadan. Hanya saja tradisi ini dimaknai agak sedikit berbeda oleh masyarakat Rejang, bukan hanya untuk menyambut sukacita Idulfitri.

Kepercayaan masyarakat Rejang pada malam 27 Ramadan merupakan kembalinya arwah keluarga yang sudah meninggal dan arwah tersebut ingin menengok keluarganya.

Pembakaran batok kelapa itu menjadi penanda agar arwah tidak tersesat. Jika tersesat, maka arwah leluhur tersebut dipercaya tidak akan tenteram karena tidak bisa menemui keluarganya.

Kepulan asap dari hasil pembakaran batok kelapa itu memang semakin menambah kesan magis di langit Bengkulu. Suasana ini juga menjadi ciri khas keeksotisan warga Bengkulu.

Makanan Khas Bengkulu Untuk Idul Fitri

Gulai Sepedeh Khas Bengkulu
info gambar

Selain masih mempertahankan budaya para leluhur dalam menyambut Idul Fitri, ternyata masyarakat Bengkulu punya masakan khas Idulfitri yang selalu tersaji. Layaknya opor ayam, masyarakat Bengkulu, khususnya Kabupaten Mukomuko kerap mamasak gulai sepedeh.

Gulai sepedeh adalah kuliner berbahan daging kerbau. Uniknya bumbu-bumbu untuk mengolah daging kerbau ini harus dimasak setiap satu hari sebelum 1 Syawal. Bahkan tidak hanya saat menyambut Idulfitri, saat penyambutan 1 Ramadan juga masyarakat akan memasak gulai sepedeh dengan ritual yang sama.

Setiap satu hari sebelum Ramadan, maupun Idulfitri, warga Kabupaten Mukomuko di Desa Sungai Ipuh akan menggelar pemotongan hewan kerbau bersama-sama. Hasilnya nanti akan dibagikan ke seluruh warga di desa itu untuk dijadikan gulai sepedeh.

--

Sumber: Republika | Kompas | Liputan6

--

Baca Juga:

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Dini Nurhadi Yasyi lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Dini Nurhadi Yasyi.

Terima kasih telah membaca sampai di sini