Sudah 100 Tahun, Gedung Sate Ternyata Belum Pernah Dipugar

Sudah 100 Tahun, Gedung Sate Ternyata Belum Pernah Dipugar
info gambar utama

Tanggal 3 Desember 1945, pukul 11.00 WIB pecah sebuah perang perjuangan. Sedikitnya 21 pemuda Departemen Pekerjaan Umum kala itu membentuk garis perlindungan untuk menghadang pasukan Gurkha yang disewa Belanda.

Pasukan itu pun disokong dengan pasukan Belanda sendiri melalui Netherlands Indies Civil Administration (NICA).

Misi mereka saat itu cuman satu, merebut kembali sebuah aset yang mereka anggap milik Belanda, yaitu Gedung Sate.

Di sisi lain, para pemuda menganggap bahwa Bandung berhak mendapatkan gedung itu. Bahkan jika dibandingkan dengan lamanya penjajahan Belanda, satu gedung ini seharusnya tidak mampu untuk membayar kesengsaraan bangsa ini.

Perang perjuangan itu pun berlangsung selama empat jam. Tujuh pemuda diketahui tewas pada pertempuran tersebut. Mereka adalah Rio Susilo, Mochtaroedin, Subenget, Soerjono, Soehodo, Didi Hardianto Kamarga, dan Ranu.

Atas keberaniannya dalam menghadapi pasukan Belanda, nama mereka dipahat khusus pada tugu batu yang kini diletakkan di halaman Gedung Sate. Foto dan nama mereka pun sengaja dipampang di dalam Museum Gedung Sate.

Kini, gedung yang mereka pertahankan telah berusia 100 tahun. Tak hanya memiliki kisah perjuangan yang spesial, Gedung Sate rupanya menyimpan hal-hal menarik lainnya.

Dibangun Tanpa Menggunakan Semen

Fakta Unik Gedung Sate
info gambar

Fakta ini dikisahkan Kompas pada 20 Desember 2008 silam. Kala itu petugas keamanan Gedung Sate bernama Yanto Rukmana mengaku banyak mendengar kisah. Salah satunya adalah bahwa Gedung Sate dibangun tanpa menggunakan semen sedikit pun.

Untuk melekatkan rangkaian batu bata itu konon hanya menggunakan putih telur yang dicampur tumbukan batu kapur dan pasir.

Batu-batunya pun diambil khusus dari pegunungan Arcamanik dan Gunung Manglayang dengan kereta gantung untuk menuruni perbukitan Bandung Utara kala itu. Belakangan diketahui bahwa batu-batu yang digunakan masih bisa ditemukan di daerah Bandung Timur, yaitu di Sindanglaya dan Ujungberung saat ini.

Dibuat dengan batu khusus, Gedung Sate diketahui tak mempan dilubangi dengan paku besi biasa. Perlu dilubangi dengan mesin bor terlebih dahulu untuk bisa dimasukkan paku.

Belum Pernah Melalui Tahap Pemugaran

Gedung Sate Tidak Pernah Dipugar
info gambar

Edukator Gedung Sate kini, Winda, menjelaskan kepada Kompas bahwa seluruh batu yang digunakan menggunakan batu jenis batu kali dan batu gelas yang dikenal sangat kuat. Sementara kolom bangunan Gedung Sate diketahui terbuat dari baja asli Swedia.

Pemilihan material itu dinilai menjadi salah satu alasan Gedung Sate masuk ke dalam kategori salah satu gedung yang kuat dan masih mampu berdiri kokoh hingga sekarang.

Fakta menarik dituturkan oleh Winda, bahwa hingga saat ini Gedung Sate masih belum pernah melalui tahap pemugaran bangunan. Hanya renovasi kecil dan pengecatan ulang yang pernah dilakukan. Termasuk revitalisasi untuk memperindah ikon Jawa Barat ini.

Salah satu material bangunan yang tidak kalah kokoh juga diketahui terdapat pada anak tangga berjumlah 61 buah yang menghubungkan lantai satu dengan lantai empat Gedung Sate. Material tangga yang dipilih adalah kayu jati dan hingga kini tak lapuk meski sudah berusia 100 tahun.

Pada fondasi Gedung Sate diketahui menggunakan batuan andesit seperti yang biasa digunakan candi-candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tak heran jika kala itu Gedung Sate kerap disandingkan kemegahannya dengan Candi Borobudur.

Pemilihan material-material terbaik itu pada akhirnya menelan biaya hingga 6 juta gulden. Nilai itu yang kini diabadikan pada ikon tusuk sate dengan enam ornamen sate di bagian puncak gedung.

Perpaduan Sempurna Gaya Indo-Eropa

Gedung karya arsitek Ir. J. Gerber dengan beberapa sentuhan dari saran maestro arsitek Belanda, Dr. Hendrik Petrus Berlage membuat Gedung Sate menuai pujian di mata dunia. Bahkan keanggunannya disandingkan dengan Candi Borobudur.

D. Ruhl dalam bukunya Bandoeng en haar Hoogvlakte (1952) pernah menobatkan Gedung Sate sebagai bangunan terindah di Indonesia.

Bukan tanpa alasan, pasalnya Gedung Sate disebut-sebut sebagai karya yang dengan apik menggabungkan langgam timur (Indonesia) dan barat (Eropa) dengan sangat harmonis.

Diketahui gaya bangunan Gedung Sate bertemakan Renaissance Italia, jendelanya dibuat bergaya Moor Spanyol, lalu menara gedung dibentuk dengan gaya atap pura Bali dan pagoda dari Thailand. Kemudian di bagian timur dan barat Gedung Sate terdapat dua ruang besar dengan gaya ball room atau ruang dansa ala Eropa.

Pembuatan bagian depan Gedung Sate juga diperhitungkan dengan sangat presisi. Mengikuti sumbu poros utara-selatan, Gedung Sate rupanya dibangun menghadap ke arah Gunung Tangkuban Perahu yang berada di sebelah utara dari bangunan ini.

--

‘’Gedung itu (Gedung Sate) jadi bagian departemen sipil (dulunya). Dengan begitu bangunan ini harus menunjukkan role model-nya. Harus kokoh, megah, karena dia contoh simbolnya,’’ ungkap Kurator Museum Gedung Sate, Ridwan Hutagalung, dikutip dari Tribunnews.

Tak heran jika sampai kini, di usia 100 tahun, Gedung Sate masih menjadi salah satu ikon paling dibanggakan warga Jawa Barat, khususnya warga Bandung.

--

Sumber: Kompas | Sejarahlengkap.com | Tribunnews

--

Baca Juga:

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Dini Nurhadi Yasyi lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Dini Nurhadi Yasyi.

Terima kasih telah membaca sampai di sini