Menilik Upaya Indonesia Hadapi Permasalahan Iklim Lewat Pajak Karbon di Tahun 2022

Menilik Upaya Indonesia Hadapi Permasalahan Iklim Lewat Pajak Karbon di Tahun 2022
info gambar utama

Dalam beberapa tahun terakhir, isu perubahan iklim yang bagi beberapa pihak sudah berada di level berbeda dan lebih tepat dipandang sebagai situasi ‘krisis’ iklim semakin gencar mendapatkan perhatian.

Sederet kondisi ekstrem terkait peristiwa alam yang terjadi di berbagai belahan dunia, semakin mendorong sejumlah negara untuk menggencarkan berbagai program yang bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan alam lewat upaya mencapai netzero emission atau emisi nol bersih, termasuk Indonesia.

Berbagai upaya secara langsung tentu sudah dilakukan seperti mulai diterapkannya pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT) di sejumlah wilayah, yang diharapkan dapat meluas dan menggantikan seutuhnya keberadaan penghasil energi berbasis sumber daya fosil seperti batu bara di waktu yang akan datang.

Dalam menyelaraskan upaya tersebut, pemerintah bahkan menetapkan kebijakan yang akhir-akhir ini mendapat banyak perhatian dari berbagai pihak, yaitu penerapan pajak karbon untuk berbagai industri penghasil emisi gas karbon.

Mengundang berbagai pandangan, ada pihak yang merasa bahwa kebijakan tersebut akan mendatangkan dua sisi positif yaitu tambahan pemasukan untuk negara dari sektor industri berskala besar, sekaligus upaya nyata dalam melakukan pembatasan emisi karbon yang dihasilkan.

Namun dari sisi para pelaku industri, banyak pihak yang merasa bahwa kebijakan ini akan mendatangkan tantangan terutama dari segi biaya produksi dan harga komoditas produk, sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan dampak berkelanjutan bagi masyarakat atau konsumen di tingkat akhir.

Lantas bagaimana sebenarnya penerapan pajak karbon yang disebut akan mulai berlaku mulai tahun 2022 di Indonesia?

Upaya Menyeimbangkan Karbon dalam Menghadapi Ancaman Perubahan Iklim

Detail penerapan pajak karbon

Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, meskipun kebijakan pajak karbon sudah lebih dulu diterapkan oleh berbagai negara lain, setidaknya langkah yang dilakukan Indonesia kali ini merupakan bukti nyata dalam menunjukkan keseriusan dan komitmen menghadapi permasalahan iklim yang terjadi.

Pajak karbon sejatinya hanyalah satu dari sederet kebijakan perpajakan yang masuk dalam Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP), yang diajukan oleh pihak Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

Kabar adanya pajak karbon ini sendiri semakin ramai diperbincangkan setelah RUU HPP yang dimaksud telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada hari Kamis, (7/10/2021).

Sebelumnya dalam RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), tarif minimum untuk pajak karbon ditetapkan sebesar Rp75 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e). Namun pada RUU HPP, tarif pajak tersebut turun menjadi Rp30 per kilogram CO2e.

Di berbagai negara yang sudah lebih dulu menerapkan kebijakan ini, sesuai namanya pajak karbon dikenakan atas pemakaian bahan bakar penghasil karbon ataupun berbagai jenis industri yang menghasilkan emisi serupa.

Contoh objek pajak karbon adalah bahan bakar fosil dan emisi yang berasal dari industri atau pabrik, pembangkit listrik, kendaraan bermotor, atau bangunan.

Namun pada rancangan RUU HPP yang sudah disahkan oleh DPR, penerapan pajak karbon di Indonesia yang rencananya akan berlaku mulai bulan April 2022 akan dilakukan secara bertahap, dengan lebih dulu menyasar badan atau industri yang bergerak di bidang pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.

Sehingga bukan tidak mungkin bahwa setelah penerapan perdananya berjalan, penerapan pajak serupa akan dikenakan kepada sektor atau industri lainnya yang menghasilkan emisi gas karbon.

Indonesia 2050: Kendaraan Listrik, dan Ambisi Besar Nol Emisi Karbon

Dua jenis skema yang digunakan

Ilustrasi pajak karbon
info gambar

Berdasarkan penjelasan yang diberikan Kemenkeu, diketahui bahwa selain penerapan pajak karbon (cap and tax) akan ada skema lain yang ditetapkan dalam keberlangsungan industri penghasil emisi gas di tanah air, yaitu perdagangan karbon (cap and trade).

Seperti apa detail dari dua skema tersebut?

Skema pajak karbon (Cap and Tax)

Dalam skema pajak karbon, pajak akan dikenakan atas karbon yang dihasilkan jika melebihi ambang batas yang telah ditetapkan dan diperbolehkan oleh pemerintah.

Misalnya, sebuah PLTU menghasilkan 1 juta ton karbon dalam waktu satu tahun. Namun berdasarkan kebijakan yang ditentukan, karbon yang boleh dihasilkan oleh setiap PLTU ada di ambang batas 700 ribu ton per tahun. Maka, PLTU yang bersangkutan harus membayar 300 ribu ton karbon yang melebihi batas dengan tarif pajak yang telah ditetapkan sebelumnya, dalam hal ini Rp30 per kilogram karbon.

Sementara itu mengenai ambang batas yang akan ditentukan, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa penetapan batas untuk PLTU batu baru akan ditetapkan oleh pihak Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Skema perdagangan karbon (Cap and Trade)

Berbeda dengan skema pajak karbon, badan atau PLTU dan industri lainnya yang menghasilkan emisi gas karbon lebih dari batas bisa membeli sertifikat izin emisi (SIE) atau pemahaman sederhananya sisa kredit izin menghasilkan emisi karbon, dari badan atau industri lain dengan yang menghasilkan emisi masih ada di bawah ambang batas dalam kurun waktu satu tahun.

Contoh sederhananya, ada sebuah pembangkit A yang menghasilkan karbon melebih batas, sementara itu di sisi lain ada pembangkit B yang menghasilkan emisi di bawah batas. Maka pembangkit A bisa membeli SIE atau kredit emisi kepada pembangkit B.

Skema satu ini yang kabarnya akan menjadi pilihan pertama sebelum diajukannya pilihan pajak karbon bagi para pelaku industri tidak hanya PLTU, melainkan juga industri penghasil karbon lainnya di waktu yang akan datang.

“Kalau ada yang mengeluarkan karbon di bawah itu (batas) atau di atas itu bisa dilakukan trading. Kalau dengan trading masih belum bisa juga, kita lakukan carbon tax. Karena itu, carbon tax ini tidak serta merta kemudian diberlakukan. Dia diberlakukannya tentu menunggu seluruh infrastruktur dari carbon market, dari carbon registry." ungkap Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara, dalam pernyataan yang dimuat pada rilis Kemenkeu.

Melihat Kinerja Indonesia dalam Menghadapi Perubahan Iklim

Tantangan yang dihadapi industri

Di balik sisi positif yang ditimbulkan dari adanya kebijakan pajak karbon, tak dimungkiri bahwa hal ini membawa dampak cukup berarti bagi para pelaku industri, yang dapat memengaruhi harga komoditas atau produk yang dihasilkan dari industri lain selain PLTU.

Jika melihat data Domestic Market Obligation (DMO) batu bara dari Kementerian ESDM, hampir semua industri di Indonesia masih menggunakan batu bara sebagai penghasil energi seperti industri pupuk, kertas, tekstil, dan masih banyak lagi.

Penerapan pajak karbon yang diproyeksikan berlaku mulai bulan April tahun 2022 dianggap terlalu terburu-buru. Bukan tanpa alasan, kondisi industri yang dinilai belum pulih sepenuhnya setelah situasi pandemi melanda dinilai sebagai salah satu hal yang membuat penerapan pajak karbon oleh pemerintah perlu mendapat pertimbangan lebih jauh.

Dijelaskan bahwa industri di Indonesia saat ini masih harus menghadapi harga batu bara yang melonjak, biaya logistik yang naik seiring dengan tingginya rantai pasok selama pandemi, naiknya PPN dan PPh, dan kondisi tersebut dirasa akan semakin berat jika muncul tambahan pajak karbon yang harus dibayar.

Momen penerapan pajak karbon dinilai akan memberikan tekanan kepada pelaku usaha serta masyarakat sebagai konsumen akhir akibat dari adanya peningkatan harga produk yang dihasilkan.

Hal tersebut yang pada akhirnya mengundang komentar dari Mohammad Faisal, selaku Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia. Faisal menilai, bahwa perlu ada peta jalan yang jelas terkait implementasi pajak karbon yang akan berlangsung dalam jangka panjang.

“Pelaku industri ingin mengetahui arah pajak karbon seperti apa. Dan yang terpenting, harus ada exit strategy atau solusi yang ditawarkan pemerintah di tengah pandemi seperti ini.” ujar Faisal, seperti yang diwartakan oleh Sindonews.com.

Sementara itu, Suahasil menyatakan bahwa pajak karbon akan diterapkan secara bertahap sesuai peta jalan dengan memperhatikan perkembangan pasar karbon, kesiapan sektor, dan kondisi ekonomi khususnya dalam mendukung green economy Indonesia.

Dirinya juga mengatakan, bahwa pajak karbon akan dilakukan dengan mengedepankan prinsip keadilan dan keterjangkauan dengan memperhatikan iklim berusaha dan masyarakat kecil.

Penghargaan Norwegia untuk Indonesia yang Berhasil Turunkan Emisi Karbon

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Siti Nur Arifa lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Siti Nur Arifa.

Terima kasih telah membaca sampai di sini