Memori Masjid Islamic Center Jakarta dari Puing Lokalisasi Terbesar di Asia Tenggara

Memori Masjid Islamic Center Jakarta dari Puing Lokalisasi Terbesar di Asia Tenggara
info gambar utama

Masjid Islamic Center Jakarta terbakar hebat pada Rabu (19/10/2022). Masjid yang berlokasi di Kecamatan Koja, Jakarta Utara ini berdiri di atas lahan bekas Lokasi Resosialisasi (Lokres) Kramat Tunggak, Tanjung Priok, Jakarta Utara.

Dilansir dari laman Islamic Center, Lokres Kramat Tunggak adalah sebuah Panti Sosial Karya Wanita (PKSW) Teratai Harapan Kramat Tunggak. Areal tersebut menempati lahan seluas 109.435 m2 yang terdiri dari sembilan Rukun Tetangga (RT).

Dulu Kramat Tunggak menjadi salah satu lokalisasi legal dan diakui sebagai yang terbesar di Asia Tenggara. Lokalisasi Kramat Tunggak merupakan lokasi rehabilitasi yang diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta kala itu Ali Sadikin.

Pembangunan Kawasan Menteng Abad 20: Bergaya Eropa untuk Kalangan Berada

Hal ini setelah dirinya membuat kebijakan melalui SK Gubernur DKI Jakarta No. CA 7/I/13/1970 tanggal 27 April 1970. Di dalam SK tersebut berisikan tentang Pelaksanaan Usaha Lokalisasi Perempuan Tuna Susila serta Pembidangan Tugas dan Tanggung Jawab.

Ide lokalisasi Kramat Tunggak berawal dari kunjungan Ali ke Bangkok, Thailand yang terkenal dengan “Industri Seks”. Kepada orang kedutaan Indonesia di Thailand, Ali menanyakan tempat industri seks karena dirinya tak melihatnya selama di Bangkok.

Orang kedutaan itu menyebut tempat-tempat pelacuran di Bangkok dilokalisasi. Dirinya pun meminta kepada orang kedutaan untuk membawanya ke tempat lokalisasi itu. Ali pun cukup terkesan dengan kebijakan tersebut.

“Setelah itu, Ali terpikir untuk menerapkan kebijakan yang sama di Jakarta,” tulis Ramadhan KH dalam Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977.

Diprotes banyak pihak

Ramadhan KH dalam buku Ali Sadikin Membenahi Jakarta Menjadi Kota yang Manusiawi menyebut Bang Ali meresmikan Kramat Tunggak dengan tujuan memperindah kawasan ibu kota saat itu.

Pasalnya, lokalisasi Kramat Tunggak itu dibangun untuk membina pekerja seks yang dulunya bekerja di daerah Pasar Senen, Kramat, dan Pejompongan. Bang Ali melihat ini merupakan salah satu solusi.

“Agar Ibu Kota kita ini tidak kelihatan kotor, tidak jorok, itulah yang kemudian menjadi policy saya untuk memindahkan wanita “P” dari Senen, dari daerah Kramat Raya yang berseliweran dengan kupu-kupu malam itu, ke Kramat Tunggak,” kata Ali.

Tetapi keputusan Ali untuk melokalisasi wanita kupu-kupu malam ini ke Kramat Tunggak sempat mendapat pertentangan keras. Selain dari kaum ulama, dirinya juga harus menghadapi Kesatuan Aksi Wanita Indonesia (KAWI).

KKOTA Street Kiosk sebagai Ruang Interaksi dan Kreasi UMKM di Pusat Kota Jakarta

Delegasi Presidium KAWI Pusat pun sempat menemui Ali. Disebutkan oleh Ali, para anggota KAWI menyangkanya memperbolehkan eksploitasi manusia atas manusia, merendahkan derajat wanita dan menjauhkan kemungkinan rehabilitasi.

Karena itu KAWI mengajak Ali untuk bersama mengurangi jumlah pekerja seks komersial (PSK) dan meningkatkan sanksi untuk menindak germo-germo yang menjadi biang pelacuran. Ali sepakat dengan ide tersebut.

Bang Ali lantas membentuk panitia kecil untuk mengatasi pelacuran dengan melibatkan KAWI sebagai panitia. Dirinya melibatkan KAWI agar mereka menyaksikan keadaaan sebenarnya dan mengatasi persoalan sesungguhnya.

“Setelah panitia kecil bekerja, kesimpulan saya, tetap menanggulanginya tepat dengan melokalisasi mereka, melokalisasi berarti mempersempit gerak mereka dan dengan demikian akan terbina apa yang diharapkan sebagai “menghapuskan pemandangan kurang sedap di tepi-tepi jalan,” jelas Ali.

Ditutup Sutiyoso

Tetapi harapan Bang Ali agar Kramat Tunggak jadi tempat pembinaan jauh api dari panggang. Lokasi berkumpulnya para pekerja seks ini malah menjadi lahan basah bagi sejumlah mucikari untuk membujuk mereka kembali bekerja sebagai wanita penghibur.

Lokalisasi Kramat Tunggak terus dikenal masyarakat sebagai tempat “kotor”. Warga sekitar pun mendesak agar lokalisasi Kramat Tunggak ditutup. Apalagi semakin tahun, pekerja seks di sana pun terus meningkat.

Pada tahun 1990-an, tercatat lokalisasi Kramat Tunggak dihuni oleh lebih dari 2.000 pekerja seks dengan pengawasan 258 mucikari dan 700 orang pembantu pengasuh, 800 pedagang asongan, dan 155 orang tukang ojek.

Pada era kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso wacana penggusuran lokalisasi Kramat Tunggak mulai muncul. Dia pun mulai melakukan pendekatan untuk membuat rekayasa sosial soal lokalisasi Kramat Tunggak.

Geliat Taman Ismail Marzuki Kembali Bergairah Ditengah Isu Komersialisasi

Dirinya kemudian membentuk sebuah tim yang bertugas membuat rekayasa sosial tersebut, termasuk dampak pasca penggusuran. Sebelum menggusur, Pemprov DKI menawarkan uang ganti kepada para mucikari, sedangkan ribuan PSK diberi pendampingan.

“Mereka juga difasilitasi untuk kegiatan setelah pensiun dari PSK. Ikut kursus menjahit, masak, tata boga, dan lain-lain,” kata Ricardo Hutahean mantan anggota Tim Kajian Pembongkaran Kramat Tunggak yang diwartakan Kompas.

Akhirnya Kramat Tunggak resmi ditutup Pemprov DKI Jakarta pada 31 Desember 1999. Untuk membersihkan Kramat Tunggak, Sutiyoso kemudian melontarkan ide mendirikan Jakarta Islamic Centre.

JIC diresmikan oleh Sutiyoso pada 4 Maret 2003. Ingat bingar dunia gemerlap yang melekat di kawasan itu perlahan memudar dan digantikan dengan lantunan suara anak manusia melafalkan ayat-ayat Al-Quran.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini