Pegiat Lingkungan Pemutus Rantai Kemiskinan Anak Pemuluk

Pegiat Lingkungan Pemutus Rantai Kemiskinan Anak Pemuluk
info gambar utama

Di antara gemerlap perumahan cluster yang kokoh dan gemerlap, ada segelintir orang pagi-pagi buta mengais-ais barang rongsokan di antara tumpukan sampah yang dibuang dari rumah Pemulung adalah profesi yang tak diinginkan tiap orang, tapi bagi pemulung terpaksa memilih profesi itu adalah pilihan hidup.

Seorang anak lelaki usia 8 tahun, dengan baju yang lusuh, tanpa kasut. Dia membawa karung dari goni dan sebuah tongkat besi dan topi caping di kepalanya. Anak seusai dia masih bangun pagi dan bergegas ke sekolah, tetapi tidak dengan anak lelaki ini harus menemani ayahnya bekerja mencari barang rongsokan. Langkahnya tergesa-gesa mengikuti Langkah kaki ayahnya yang lebih cepat dan tak pernah berhenti melihat ke belakang anak yang tertinggal.

“Ayah, jangan cepat-cepat. Aku ngga bisa lari . Nanti dikejar anjing jika aku lari!” seru anak itu.

“Yah, kita harus sepagi mungkin untuk mengambil barang-barang rongsokan yang dibuang bersama sampah. Nanti ketinggalan dengan pemulung yang lainnya. Kita ngga kebagian, deh!”

“Aduh, aku ingin istirahat sebentar karena kakiku sakit terkena batu!” serunya.

“Nanti saja diobatinya. Sekarang harus kejar rezeki dulu sebelum diambil oleh orang lain!”

Itulah percakapan dini hari jam 6.00 pagi ketika sebagian orang masih terlelap tidur, atau sedang menyiapkan diri untuk mengantar anak ke sekolah sekalian bekerja.

Bekerja di tempat sampah yang dianggap menjijikkan adalah suatu kondisi yang tidak diinginkan oleh hampir setiap orang. Tetapi pemulung-pemulung yang punya lokasi khusus di daerah Lapak Pemulung Putri Jaya, Jalan Caraka Buana, Tangerang Selatan itu tak punya pilihan untuk pekerjaan lain.

Selain Bendera Kuning, Ada Warna Lain yang Melambangkan Duka di Indonesia

Kehidupan kemiskinan yang terus menjerat karena tidak adanya akses pendidikan bagi anak-anak pemulung. Ketika suami-istri pemulung menikah, mereka tak resmi menikah atau menikah siri sehingga tak ada selembar dokumen resmi yang membuktikan pernikahan mereka.

Bahkan, mereka tak punya surat-surat identitas seperti KTP sehingga mereka tak punya akses untuk bantuan sosial apa pun. RT maupun RW tak bisa bergerak lebih jauh karena tak ada identitas resmi yang mereka miliki.

Begitu mereka memiliki anak, anak pun tak memiliki akter lahir. Tanpa akte lahir, anak tak bisa mengakses pendidikan. Apalagi biaya untuk masuk sekolah meskipun ada sekolah negeri pun, tetap memerlukan biaya dan dana yang mahal.

Anak-anak tanpa pendidikan itu akan besar dalam lingkungan yang tak sehat tanpa bekal ilmu dan masa depan yang baik. Hal inilah yang menyentuh seorang pegiat sosial yang bernama Siti Salmah. Siti panggilannya seorang pegiat sosial lingkungan itu bertemu dengan anak-anak pemulung di daerah Tangerang Selatan.

Adalah Siti Salamah, seorang perempuan usia 34 tahun, pegiat sosial lingkungan yang telah berkiprah dengan mendirikan Rumah Pohon. Rumah Pohon awalnya bernama Taman Maghrib Mengaji. Siti memiliki beberapa orang sahabat yang tergerak untuk melakukan kegiatan sosial untuk mengentaskan kemiskinan anak-anak pemulung.

Salah satu sahabatnya adalah Ranitya Nurlita. Ranitya seorang perempuan lulusan perikanan. Dalam rangka Youth Forum, Ranitya mendapat kesempatan untuk melihat pengelolaan sampah di Colorado. Di sana dia melihat bagaimana pengelolaan sampah yang bersih dan rapi dan dilakukan dengan peralatan yang canggih. Hasilnya sampah itu dapat ditransformasikan menjadi daur ulang maupun fertilizer yang dapat dimanfaatkan.

Hal ini tidak didapatkan di tempat pengelolaan sampah seperti di Bantargebang. Di sana sampah dipilah, sebagian besar diproses dijadikan kompos dan dipadatkan jadi bukit sampah. Perbedaan yang mencolok itu karena adanya fasilitas yang disediakan oleh Pemerintah dan teknologi yang mendukung.

Pulau Sebira, Daratan yang Menyendiri di Pelupuk Cakrawala Ibu Kota

Nach Ranitya telah kembali dari Colorado. Siti dan Ranitya bertemu dengan satu proyek untuk pembinaan dan pemberdayaan anak pemulung dan edukasi tentang sampah.

Pemberdayaan pemulung dimulai dengan terjun memilah jenis sampah, mengumpulkan sampah organik dan mengolahnya, lalu untuk sampah anorganik, diberikan kepada Bank Sampah. Dana atau uang yang didapatkan dari Bank Sampah, akan langsung diberikan kepada pemulung .

Uang hasil dari bank sampah itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mereka juga dibagi dan dikoordinasi untuk diarahkan untuk bekerja dalam standar alur kerja yang benar dari suatu proses pemilahan sehingga bank sampah itu sudah menerima sampah dalam bentuk yang sudah bersih. Contohnya botol bekas minuman, harus dibersihkan dulu sebelum diserahkan kepada Bank Sampah.

Lalu anak-anak pemulung itu yang memang sangat serius untuk bersekolah atau belajar secara formal. Untuk belajar secara formal, mereka bekerja sama dengan sponsor seperti sponsor Homeschooling Kak Seto. Juga mereka boleh mengambil paket A, B dan C. Ada diantara mereka yang belajar mengaji di Taman Magrib Mengaji.

Pegiat Sosial Terus Bekerja dan Belajar

Para pegiat sosial pun tak berhenti belajar dan bekerja. Siti, Nurlita, dan Yusuf selalu giat untuk berkompetisi dalam Gerakan Sosial. Dalam kompetisi yang diikuti seperti Youth Action Forum pesertanya hampir 60 pemuda pemudi Indonesia.

Proposal yang diajukan oleh Kelompok Siti adalah gagasan untuk mentoring para pemulung dengan bantuan yang terintegrasi dari perangkat teknologi. Perangkat teknologi yang berhasil dibuat adalah sebuah program baru, yaitu wastehub.id. Dalam aplikasi ini merupakan B to B plan atau business to business plan. Jadi penawaran untuk pemberi proyek atau instansi dengan kelompok pemulung.

Contohnya apabila suatu instansi sedang mengadakan event . Event itu tentunya diikuti banyak peserta. Ketika peserta yang datang itu membawa sampah baik makanan maupun minuman, maka dibutuhkan pembersihan sampah.

Pembersihan sampah itu harus dilakukan dengan manajemen sampah yang sudah dipelajari sebelumnya. Akhirnya proposal pun berhasil dimenangkan. Semua pegiat mendapatkan manfaatnya karena mereka dipimpin menjadi pemimpin sosial yang cerdas, pembelajaran aplikatif.

Pembekalan diri ini diselenggarakan oleh Bakrie Center Foundation yang tergabung dalam suatu Gerakan yang disebut “Leadership Experience and Development” (LEAD). Dengan mengikuti program ini peserta atau pegiat sosial makin profesional dalam menjalankan visi sosial sehingga tercapai misi Indonesia adil dan Makmur.

Saat Pandemi

Tanpa disangka Covid datang, pemulung yang punya beberapa proyek terhenti pekerjaannya karena tidak ada kegiatan onsite. Semua serba online. Makin terbatasnya kegiatan membuat makin kecil penghasilan pemulung. Namun, pegiat pun tak berhenti untuk melahirkan ide baru agar pemulung tetap bisa menghasilkan uang . Maka, diadakanlah training agar mereka dapat melakukan pengolahan sampah untuk menjadi produk baru dan akhirnya bisa menjualnya.

Hal ini juga diharapkan bisa mengundang aktivis daur ulang dengan pengalaman dan praktek yang baru untuk membuat daur ulang dari sampah yang dulunya tak bermanfaat bisa jadi barang bermanfaat dan dijual.

Model, Hidangan Turunan Pempek Berkuah Segar Khas Palembang

Akhirnya timbul ide baru untuk menawarkan diri untuk “Pilah Sampah dari Rumah,” di mana apabila suatu pemukiman membutuhkan tenaga untuk memilah sampah, maka dipanggillah koordinator pemulung. Mereka akan mengorganisasikan anak buahnya dan langsung bekerja dan menyerahkan kepada Bank Sampah. Setiap langkah sekecil apa pun jadi acuan agar memutuskan rantai kemiskinan pemulung dan mereka bisa menikmati pendidikan dan sejahtera selayaknya seorang manusia yang berhak atas sejahtera dan bahagia.



Sumber: Wawancara Siti Salamah

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

IT
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini