Historiografi Genealogi serta Eksistensi 5 Pangeran Kerajaan Luwu di Tanah Melayu

Historiografi Genealogi serta Eksistensi 5 Pangeran Kerajaan Luwu di Tanah Melayu
info gambar utama

Berbicara tentang Tana Luwu, tidak terbatas pada Mahakarya Epos I Lagaligo yang merupakan salah satu warisan sastra kuno Tana Luwu yang cukup masyhur di kalangan penikmat sejarah dan sastra dunia. Kali ini penulis akan membahas tentang kisah 5 Pangeran Kerajaan Luwu beserta keturunannya yang tersebar di berbagai wilayah Nusantara maupun negara tetangga seperti Malaysia & Singapura bahkan Kamboja.

Dibedah dari salah satu sumber Melayu, yaitu Naskah Tuhfat Al-Nafis (Hadiah Berharga Tentang Sejarah Melayu) karya Raja Ali Haji yang naskahnya diawali dengan rangkuman yang diambil dari Sulalatus Salatin (Sejarah Melayu), yang menceritakan sejarah Kesultanan Johor-Riau, serta manuver militer dan diplomasi Pangeran Tana Luwu yang memperoleh posisi penting di negara bagian Riau, Selangor, Sambas & Matan-Sukadana.

https://biduandarajalela.wordpress.com/2018/03/03/pahlawan-opu-bugis-daeng-lima-bersaudara/
Peta pergolakan politik 5 Bersaudara di Kerajaan Johor-Riau & Negeri Melayu/ Foto: Persatuan WBP Negeri Sembilan

Selain itu, juga memadukan sejarah pelbagai Negeri Melayu seperti Siak, Kedah, Selangor, Kelantan & Pesisir Barat Kalimantan.

Peta pergolakan politik Opu Daeng 5 Bersaudara di pesisir Kalimantan (https://biduandarajalela.wordpress.com/2018/03/03/pahlawan-opu-bugis-daeng-lima-bersaudara/)
info gambar

5 Opu Bersaudara adalah anak dari Opu Daeng Rilakka' keturunan La Maddusila yang merupakan anak dari We Tenri Leleang Petta Matinroe ri Soreang Pajung ri Luwu XXIV & XXVI bergelar Sultana Aisyah dari perkawinannya dengan La Mallarangeng Datu Lompulle Datu Marioriawa Datu Tanete.

We Tenri Leleang sendiri menikah tiga kali dan merupakan pemimpin perempuan yang menjadi penghubung sentral dalam garis keturunan raja-raja besar di Sulawesi yang keturunannya menjadi raja dan ratu yang mendominasi pergolakan politik di Asia Tenggara sejak abad ke-18 hingga sekarang.

Meskipun secara eksistensial Kerajaan Luwu bukanlah sebagai kerajaan penakluk dengan kekuatan militernya seperti Gowa & Bone, keturunan Luwu memiliki pengaruh yang luas berkat Kemuliaannya. Dalam silsilah Raja-raja di Sulawesi Selatan pada abad XVIII-XX, hampir semua penguasa Tellue ri Cappa'gala (Luwu, Bone, Gowa), Tellumpoccoe (Bone, Wajo, Soppeng), LimaE ri Ajatappareng (Sidenreng, Sawitto, Suppa, Rappang, Alitta), Tanete, Berru, Pangkajene (Pangkep), Enrekang dan Maiwa adalah keturunan dari We Tenri Leleang yang tidak lain adalah Pajung ri Luwu (Pemimpin Kerajaan Luwu) XXIV & XXVI.

Menurut naskah Kitab Silsilah dan Hikayat Raja-Raja Sebelah Mempawah dan Pontianak dan Matan dan Sambas dan Riau dan Selangor, sosok 5 Opu Bersaudara memiliki karakter kuat (pelaut tangguh, pekerja keras), serta memiliki keterampilan strategi yang matang, baik strategi perang maupun pernikahan politik.

Di dalam naskah tersebut juga menggambarkan sosok 5 Opu Bersaudara dan keturunannya yang religius dalam mengamalkan nilai-nilai religi dalam menjalankan dan mengembangkan kerajaan yang dipimpinnya.

I LA GALIGO: Mahakarya, Teologi Purba & Peradaban Tana Luwu Yang Mendunia

Dapat dikatakan bahwa dalam perjalanan dan pelayaran 5 Opu Bersaudara itu meramu tiga hal pokok, yaitu diplomasi, perang dan perkawinan politik para bangsawan. 5 Opu Bersaudara tersebut adalah:

1. Opu Daeng Parani

Dia adalah kakak tertua dari 5 Opu Bersaudara yang kemudian menikah dengan Putri Raja Selangor, kemudian menikah lagi dengan adik dari Raja Kedah. Opu Daeng Parani terlibat dalam politik Kesultanan Johor pada awal abad ke-18.

Dalam naskah Tuhfat Al-Nafis disebutkan bahwa Opu Daeng Parani dan keempat saudaranya dijemput oleh Sultan Muhammad Jiwa (Sultan Kedah) untuk membantunya dalam pertempuran melawan Sultan Abdul Jalil Rahmat Shah (Raja Kecik) yang kalah di pertempuran pertama, tetapi pada pertempuran kedua Opu Daeng Parani dan pasukannya berhasil dikalahkan oleh Raja Kecik dan mengakibatkan kematian Opu Daeng Parani setelah tertembak di Kedah.

Opu Daeng Parani memiliki 2 orang anak, yaitu Daeng Kamboja yang dinobatkan sebagai Yang Dipertuan Muda Riau III menggantikan pamannya Opu Daeng Cella'.

Nama Daeng Kamboja sendiri diambil setelah Opu Daeng Parani berhasil memenangkan pertandingan sabung ayam dengan Raja Culan di Kamboja. Setelah kembali dari Kamboja, lahirlah putranya yang diberi nama Daeng Kamboja. Lalu anak keduanya bernama Daeng Tijah, yang menjadi menantu Raja Alam dari Siak.

Kawasan yang disebut-sebut sebagai makam Opu Daeng Parani (daengpajokka.blogspot.com)
info gambar

2. Opu Daeng Marewa

Setelah memenangkan pertempuran melawan Raja Kecik pada perang pertama, beliau diangkat oleh Sultan Johor yaitu Sultan Sulaiman Badrul'alam Syah sebagai Yang Dipertuan Muda Riau I yang setara dengan Perdana Menteri, yang berwenang memerintah wilayah Johor.

Kesultanan Johor sendiri didirikan oleh Sultan Riayat Syah II pada tahun 1528 yang sebelumnya merupakan bagian dari Kesultanan Malaka sebelum Portugis menaklukkan ibu kota Malaka pada tahun 1511.

Kemudian pada 1824 di masa imperialisme Inggris Raya dan Belanda, Kesultanan Johor terpecah menjadi dua Kesultanan, yaitu Kesultanan Johor dan Kesultanan Lingga - Riau.Tepatnya pada tanggal 17 Maret 1824 melalui Perjanjian London (Treaty of London) yang merupakan penandatanganan antara Kerajaan Inggris Raya dan Kerajaan Belanda.

Disepakati bahwa Kesultanan Johor berada di bawah pengaruh Britania Raya sedangkan Kesultanan Lingga berada di bawah pengaruh Hindia Belanda. Setelah munculnya Kerajaan Lingga yang meliputi Provinsi Kepulauan Riau, Sultan Abdul Rahman bergelar Muazzam Syah diangkat sebagai pendiri dan Sultan I Kerajaan Lingga.

Hingga tahun 1963 setelah kemerdekaan Negara Malaysia, Johor kemudian menjadi negara bagian Malaysia setelah dijajah oleh Inggris dan Belanda.

Kegemilangan Luwu: Dari Pamor Besi Berkualitas hingga Kilau Nikel
Makam Opu Daeng Marewa (https://www.tempatwisata.pro/wisata/Makam-Daeng-Celak-Dan-Daeng-Marewa)
info gambar

3. Opu Daeng Cella'

Beliau memiliki 2 putra yaitu Raja Lumun yang dinobatkan sebagai Sultan Selangor I bergelar Sultan Salehuddin, dan saudara Raja Lumun Raja Haji yang dikenal dengan Raja Haji Fiisabilillah adalah Raja (Yang Dipertuan Muda) di Kerajaan Riau-Lingga-Johor - Pahang IV menggantikan sepupunya, Daeng Kamboja, yang dinobatkan sebagai Yang Dipertuan Muda Riau III ketika Raja Haji masih muda dan tidak memenuhi syarat untuk menggantikan ayahnya Opu Daeng Cella' Yang Dipertuan Muda Riau II setelah wafat pada tahun 1745.

 Makam Opu Daeng Cella di Kota Lama, Kepulauan Riau (https://www.tempatwisata.pro/wisata/Makam-Daeng-Celak-Dan-Daeng-Marewa)
info gambar

Raja Haji berkat keberaniannya melawan VOC dijuluki sebagai Pangeran Sutawijaya (Panembahan Senopati) dari Jambi dan Hannibal dari Riau. Raja Haji juga dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional dan namanya diabadikan pada nama Bandara Internasional di Tanjung Pinang dan nama sebuah masjid di Selangor Malaysia yaitu Masjid Raja Haji Fiisabilillah.

Raja Haji kemudian memiliki seorang cucu laki-laki bernama Raja Ali Haji yang merupakan penulis Naskah Tuhfat Al-Nafis, beliau juga dikenal sebagai pencatat pertama buku standar Bahasa Melayu Baku yang kemudian menjadi Bahasa Nasional, Bahasa Indonesia di Kongres Pemuda tanggal 28 Oktober 1928.

Selain itu, beliau juga dikenal agamis dan memiliki kedalaman keagamaan yang kuat dan sangat kental. Hal ini terlihat pada salah satu karyanya yang terkenal “Gurindam Dua Belas” yang merupakan hasil perjalanan dan perenungan intelektual dan spiritualnya dalam bentuk falsafah hidup yang ditulis pada usia 38 tahun, berisi tentang masalah keimanan dan tasawuf, Prinsip Islam, Syariat Islam, moral dan konsep pemerintahan.

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Gurindam-Dua-Belas
Gurindam Dua Belas Pasal Pertama & Kedua Terlampir di Tembok Makam Engku Puteri Hamidah di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau/ Foto: Wikipedia

Pada 5 November 2004, beliau ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional oleh pemerintah Republik Indonesia dan dijuluki sebagai Bapak Bahasa Indonesia.

Pacco dan Lawa, Hidangan Ikan Mentah khas Kabupaten Luwu
 Raja Ali Haji Bapak Bahasa Indonesia & Penulis Naskah Tuhfat Al-Nafis keturunan Opu Daeng Cella' (https://commons.m.wikimedia.org/wiki/File:Raja_Ali_Haji.jpg)
Raja Ali Haji
Bapak Bahasa Indonesia &
Penulis Tuhfat Al-Nafis

(keturunan Opu Daeng Cella')

4. Opu Daeng Manambon

Setelah melalui pergolakan politik yang panjang kemudian naik takhta menjadi Raja Mempawah yang pertama, memerintah dari tahun 1695-1763 bergelar Pangeran Mas Surya Negara.

Dia menikah dengan Ratu Agung Senuhun (Putri Kesumba) dan melahirkan Utin Candramidi yang kemudian menikah dengan Sri Paduka Sultan Syarif Abdurrahman (Sultan Pontianak) yang turunannya sampai pada Sultan Hamid II yang menjadi Sultan Qadariah Pontianak, yang merupakan pencetus Lambang Nasional Burung Garuda.

Opu Daeng Manambon meninggal pada 1763, dan di antara saudara-saudaranya yang lain, ia banyak diceritakan dalam naskah Tuhfat Al-Nafis.

 Sultan Hamid II Pemrakarsa Lambang Nasional Burung Garuda keturunan Opu Daeng Manambon (https://id.m.wikipedia.org/wiki/Syarif_Hamid_II_dari_Pontianak)
info gambar

 Makam Opu Daeng Manambon,Raja pertama Kerajaan Mempawah (https://indonesiakaya.com/pustaka-indonesia/napak-tilas-di-makam-opu-daeng-menambon/)
info gambar

5. Opu Daeng Kemasi

Dia adalah adik bungsu dari 5 Opu Bersaudara yang dalam perjalanannya sangat terkenal dalam sejarah dunia Melayu pada abad ke-18. Ia menikah dengan Raden Tengah, adik Sultan Sambas & diberi gelar Pangeran Mangkubumi. Ia meninggal di Sambas & dimakamkan di kompleks pemakaman Raja-Raja Sambas, tepatnya di belakang Keraton Sambas.

Keraton Sambas (https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbkaltim/konservasi-keraton-sambas-kalimantan-barat/)
info gambar

Makam Opu Daeng Kemasi (artmelayu.blogsot.com)
info gambar

Dapat disimpulkan bahwa eksistensi 5 Pangeran Luwu tersebut memperkaya persilangan kultur & budaya serta hubungan kekerabatan antar entitas Kerajaan Luwu & Melayu, baik melalui perkawinan maupun visi diplomasi & sikap kepemimpinan dengan nilai-nilai ​yang melekat pada nafas Bija To Luwu (Orang Luwu ), yakni barani (berani), macca (berintelektual) na malambu (keselarasan antara kata & tindakan).

Sayangnya, kebesaran Luwu sebagai salah satu sentrum genealogi manusia yang meramu peradaban di Republik ini nyaris punah, baik sebagai sumbu pengetahuan sejarah yang orisinil bagi generasi muda apalagi sebagai pahaman entitas suku bangsa ataukah bangsa yang bersuku.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan. Artikel ini dilengkapi fitur Wikipedia Preview, kerjasama Wikimedia Foundation dan Good News From Indonesia.

Terima kasih telah membaca sampai di sini