Ikatan Persaudaran Tapol dengan Warga Asli Pulau Buru di Balik Ujung Bedil

Ikatan Persaudaran Tapol dengan Warga Asli Pulau Buru di Balik Ujung Bedil
info gambar utama

Tali persaudaraan antara penduduk asli Pulau Buru dengan para tahanan politik (tapol) yang dibuang pada tahun 1969 masih terjalin kuat. Walau pada awal masa, hukuman fisik siap-siap menanti para tapol bila ketahuan bertemu dengan penduduk asli Pulau Buru.

Sejak mereka dituding terlibat dalam Partai Komunis Indonesia (PKI), tentara selalu memantau gerakan para tapol. Kepada penduduk asli, tentara pun mengingatkan agar tidak menemui para tahanan.

Hobi Baca Buku, Ini Dia Rekomendasi Buku ala Najwa Shihab

Agar pertemuan tidak terjadi, tentara bahkan sampai menyebarkan isu bahwa para tahanan sebagai pemakan manusia. Tetapi larangan itu tidak selamanya efektif, karena diam-diam mereka tetap menjalin hubungan.

“Kami tetap berupaya untuk bertemu, bahkan menjalin komunikasi dengan orang Buru,” ujar Ronni Munawar, salah satu bekas tapol yang kini tinggal di Desa Parbulu, Waeapo, Pulau Buru.

Ancaman bedil

Ronni menyatakan tidak mudah menemui penduduk asli Pulau Buru saat itu, apalagi mereka masih hidup nomaden. Hal yang bisa dilakukan oleh Ronni beserta sejumlah rekannya hanya menunggu di hutan.

Awalnya yang mereka lakukan hanya melihat seperti apa aktivitas penduduk asli. Tetapi lambat laun, timbul keinginan untuk bisa berinteraksi dengan mereka. Ronni masih ingat kata dagosa sebagai ucapan pertama kali yang dilontarkan warga asli Buru.

Pulau Buru: Dulu Hutan Belantara, Kini Menjadi Surga

Kosakata dagosa memiliki arti baik, orang asli Buru bermaksud mengatakan bahwa pemberiaan barang-barang seperti beras dan tembakau dari tapol buru menunjukkan bahwa mereka bukan orang jahat.

“Kontras dengan apa yang yang disosialisasikan oleh tentara,” paparnya.

Pertemuan itu menjadi awal dari banyak pertemuan selanjutnya. Intensnya pertemuan itu membuat bahasa yang berbeda tidak lagi jadi kendala. Penduduk asli Pulau Buru mempelajari bahasa Indonesia, begitu pula tapol belajar bahasa Pulau Buru.

Menetap dan menikah

Interaksi sosial yang terjalin membuat penduduk asli Buru merasa bahwa para tapol adalah saudara mereka. Sebutan bapak angkat dan anak angkat menjadi hal yang biasa saat itu sebagai simbol persaudaraan yang terjalin.

Bahkan tidak sedikit tapol yang kemudian menikah dengan penduduk asli Pulau Buru, Kacung salah satunya. Pria asal Tuban, Jawa Tengah ini menikah dengan Siti Fatimah Dawan dan tinggal di permukiman warga asli Pulau Buru.

Tanaman Hotong, Panganan Lokal Simbol Jati Diri Masyarakat Pulau Buru

Saat menikah, Kacung sudah berusia 50 tahun, sementara Fatimah masih 18 tahun. Tetapi orang tua Siti sudah sangat percaya dan akrab dengan Kacung sehingga mempersilahkannya untuk menikahi anaknya.

Walau banyak juga tapol Buru yang memilih kembali ke Pulau Jawa. Sekitar 10.000 tahanan saat dibebaskan sejak tahun 1977 sampai 1979. Penduduk asli Pulau Buru sangat kehilangan mereka.

“Warga mendatangi barak-barak mereka, ikut melepas kepergian mereka, bahkan berharap mereka tidak pergi. Banyak warga yang sampai menangis,” kenang Mone.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini