Kenali Nagari Pandai Sikek yang Ekonomi Warganya Bergantung dari Kain Tenun

Kenali Nagari Pandai Sikek yang Ekonomi Warganya Bergantung dari Kain Tenun
info gambar utama

Keterampilan menenun di Sumatra Barat telah ada sejak berabad-abad silam. Di Nagari Pandai Sikek, misalnya setiap anak perempuan diperkenalkan dengan budaya menenun sejak usia belia.

Bahkan ada semacam pandangan bahwa jika tak pandai menenun, bukanlah perempuan Pandai Sikek. Tak mengherankan jika tenun Pandai Sikek menjadi salah satu kain khas Sumbar yang motifnya telah berusia 300 tahun.

Tradisi Badoncek, Cara Rakyat Minangkabau Bersolidaritas Danai Perantau

Susmita, warga Nagari Pandai Sikek sejak pagi telah duduk di atas bangku di belakang panta (alat tenun bukan mesin) yang terbuat dari kayu berukuran 1,5 meter x 2 meter. Hari itu dia melanjutkan pekerjaan menenun kain songket pesanan pelanggannya.

“Sudah sebulan saya kerjakan dan belum selesai. Dalam sehari, saya hanya menyelesaikan tujuh sentimeter. Padahal, saya sudah bekerja delapan jam sehari,” kata Susmita yang dimuat Kompas.

Kerumitan motif

Ilustrasi Tenun Pandai Sikek/Flickr
info gambar

Perempuan yang telah menenun sejak usia 12 tahun itu mengatakan dirinya tak bisa bekerja cepat, bukan karena faktor usia melainkan karena kerumitan motif kain. Menurut pemilik usaha Puti Rumah Gadang ini menenun butuh ketelitian dan kesabaran.

Kakinya biasa memijak tijak, bagian alat tenun yang berfungsi menaikturunkan benang. Dengan alat bernama pancukia, perempuan itu mencungkil satu per satu lungsin atau benang dasar yang membentuk kain.

Dia kemudian memasukan benang emas untuk membuat motif berbentuk belah ketupat. Selanjutnya, Susmita menarik suri atau sisir tenun untuk mendapatkan benang emas yang telah dia masukkan.

Nagari 1000 Menhir, Jelajah Kampung Leluhur Masyarakat Minangkabau

Dengan jam kerja yang panjang dan tingkat kerumitan tinggi, tak mengherankan jika tenun songket berharga mahal. Susmita mengatakan harga satu setel kain untuk sarung dan selendang bisa mencapai Rp5 juta lebih.

“Penjualan tetap stabil. Wisatawan Indonesia dan dari luar negeri, seperti Malaysia, sering datang ke sini. Malah saya sering kewalahan menerima pesanan, padahal sudah dibantu tiga perajin lain,” kata Susmita.

Terus bertahan

Ilustrasi tenun Pandai Sikek/Flickr
info gambar

Desa Pandai Sikek telah menjadi salah satu desa wisata di Sumbar. Jaraknya sekitar 13 kilometer dari Bukittinggi sehingga mudah dijangkau para pelancong. Para wisatawan biasanya datang agar bisa leluasa memilih aneka motif dan ukuran kain tenun.

Di sepanjang jalan masuk desa ini berdiri galeri atau butik yang memajang kain tenun Pandai Sikek. Tak sedikit pula galeri itu memamerkan proses pembuatan tenun. Mereka juga menyediakan tenaga ahli tenun yang siap membimbing para pengunjung.

“Ini untuk menyakinkan bahwa hasil tenunan kami ini asli dari desa ini,” kata Erma Yulnita, pemilik galeri Satu Karya.

Songket Canduang, Kain Tenun Minangkabau yang Diupayakan untuk Hidup Kembali

Tenun begitu erat dengan keseharian warga Pandai Sikek. Dari 1.031 rumah, sebanyak 848 rumah memiliki alat tenun. Selain itu, juga terdapat 33 industri rumahan tenun yang mempekerjakan tiga sampai enam penenun.

Mayoritas perajinnya adalah perempuan yang memang menjadi kekhasan penenun Pandai Sikek. Kearifan lokal itulah yang membuat tenun Pandai Sikek bertahan dan tetap bergairah hingga sekarang. Konon juga, nama Nagari Pandai Sikek berasal dari aktivitas ini.

“Benang-benang tenun itu dimasukkan ke dalam papan besi yang dilubangi mirip sikek (sisir). Itu asal nama desa kami,” kata Zulkifli.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini