Mengenal Praktik Kawin Tangkap dari Novel "Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam"

Mengenal Praktik Kawin Tangkap dari Novel "Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam"
info gambar utama

Novel ini tidak berkisah tentang kehidupan romansa remaja yang membuat hati tergelitik, melainkan menuturkan kisah pedih seorang perempuan yang membuat hati tercabik-cabik. Perempuan yang Menangis Kepada Bulan Hitam merupakan sebuah novel dengan latar Sumba, sebuah pulau di Indonesia yang masyarakatnya terkenal kental dengan adat dan budayanya. Memang tidak ada yang salah dengan masyarakat yang menjunjung tinggi adat dan budaya, tetapi apa jadinya ketika adat dan budaya menjadi bagian kelam dari masyarakatnya?

Novel Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam
info gambar

Penculikan dan 'Penjinakkan' Perempuan Berkedok Tradisi

Diangkat dari kisah nyata perempuan Sumba, novel ini bercerita tentang tradisi kawin tangkap atau yang dikenal dengan yappa mawine. Seperti namanya, kawin tangkap merupakan sebuah tradisi dimana calon suami menculik calon istrinya. Pada umumnya, telah terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak mengenai hal tersebut.

Namun, berbeda halnya dengan apa yang dialami Magi Diela, sosok perempuan yang akan membuat hati kawan tersayat perlahan-lahan. Magi diculik dan dipaksa kawin tanpa sepengetahuannya dengan laki-laki tua bangka nan mata keranjang yang sudah mengincarnya sedari dulu, Leba Ali. Hal yang lebih menyakitkan adalah Ama Bobo, ayah Magi, mendukung perkawinan paksa tersebut.

Novel ini menuju klimaksnya ketika Magi sudah kehilangan harga dirinya akibat diperlakukan bak binatang oleh Leba Ali. Perempuan itu bahkan telah melaporkan Leba Ali pada polisi, tetapi usahanya sia-sia karena mereka lebih berpihak pada tua bangka itu. Keputusasaan menyelimuti dirinya sampai-sampai tanpa keraguan ia menggigit pergelangan tangannya hingga denyut nadinya menjadi lemah.

Bukan hanya Magi yang disebut-sebut dalam novel Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam yang mengalami kejadian tragis tersebut. Kejadian menyakitkan itu juga menimpa SIK (21), seorang perempuan dari Desa Wee Wulla, Kecamatan Wewewa Selatan, Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur, pada 2021 lalu.

Etika Berkendara yang Hilang: Ketika Lampu Sein Dibiarkan Tetap Menyala

Dilansir dari Kompas, SIK diculik enam lelaki tidak dikenal di rumahnya sendiri saat dia sedang berada sendirian di rumah. Kejadian itu dilihat oleh tetangganya, tetapi mereka tidak berani melawan karena keenam lelaki yang menculiknya membawa golok. Bahkan, korban sampai menjerit dan dibanting dua kali ke tanah, tetapi tetap tidak ada yang menolongnya.

Hal ini menunjukkan bahwa tradisi kawin tangkap tidak lagi melibatkan kesepakatan antara dua belah pihak. Bahkan, tradisi ini telah melibatkan kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan yang seharusnya tidak terjadi dan perbuatan ini tidak boleh dibenarkan oleh siapa pun.

Mereka yang Tutup Mata dan Telinga

Kebangkitan Magi dari usaha bunuh diri menjadikannya seorang perempuan yang diselimuti dendam. Sampai pada akhirnya ia memberanikan diri menuliskan kisahnya diam-diam di media sosial sembari menyusun rencana untuk lari dari rumah Lebah Ali. Saat itulah Magi mendapatkan pertolongan dari Gema Perempuan, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang melindungi hak-hak perempuan.

Bergandengan bersama Gema Perempuan seolah menjadi titik awal dari perjuangan Magi. Perempuan itu lari dari tanah kelahirannya dan merelakan impiannya membangun Sumba yang diimpikannya. Bersama Mama Mina dan orang-orang dari Gema Perempuan, Magi memulai perjuangannya sembari berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain.

Naasnya, apa yang diperjuangkannya seolah tidak ada artinya di mata penduduk sekitar, bahkan di mata orang tuanya. Magi malah dianggap sebagai orang yang tidak menghargai tradisi dan berlaku seenaknya, padahal yang ia lakukan hanyalah melindungi harga dirinya. Namun, ia selalu berusaha untuk menutup telinga dan meyakini bahwa apa yang ia lakukan adalah hal yang benar.

Praktik kawin tangkap saat ini telah banyak yang melenceng dari ‘tradisi yang seharusnya’. Namun, praktik ini masih tetap lestari karena masyarakat setempat yang menutup mata dan telinga terhadap apa yang ada di balik tradisi tersebut. Segala praktik yang berkaitan dengan kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di Sumba ini telah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).

Seperti yang disampaikan oleh Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi (Peruati) dalam wawancaranya dengan VOAIndonesia bahwa, praktik kawin tangkap merupakan kekerasan terhadap perempuan dan melanggar Konvensi Penghapusan Diskriminasi pada Perempuan (CEDAW) yang telah diratifikasi melalui UU RI No. 7 Tahun 1984.

Budaya Patriarki dan Dampaknya Terhadap Kesetaraan Gender bagi Laki-laki

Praktik Kawin Tangkap Telah Dikecam dan Dilarang

Pasca beredarnya video yang memperlihatkan praktik kawin tangkap pada akhir Juni 2020 lalu, praktik kawin tangkap telah resmi dilarang. Dilansir dari Okezone, larangan ini ditandai dengan penandatanganan kesepakatan menolak praktik kawin tangkap demi meningkatkan perlindungan perempuan dan anak oleh para pejabar pemerintah daerah Pulau Sumba.

Praktik kawin tangkap memang sudah seharusnya dilarang sejak dihentikan praktiknya. Apa pun alasannya, baik itu demi tradisi maupun budaya, praktik yang melibatkan kekerasan, paksaan, hingga pelecehan, sudah sepatutnya dilarang dan dihentikan. Kawin tangkap hanya menunjukkan dominasi pihak laki-laki dan menempatkan perempuan pada posisi yang inferior.

Selain itu, perempuan juga ditempatkan pada posisi yang serba salah. Mereka dianggap menentang tradisi saat menolak untuk mengikuti praktik tersebut. Namun, mereka juga akan tersiksa dan sulit untuk bertahan jika terpaksa untuk mengikutinya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

SN
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini