Menengok Komunitas Yahudi yang Pernah Nyaman Tinggal di Surabaya

Menengok Komunitas Yahudi yang Pernah Nyaman Tinggal di Surabaya
info gambar utama

Tidak banyak yang tahu bahwa komunitas Yahudi pernah bermukim di Surabaya, Jawa Timur. Bukan hanya sekedar singgah, orang-orang Yahudi bahkan membangun sebuah tempat ibadah yang lazim disebut sinagoge.

Dimuat dari CNN Indonesia, peneliti Southeast Asian Studies memperkirakan sebanyak 500 orang keturunan Yahudi pernah menetap di Surabaya. Jumlah itu terus menurun seiring penindasan Jepang yang disponsori oleh Jerman, di bawah Partai Nazi.

Eli Dwek dalam The Demise of The Jewish Community in Surabaya mengungkapkan naik turunya kehidupan komunitas Yahudi di Surabaya. Eli mengatakan pada abad ke 19, Surabaya merupakan tempat yang ideal bagi imigran Yahudi.

Para Pemeluk Agama Yahudi yang Hidup Berdampingan dengan Masyarakat Manado

“Kami mendapatkan segala hak istimewa di tanah kolonial, seperti berkendaraan dengan mobil, menunggang kuda di pedesaan hingga memiliki banyak pekerja rumah tangga,” tulis Eli.

“Selama bertahun-tahun, orang tua saya dan kolega mereka menikmati saat-saat menjadi bagian dari komunitas Yahudi di Surabaya,” katanya lagi.

Perayaan besar di Surabaya

Ilustrasi Sinagoge/Shutterstock
info gambar

Pasca penindasan yang dilakukan Jepang, keluarga Eli kembali hidup normal. Dirinya kemudian masuk ke sebuah sekolah dasar yang kini bernama SD 1 Kristen Petra. Eli merupakan satu-satunya keturunan Yahudi.

Eli mengaku menikmati kehidupannya sebagai orang Yahudi di Surabaya. Pada akhir pekan keluarganya akan berlibur ke Tretes yang merupakan daerah wisata pegunungan di Kecamatan Prigen, Pasuruan.

Di Tretes ada sebuah villa yang dimiliki oleh Charlie Mussry yang kerap mengadakan perayaan hari besar Yahudi. Proses pernikahan dan bar mitzvah pun kerap dilaksanakan oleh komunitas Yahudi di rumah itu.

Kue Yahudi, Kuliner Khas Ambon yang Paling Dicari Saat Ramadan

Pada 1949, komunitas Yahudi juga membeli sebuah rumah di Jalan Kayun. Mereka lantas mengubah rumah itu menjadi sinagoge, pusat kegiatan keagamaan mereka sebagai pemeluk Yudaisme.

Eli mengaku kehidupan komunitas itu sangat lengkap karena bisa menikmati berbagai sajian halal versi Yahudi atau kosher, pada perayaan paskah, hari suci (yom kippur) dan tahun baru versi penanggalan Yahudi.

“Untuk menjalankan ritual, kami butuh anggur yang kosher. Kami harus beli di Singapura dan itu mahal,” uacapnya.

Berpisah dari Indonesia

Ilustrasi makam Yahudi/Shutterstock
info gambar

Tetapi suasana nyaman komunitas Yahudi di Surabaya berakhir pasca Israel dengan Inggris dan Prancis menyerang Mesir pada tahun 1956. Keberadaan komunitas Yahudi di Indonesia mendekati titik akhir setelah Bung Karno mengeluarkan kebijakan nasionalisasi aset.

“Di sekolahku, sebagian besar guru dan murid telah meninggalkan Indonesia. Itu memaksa kegiatan belajar mengajar dilakukan dengan menggabungkan sejumlah kelas dalam satu ruang,” tuturnya.

Pada Agustus 1958, Keluarga Eli memilih meninggalkan Indonesia menuju Israel dalam gelombang kepulangan dan pengungsian warga non-Indonesia keluar negeri. Eli kemudian bermukim di Amerika Serikat hingga menikah.

Ideal untuk Menghilangkan Stres, Inilah 5 Hotel di Surabaya Terbaik Buat Staycation

Tetapi ada juga yang memilih menetap seperti keluarga Charles Mussry. Dirinya meninggalkan dan dimakamkan di kompleks pemakaman Kembang Kuning, Surabaya pada 23 Agustus 1971.

Putra Charles, David Mussry menyebut keluarganya mendapat identitas sebagai warga negara Indonesia pada 1950-an. Ketika itu, David menulis Hebrani dalam kolom agama pada kartu tanda penduduknya.

“Pada masa perpanjangan kartu itu pada tahun 1998, dia dipaksa memilih satu dari lima agama resmi pemerintah untuk mengisi kolom agama,” tulisnya yang mengaku memilih agama Hindu.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini