Kisah Tanah Betawi yang Pernah Jadi Pusat Industri Batik di Indonesia

Kisah Tanah Betawi yang Pernah Jadi Pusat Industri Batik di Indonesia
info gambar utama

Jakarta pernah menjadi salah satu sentra industri batik yang semarak di Indonesia. Tercatat dalam sejarah paling tidak sejak paruh pertama tahun 1900-an hingga kemudian menyusut jauh di tahun 1970-an.

Kutipan yang dimuat Kompas tahun 1973 menyebutkan batik Jakarta lebih laku daripada batik Pekalongan. Sementara itu dari 440 perusahaan batik dengan jumlah karyawan kurang lebih 20.000 bisa memproduksi 80.000 per bulan atau 1,6 juta lembar batik.

Batik Sumari, Karya Orang Batu yang Menarik Perhatian Masyarakat Dunia

“Dengan harga rata-rata Rp500, pemasukan per bulan Rp800 juta,” tulis kutipan tersebut.

Usaha perbatikan di Jakarta cukup ramai pada periode 1960-an sampai 1970-an. Ratusan perusahaan batik tersebut tersebar di beberapa sentra usaha batik, seperti Karet Tengsin, Karet Semanggi, Setiabudi, Palmerah, dan Kebayoran Baru.

“Bahkan usaha batik tersebut mampu membuat Jakarta mengirim produk batiknya ke sejumlah daerah di Nusantara ataupun mengekspornya ke luar negeri,” tulis artikel tersebut.

Andil Ali Sadikin

Menggeliatnya industri batik di Jakarta tak lepas dari andil Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin yang ikut mengkampanyekan pemakaian baju batik sebagai pakaian resmi, bagi pegawai pemerintah maupun warga Jakarta.

Ali Sadikin bahkan mengeluarkan surat keputusan gubernur bertanggal 12 Juli 1972 untuk memberi landasan hukum langkah tersebut. Ketika itu disebutkan bahwa motif-motif batik yang umum digunakan adalah djlamprang dan parang rusak.

Keputusan Ali Sadikin juga didukung oleh pabrik batik di Jakarta yang dikelola secara tradisional. Para pemilik umumnya orang-orang keturunan Tionghoa yang sudah lama bertempat tinggal di Jakarta.

Romantika Batik Banyumasan yang Pernah Kemilau di Tanah Jawa

“Dulu kalau buat batik harus dekat kali. Bikin batik, kan butuh banyak air untuk nyelup warna. Air bekas celupan dibuang ke kali,” ujar Hartono Sumarsono, kolektor batik.

Wilayah Karet Kuningan dan Karet Semanggi menjadi salah satu sentra pabrik yang dikelola secara tradisional. Bahkan dalam sebuah kliping berita, pabrik batik di kawasan ini ada yang sudah beroperasi sejak 1910.

“Yang punya pabrik-pabrik orang Tiongha,” kata Hartono.

Meredup

Namun karena adanya perkembangan kota, kawasan pabrik batik di DKI Jakarta mulai dipadati penduduk. Keberadaan pabrik-pabrik batik di wilayah permukiman itu mulai menimbulkan masalah bagi lingkungan.

Pembuangan air limbah industri batik di sekitar Karet, Jakarta Selatan misalnya menyebabkan warna air yang diolah instalasi mini Muara Karang menjadi agak merah. Ketika musim kemarau, pencemaran itu sangat mengganggu pengolahan air bersih.

Melacak Batik Batang yang Diduga Sudah Digunakan di Zaman Raden Wijaya

Apalagi dalam Rencana Umum Tata Ruang DKI Jakarta 1985-2005 peruntukan kawasan Karet, Setiabudi dan Kuningan yang awalnya dikenal sebagai sentra batik diubah menjadi pemukiman dan perkantoran.

“Perlahan tapi pasti usaha batik di Jakarta mulai surut. Jakarta beralih menjadi sentra perdagangan batik dari sejumlah daerah di luar Jakarta,” ungkap Hartono.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini