Perayaan Kuno yang Menyatu dalam Jejak Waktu: Kisah Tradisi Kenduri Suroan

Perayaan Kuno yang Menyatu dalam Jejak Waktu: Kisah Tradisi Kenduri Suroan
info gambar utama

Masyarakat Jawa dalam perkembangan kebudayaan mengalami akulturasi dengan berbagai bentuk kultur yang ada. Kondisi tersebut menyebabkan adanya perbedaan corak dan bentuk di setiap kultur yang dipengaruhi oleh berbagai unsur budaya dan agama yang bermacam-macam.

Di Indonesia, banyak sekali kebudayaan dan kepribadian disebabkan oleh banyaknya suku. Kata kebudayaan yang sering kita dengar dalam keseharian menyimpan banyak rahasia dari maknanya. Setiap kata diterapkan di tempat yang berbeda, tetapi aplikasi kata itu mewujudkan sebuah karya yang sangat luar biasa dan menyimpan keunikan tersendiri yang dapat mencerminkan karakter dari masyarakatnya.

Kebudayaan tradisional tak pernah lepas dari kehidupan manusia dibuktikan dengan terdapatnya unsur-unsur ajaran agama Islam yang terus melekat hingga saat ini di dalamnya. Banyak pelaksanaan kegiatan ritual kebudayaan yang diiringi dengan ajaran Islam, begitupun agama-agama yang tak pernah lepas dari budaya. Salah satu ritual yang bernuansa keagamaan adalah perayaan Suroan atau dalam kalender Islam perayaan tahun baru Islam pada 10 Muharram.

Suro merupakan sebutan bagi bulan Muharram dalam masyarakat Jawa. Kata tersebut sebenarnya berasal dari kata asyura dalam bahasa Arab yang berarti sepuluh, yakni tanggal 10 bulan Muharram. Bagi masyarakat Jawa, kegiatan-kegiatan menyambut bulan Suro sudah berlangsung sejak berabad-abad yang lalu.

Berbagai kegiatan yang berulang- ulang tersebut akhirnya menjadi kebiasaan dan menjadi tradisi yang setiap tahun dilakukan. Itulah yang kemudian disebut budaya yang menjadi ciri khas bagi komunitasnya.

Idul Adha sebagai Momen Perbaikan Gizi Anak KKN

Tradisi malam 1 Suro atau ritual Suroan menitik beratkan pada ketentraman batin dan keselamatan. Karenanya, pada malam 1 Suro biasanya selalu diselingi dengan ritual pembacaan doa dari semua umat Islam yang hadir melaksanakannya. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan berkah dan menangkal datangnya marabahaya.

Di tengah potensi sumber daya alam yang melimpah, terdapat sebuah warisan budaya yang tak ternilai harganya dan telah dijaga dengan penuh kearifan dari generasi ke generasi, yaitu Tradisi Kenduri Suroan. Tradisi ini menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat desa, mengandung makna mendalam yang menghubungkan mereka dengan akar budaya nenek moyangnya.

Dipercayai sebagai perayaan untuk menghormati leluhur, merayakan pergantian tahun Jawa, dan juga sebagai ritual syukur atas hasil panen yang melimpah, perayaan ini diperingati setiap tanggal 1 Suro, yang merupakan awal tahun dalam kalender Jawa.

Kamis pagi, segala persiapan untuk pelaksanaan tradisi ini dimulai. Bapak-bapak dan ibu-ibu dipisah ke dalam dua kelompok yang berbeda, tetapi keduanya memiliki satu tujuan yang sama; menyiapkan kenduri. Kelompok ibu-ibu membuat hidangan seperti nasi tumpeng, ayam goreng kuning, dan beragam kue-kue lezat.

Sementara itu, kelompok bapak-bapak memasak menu menggunakan daging kambing sebagai bahan utama yang lazim disebut dengan “becekan”. Selama sehari itu, mereka mempersiapkan hidangan dengan kepercayaan bahwa leluhur akan datang berkunjung dan memberkati hidangan tersebut.

Dalam acara ini, warga Depokrejo tidak membutuhkan bangunan megah, cukup dengan berkumpul di sebuah gang yang menghadap ke Gapura Depokrejo di pinggir Jalan Daendels. Masyarakat desa beserta mahasiswa KKN-PPM UGM berkumpul lalu duduk saling berhadapan di sepanjang gang saat matahari mulai tenggelam di ufuk barat.

Memasuki inti tradisi ini, suasana menjadi hening, hanya terdengar lantunan doa dari seorang kakek penuh kearifan yang merupakan dalang acara. Beliau telah dipercaya warga dalam menguasai seluk-beluk tradisi dan hikmah yang terkandung di dalamnya.

Perayaan kenduri ditutup dengan makan bersama di tempat. Sebelum menyantap hidangan, kami bersama-sama membacakan doa syukur kepada Tuhan atas segala berkah yang telah diberikan selama setahun ini. Makanan itu kemudian dibagi-bagikan kepada semua yang hadir untuk ikut merayakan.

Kain Tenun Tedunan: Kearifan Budaya Lokal Khas Kota Wali

Dulunya, perayaan kenduri hanya dihadiri oleh laki-laki. Namun, seiring berjalannya waktu, perayaan Kenduri Suroan menjadi lebih terbuka untuk perempuan. Kami ingat ada beberapa anak kecil perempuan yang ikut meramaikan acara ini serta mayoritas dari tim KKN kami yang berpartisipasi merupakan perempuan.

Meskipun demikian, tradisi kenduri tetaplah menjadi perayaan yang kental dengan nuansa kekeluargaan dan kebersamaan. Masyarakat desa berusaha untuk tetap mempertahankan nilai-nilai dan esensi dari tradisi ini agar tidak hilang ditelan arus modernisasi.

Perayaan Kenduri Suroan membawa harmoni di antara masyarakat Desa Depokrejo, mengikat benang kebersamaan dan memupuk rasa syukur atas anugerah kehidupan. Setiap tahunnya, jejak-jejak waktu terus membawa tradisi ini berlanjut, menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas dan kearifan lokal suatu komunitas yang terjaga dalam genggaman cinta dan penghargaan terhadap leluhur.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

KN
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini