Sosok Sultan HB IX, Aristokrat yang Memiliki Jiwa Demokrasi

Sosok Sultan HB IX, Aristokrat yang Memiliki Jiwa Demokrasi
info gambar utama

Sultan Hamengku Buwono IX adalah arsitokrat yang memiliki jiwa demokrat. Di sisi lain, walau merupakan didikan dari Belanda, dirinya bukan saja pendukung Republik namun juga pembaharu masyarakat yang lebih maju.

Sultan HB IX terkenal sebagai pembaharu dalam sistem politik pemerintahan dari monarki absolut menjadi demokrasi - aristokrasi. Menjelang wafat, sang raja tak meniru pendahulunya dengan meninggalkan Keris Jaka Piturun kepada pewaris tahta.

Alasan Sri Sultan Hamengkubuwono Menjadi PNS Pertama di Indonesia

Karena itulah penobatan KGPH Herjuno Darpito yang kemudian menjadi KGPH Mangkubumi dan selanjutnya menjadi pemimpin Keraton Yogyakarta sebagai Sri Sultan HB X merupakan hasil musyawarah internal.

“Musyawarah para aristokrat itu menggantikan model penunjukkan langsung. Sultan HB IX merupakan aristokrat berjiwa demokrat, pendobrak nilai tradisional yang berpijak pada visi politiknya “Tahta untuk Rakyat,” tulis Irma Tambunan, Erwin Edhi Prasetya, dan Ari Susanto dalam Demokrasi ala Mataram.

Demokrasi di desa

Jiwa pembaharu Sultan HB IX ditunjukkan dengan membangun demokratisasi dari tingkat desa. Pemilihan kepala desa secara langsung menjadi sebuah proses di tingkat paling bawah dalam struktur pemerintah Kesultanan Yogyakarta.

Karena itulah dirinya membentuk Desa Desa sebagai kontrol politik terhadap kepala desa saat itu, selain itu juga ada Lembaga Rukun Kampung. Kabupaten pun diberi otonomi dalam pemerintah dan pembangunan.

Menelusuri Perbedaan Keraton Solo dan Yogyakarta

Selo Soemardjan dalam Perubahan Sosial di Yogyakarta menyatakan Yogyakarta lebih dulu memiliki mekanisme demokrasi ketika daerah lain, bahkan Indonesia belum memiliki pemerintahan modern.

“Konsep Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang ada dalam tata pemerintahan sekarang diadopsi dari demokrasi ala Mataram itu,” ucapnya.

Sultan milik rakyat

Kepala desa yang dipilih rakyat sampai sekarang tetap mengikatkan diri pada Keraton sebagai atasan meskipun desa bukan lagi bawahan Keraton, namun sudah bagian dari sistem pemerintahan Republik.

Karena itulah pada kepala desa membentuk paguyuban seperti Bodronoyo (Kulon Progo), Suryo Ndadari (Sleman), Tunggul Jati (Bantul), dan Semar (Gunung Kidul), organisasi non formal itu menyokong kedudukan Keraton Yogyakarta.

Ratu Ageng Tegalrejo Pemimpin Perempuan di Tengah Hegemoni Kolonial

Ketika DIY mengalami gonjang-ganjing, mempertahankan statusnya sebagai Daerah Istimewa Yogyakarta, tahun 2003, paguyuban kemudian bernama Ismoyo ini secara terbuka memberi dukungan agar Sultan juga berstatus sebagai Gubernur DIY.

“Itu menggambarkan wujud pengabdian kami kepada rakyat dan kepada Sultan Yogyakarta,” kata Paguyuban Semar.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini