Pesta Besar Maulid Nabi SAW di Aceh Simbol Keakraban dengan Kesultanan Turki

Pesta Besar Maulid Nabi SAW di Aceh Simbol Keakraban dengan Kesultanan Turki
info gambar utama

Di Aceh tidak ada perayaan yang lebih lama dan meriah dilakukan selain perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW. Masyarakat Aceh biasanya merayakan penanggalan hari lahir Nabi Muhammad SAW ini selama empat bulan.

Snouck Hurgronje dalam De Atjehers menyatakan tradisi yang baru muncul 300 tahun setelah Nabi Muhammad SAW wafat ini dipersiapkan secara individual dan sosial. Bahkan persiapannya biasanya telah dimulai satu bulan sebelumnya.

Di Balik Tradisi Kenduri yang tak Pernah Berhenti Dilakukan Warga Aceh

“Memperingati Maulid Nabi Muhammad termasuk amal saleh paling berfaedah. Di Aceh tidak ada gampong yang tidak secara bersama memperingati Maulid dengan pesta. Itulah bakti kepada raja semua orang yang beriman,” tulisnya.

Snouck Hurgronje juga menilai tradisi Maulid di dalam masyarakat Aceh, bukan semata tradisi sekuler seperti kenduri atau perayaan kesenian. Namun juga berhubungan dengan sejarah perlawanan terhadap Belanda dan hubungan dagang dengan Kesultanan Turki.

“Artinya momen perayaan maulid bertemu dengan sejarah kesakralan perlawanan bangsa Aceh terhadap kaphee dan sejarah kemuliaan bersama daulah Islamiyah,” jelasnya.

Ketika Maulid

Bagi masyarakat Aceh, Maulid adalah salah satu event kenduri yang wajib dirayakan besar-besaran. Snouck Hurgronje dalam buku Aceh di Mata Kolonialis menyatakan Maulid juga sebagai simbol ketaatan kepada Kerajaan Turki.

Sultan Turki berpendapat bahwa Aceh yang letaknya cukup jauh tak perlu mengirimkan upeti tiap tahun. Karena itu Sultan memerintahkan Aceh menunjukkan ketaatannya dengan memperingati Maulid setiap tahunnya.

Karena hal itu, setiap tahun desa-desa saling bergantian menggelar kenduri Maulid. Mereka saling mengundang dan mengunjungi. Jika sebuah desa menggelar kenduri Maulid, semua warga ikut terlibat.

Menjaga Kelestarian Rencong sebagai Simbol Wibawa Masyarakat Aceh

“Ada yang menyumbang makanan, ada yang menyumbang tenaga demi menjamu tamu,” ujar Kepala Desa Pupu, Idris Yusuf.

Bahkan Maulid dilakukan ketika masa konflik antara GAM dan Pemerintah RI memanas. Saat itu tentara GAM yang bergerilya di hutan-hutan tidak ketinggalan menggelar Maulid. Hal inilah yang diceritakan Azhar Abdurrahman, mantan tentara GAM.

Dirinya mengenang setiap musim Maulid tiba, dia dan beberapa temannya berburu rusa. Jika rusa tak dapat, mereka turun ke kampung untuk meminta sumbangan kambing kepada kerabat dan memesan bumbu kari.

Daging rusa atau kambing itu kemudian mereka masa dengan bumbu kari lengkap di markas besar GAM di wilayah Lamno. Sejenak mereka melupakan perang yang begitu melelahkan dan beralih pesta kari.

“Itulah saat yang paling menyenangkan di dalam hutan. Buat kami Maulid itu wajib digelar pada masa damai ataupun perang,” ujar Azhar.

Menyatu dengan kearifan lokal

Taufik Kemal Fasya, dosen antropolog Universitas Malikussaleh menjelaskan bahwa perayaan Maulid Nabi menjadi contoh adanya nilai-nilai Islam yang akhirnya menyatu dengan kearifan lokal.

Disebutnya momen ini menunjukkan Islam bukan semata kumpulan wahyu, peribadatan, dan pengorbanan yang dimunculkan dari Timur Tengah. Tetapi juga terkoneksi dengan nilai-nilai lokal lain secara global.

“Hal itu karena Islam mampu memperluas dirinya bukan saja sebagai nilai-nilai yang berhubungan dengan peribadatan, tapi juga nilai-nilai kesejahteraan sosial, yang disebut dengan muamalah,” paparnya.

Komoditas Cengkih yang Pernah Jadi Kebanggaan Masyarakat Aceh

Hal inilah yang terlihat dalam sajian kulinernya yakni ada bu minyeuk (nasi minyak) yang dimasak dengan aneka bumbu giling, ditambah rempah seperti cengkih, kapulaga, jahe, kayu manis, dan serai.

Bu minyeuk ini juga selalu dihadirkan bersamaan dengan bu leukat (nasi ketan dengan inti kelapa), dan aneka lauk seperti gulai ayam atau itik, sapi masak kurma atau kari merah, telur asin, pisang, dan sayuran.

Sayurnya biasa pajri nenas untuk merontokkan lemak dan kolesterol. Ragam kuliner itu disusun di dalam dalong (periuk besar atau talam berbahan kuningan) yang disusun dengan bu leukat paling atas dengan lauk-pauk di sekeliling bu minyeuk.

“Puncak acara dimeriahkan dengan meudikee (zikir dan salawat dengan gerakan tertentu) dan ceramah agama pada malam harinya,” jelasnya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini