Menjaga Kelestarian Rencong sebagai Simbol Wibawa Masyarakat Aceh

Menjaga Kelestarian Rencong sebagai Simbol Wibawa Masyarakat Aceh
info gambar utama

Rencong adalah senjata tradisional khas Aceh yang menjadi jati diri masyarakat setempat. Senjata ini adalah simbol keyakinan, kewibawaan, dan keberanian dari masyarakat Aceh bahkan sebelum zaman kemerdekaan.

Dimuat dari Kompas, dosen sejarah pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Husaini Ibrahim menjelaskan rencong dikenal sejak awal masuk Islam ke Aceh antara abad 9-13 Masehi.

“Pembuatan rencong diilhami dari tulisan basmalah dalam aksara Arab. Untuk itu, rencong menjadi simbol keyakinan masyarakat Aceh yang mayoritas beragama Islam,” paparnya.

Komoditas Cengkih yang Pernah Jadi Kebanggaan Masyarakat Aceh

Keberadaan rencong menjadi simbol kewibawaan masyarakat Aceh, terutama masa Kesultanan Aceh Darussalam antara abad 14-18 Masehi. Semakin mewah rencong yang digunakan menunjukkan semakin tinggi peran penggunaannya.

Memasuki masa kolonial Belanda maupun Jepang di Aceh, rencong jadi simbol keberanian masyarakat Aceh dalam menghadapi ataupun melawan penjajah. Ketika itu, semua masyarakat Aceh, terutama laki-laki menyematkan rencong di pinggangnya.

“Karena peran yang penting ketika itu, rencong dibuat hampir di seluruh Aceh,” ujarnya.

Produksi rencong

Desa Baet Mesjid, di Aceh Besar salah satu tempat yang menjadi pusat pembuat rencong di Aceh jauh sebelum kemerdekaan Indonesia. Mayoritas perajin membuat rencong dengan cara tradisional.

Proses pembuatan rencong dimulai dari melumerkan bahan, yakni besi kuningan ataupun besi putih. Kemudian bahan itu dicetak menjadi mata rencong. Perajin bisa menghasilkan 15-20 mata rencong per kilogram bahan.

Cerita Tragis Putri Pukes yang Kini Jadi Objek Wisata Andalan Warga Aceh

“Saya membuat rencong mengikuti ayah saya, sedangkan ayah saya membuat rencong mengikuti kakek saya. Adapun kakek saya membuat rencong mengikuti buyut saya. Kami sudah turun-temurun menjadi pembuat rencong,” ujar Faisal, perajin rencong.

Tahap selanjutnya, Faisal menyebut para perajin harus memberikan ataupun merapikan sisi mata rencong menjadi lebih halus. Setelah rencong halus, perajin membuat gagang dan sarung yang umumnya terbuat dari tanduk kerbau.

“Tahapan ini butuh ketelitian sehingga perajin hanya bisa membuat rencong siap jual 1-2 hari,” paparnya.

Kelestarian terancam

Proses penjualan rencong biasanya disalurkan langsung perajin ke toko cinderamata di Banda Aceh ataupun diambil langsung oleh agen. Kendati demikian, Faisal mengungkapkan tidak semua rencong bisa laku terjual dalam sehari.

Disebutkan olehnya, rencong tidak laku karena masih banyak stok di toko cinderamata. Adapun toko ataupun agen yang mengambil rencong, tetapi bayarnya nanti ketika rencong sudah laku terjual.

“Rencong banyak terjual hanya ketika ada acara besar di Aceh, seperti menjelang peringatan tsunami pada akhir tahun. Selebihnya, rencong sulit terjual karena wisatawan, terutama yang menggunakan pesawat terbang takut membawanya ke bandara,” tuturnya.

Nelayan Aceh Dilarang Bekerja pada Hari Jumat dan 5 Momen Ini, Mengapa?

Kepala Mukim Sibreh, Abubakar mengatakan pihaknya berupaya untuk mempertahankan tradisi rencong di tiga desa itu. Namun, besarnya modal dan tidak pastinya keberlanjutan perajin rencong kian terancam.

“Bahkan jumlah perajin pun terus menyusut dari tahun ke tahun,” katanya.

Abubakar menggambarkan jumlah tempat pembuatan rencong ada 68 dapur di tiga desa pada sekitar 10 tahun atau pasca tsunami 2004. Ketika itu, para pembuat rencong mendapatkan bantuan modal dari Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh-Nias.

“Bantuan itu membuat para perajin semangat. Apalagi permintaan terhadap rencong tinggi, terutama dari para sukarelawan ataupun staf NGO yang membantu proses rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh pasca tsunami,” ucapnya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini