Mengejar Cita-Cita Sumber Daya Manusia Unggul di Desa Pesisir Gorontalo

Mengejar Cita-Cita Sumber Daya Manusia Unggul di Desa Pesisir Gorontalo
info gambar utama

Kecamatan Batudaa Pantai Kabupaten Gorontalo–kata pantai yang tersemat pada nama kecamatan tersebut akan membuat pembaca sekilas membayangkan sebuah kawasan pesisir, entah tentang langit yang biru cerah, deburan ombak, angin pantai yang tak henti-hentinya bertiup atau keindahan layung dan lembayung yang terbentuk saat matahari hendak pamit dari peraduannya di siang hari.

Apabila kita kembali ke kata pertama dari ‘Batudaa Pantai’ dan apabila pembaca mencoba lebih mendalami bahasa asal dari kata tersebut maka pembaca akan menemukan kata batudaa berarti batu besar. Penamaan tersebut merujuk pada barisan perbukitan yang mengapit desa-desa pesisir di kecamatan tersebut.

Saya memulai tulisan ini dengan mengajak pembaca untuk mengaktifkan imajinasinya terkait sebuah kawasan perdesaan yang diapit oleh pesisir, laut dengan segala keindahan dan kekayaannya, serta juga oleh perbukitan, dimana segala macam tumbuhan subur dan rindang. Sebuah daerah yang tidak ada kurang-kurangnya dalam kekayaan alam.

Dengan segala kekayaannya, Desa Tontayuo yang menjadi salah satu desa di Batudaa Pantai memiliki potensi mengembangkan diri menjadi daerah yang maju dan berdaya saing, mengejar cita-cita untuk menciptkan sumber daya manusia (SDM) unggul guna mengiringi keunggulan alamnya.

Istora Senayan dan Setumpuk Kenangan Atlet Bulu Tangkis Dunia di Sana

Salah satu permasalahan yang menjadi perhatian khusus Desa Tontayuo dalam mengejar cita-citanya ini ialah stunting. Stunting adalah suatu kondisi gagal tumbuh atau pertumbuhan yang terhambat pada anak-anak akibat kurangnya asupan gizi yang memadai dan kurangnya perawatan kesehatan pada periode pertumbuhan awal, difokuskan pada 1000 hari pertama kehidupan.

Stunting menjadi perhatian yang begitu serius terutama apabila ingin mengejar SDM unggul karena stunting tidak hanya bicara tentang pertumbuhan tubuh dan perkembangan fisik. Bicara tentang stunting maka bicara pula tentang potensi kognitif anak di masa dewasa ke depan, bicara tentang ketahanan kesehatan anak di masa depan, dan pastinya adalah bicara tentang potensi masa depan terbaik sebagai manusia seutuhnya.

Oleh karena itu, kegagalan dalam menyelesaikan permasalahan stunting di masyarakat berarti sama dengan kegagalan dalam menjaga keutuhan masa depan masyarakat.

Dengan segala pernyataan mengenai stunting yang keluar dari berbagai level kepemimpinan di birokrasi, sayangnya masih dijumpai langkah yang tidak tepat guna dan tidak tepat sasaran. Penanganan stunting masih menggunakan kacamata yang sama dengan kacamata penangan kasus gizi buruk, padahal perbedaan stunting dan gizi buruk amat mendasar.

Di satu sisi, stunting merupakan kondisi kronis (berjangka panjang) yang terkadang diikuti kurva pertumbuhan yang landai dan diindikasikan dengan tinggi badan yang tak sesuai kurva pertumbuhan, sedangkan gizi buruk merupakan kondisi kekurangan gizi yang serius, penurunan berat badan yang tajam dalam waktu singkat dengan tanda klinis kasat mata.

Berburu Ikan dan Bermain Air di Pantai Prigi Trenggalek

Ketika pola pencegahan dan penanganan stunting masih menggunakan kacamata yang sama dengan gizi buruk tentu akan menimbulkan petaka seperti tidak aktifnya alarm tanda bahaya kesehatan anak.

Hal ini berakibat pada akan lebih banyaknya kasus stunting yang lolos dari pemantauan, kegagalan dalam menggali akar permasalahan stunting, dan berkembangnya program-program pragmatis yang menyasar level individu seperti pemberian makanan tambahan gizi kepada anak-anak stunting.

Atau yang lebih berbahaya adalah berkembangnya individu stunting menjadi target pemasaran susu formula dengan berbagai label nutrisinya, tetapi berbiaya tinggi dan mendorong gagalnya ketercapaian program ASI eksklusif.

Mahasiswa KKN Kolaboratif UGM dan UNG dalam kegiatannya di Desa Tontayuo turut menggali lebih dalam mengenai permasalahan stunting di desa tersebut. Faktanya, permasalahan stunting di pesisir Gorontalo terjadi bukan sebagai permasalahan yang berdiri tunggal. Stunting memang kondisi kekurangan nutrisi jangka panjang, tapi akar masalahnya tidak melulu akibat ketiadaan sumber pangan bagi anak.

Kasus anak dengan stunting yang kami temui bisa dibagi menjadi 5 faktor penyebab utama yang berkontribusi: (1) Gizi ibu hamil yang kurang memadai, hal ini diikuti juga dengan beberapa kasus ibu hamil dengan kekurangan energi kronis; (2) Pemberian ASI dimana ketercapaian ASI ekslusif 6 bulan pertama amat rendah; (3) Lingkungan makan keluarga dan komunitas yang kurang seimbang, kurang variasi dan bersaing dengan jajanan luar tinggi kalori; (4) Sanitasi dan kesehatan lingkungan yang meningkatkan risiko penyakit infeksi pada anak; dan (5) Pendidikan dan pengetahuan keluarga mengenai pola asih, asah, asuh terhadap anak. Kelima faktor menjelaskan bahwa penanganan stunting dengan intervensi level individu tidak akan tercapai karena banyak dipengaruhi oleh tingkat keluarga dan komunitas.

Mahasiswa KKN Kolaboratif UGM dan UNG pun mencoba untuk melakukan tinjauan literatur kembali dan menemukan salah satu best practice dalam menjawab tantangan stunting berupa intervensi level keluarga dan komunitas dengan membuat study group.

6 Musisi Legendaris dalam Prangko Edisi Spesial HUT ke-78 RI

Orang tua bersama bayi dan balitanya dikumpulkan dalam berbagai kegiatan yang mendorong peningkatan literasi asih-asah dan asuh, partisipasi aktif ayah, dan kolaborasi komunitas. Namun, sekali lagi stunting adalah suatu kondisi yang berjalan jangka panjang sehingga satu kata kunci yang harus dijawab segera setelah penarikan mahasiswa adalah keberlanjutan.

Pasalnya, pendekatan terhadap level keluarga dan komunitas tidak bisa dikejar dengan instan sebagaimana level individu yang hanya memberi tambahan pangan dan bantuan susu. Edukasi dan intervensi harus terus diberikan agar berdampak pada perubahan perilaku dan pengetahuan berlanjut yang akan mencegah stunting dan meningkatkan kualitas hidup anak-anak di kemudian hari.


Penulis: Rizki Rinaldi, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan UGM

Redaktur: Geraldy Kianta, Fakultas Kehutanan UGM

Fotografer: Ufaira Rafifa Huda, Fakultas Pertanian UGM

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

KP
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini